Labels

alam (8) amal (101) anak (294) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (20) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (563) islam (544) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (98) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (41) muallaf (48) my books (2) orang tua (6) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (61) puasa (38) renungan (170) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (323) tanya-jawab (14) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

14 April, 2007

Tolong! Anak Saya Bukan Anak Jenius!


Dari Milis. Email ini dari 2 tahun yang lalu tetapi masih relevan. Gene.

###


Tolong! Anak Saya Bukan Anak Jenius!


SUARA PEMBARUAN DAILY Jum’at, 17 Juni 2005

Surat Terbuka kepada Mendiknas:

Tolong! Anak Saya Bukan Anak Jenius!

BAPAK Menteri yang terhormat. Saya telah me-layangkan surat ini ke lembaga Bapak. Akan tetapi, mengingat surat ini ditulis bukan oleh orang yang penting, melainkan dari rakyat jelata, dari seorang ayah yang merasa prihatin melihat nasib pengajaran anaknya, besar kemungkinan Bapak tidak akan menerima surat ini. Atau, kalau toh Bapak menerimanya, besar pula kemungkinan Bapak tidak bersedia membacanya.

Karena alasan itulah, saya memutuskan untuk menjadikan surat ini “surat terbuka” yang dapat dibaca oleh semua orang, khususnya para ayah-ibu yang prihatin melihat hancurnya sistem pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah tempat anak mereka menimba ilmu. Sebab, menurut saya, apa yang terjadi pada anak saya lebih kurang dapat juga dirasakan pada anak-anak seusianya.

Bulan ini, jika tidak ada aral melintang, anak saya akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Kini ia kelas II di sebuah SLTP Katolik yang cukup terpandang di daerah Jakarta Timur. Akan tetapi semenjak dua-tiga bulan terakhir, kata “sekolah” dan “belajar” baginya telah menjadi hantu yang sangat membebani pikiran dan perasaannya. Awal Mei lalu, tepat pada “Hari Pendidikan Nasional”, misalnya, anak saya menyatakan mogok pergi ke sekolah. Alasannya sederhana: “Aku benci sekolah!” Sebagai orangtua, saya memang dapat memaksa agar dia tetap pergi ke sekolah. Namun, menurut saya, model pemaksaan seperti itu tidak akan memecahkan persoalan. Jadi saya membiarkan ia tidak pergi ke sekolah, dan menjadikan hari itu sebagai kesempatan untuk mendiskusikan alasan-alasan ia mogok bersekolah.

Hasilnya sudah dapat diduga, akan tetapi tetap mengejutkan bagi saya sebagai orangtua. Pertama-tama dia berkeluh kesah tentang begitu banyak mata pelajaran yang harus dia telan mentah-mentah, tanpa dia tahu untuk apa dan mengapa dia harus menelannya. Kata “telan mentah-mentah” sengaja saya pilih, karena hanya itulah padanan yang paling tepat bagi system pengajaran yang (masih terus) mengandalkan pada “hafalan mati” - walau pun sudah begitu banyak kritik pedas ditujukan pada sistem seperti itu.

Standar Kurikulum Memang benar, dewasa ini orang berbicara tentang KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan “otonomi khusus” masing-masing sekolah. Akan tetapi, pada praktiknya, tetap saja setiap sekolah akan berusaha memenuhi standar kurikulum yang dibuat Depdiknas, agar tidak dinilai “ketinggalan” dari sekolah-sekolah “favorit”. Apalagi, dalam sistem KBK, faktor pendidikan guru sebagai “fasilitator” (perhatikan: bukan sebagai guru tradisional, sumber-segala-sumber ilmu pengetahuan!) akan sangat menentukan. KBK mengasumsikan tersedianya sumber-sumber ilmu pengetahuan yang terbuka, seperti internet, fasilitas perpustakaan, lingkungan yang memadai, dan seterusnya, serta kemampuan guru mengolah mata pelajaran tanpa harus membebek pada standar kurikulum. Kedua asumsi itu, pada praktiknya, merupakan kemewahan yang tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah pada umumnya. Alhasil, sistem “telan mentah-mentah” kembali merajalela.

Mari! saya beri contoh konkret. Seorang siswa SLTP di Jakarta, seperti anak saya, paling tidak harus “menelan” 16 mata pelajaran (mata pelajaran umum, ilmiah, dan khas daerah), mulai dari Agama, PPKN, Fisika, Ekonomi sampai Komputer dan PLKJ (Pendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta - untuk siswa di Jakarta). Itu berarti, setiap siswa harus “menelan mentah-mentah” setidaknya 15 buku - saya mengasumsikan Matematika tidak menghafal! - untuk menghadapi ujian kenaikan kelas. Masalah lain yang disinggung anak saya, bukan saja jumlah mata pelajarannya sangat banyak, tetapi juga kandungan masing-masing mata pelajaran sangat rinci, dan karena itu terlalu berat bagi seorang siswa SLTP kelas II. Ini mudah dicermati jika Bapak Menteri sempat meme-riksa buku-ajar standar yang dipakai di sekolah-sekolah kita. Mungkin Bapak Menteri tidak memiliki waktu cukup untuk memeriksa dengan cermat isi buku-ajar itu. Jadi, izinkan saya memberi contoh yang saya petik secara acak dari buku-ajar anak saya.

Untuk mata pelajaran ekonomi, seorang siswa SLTP kelas II diharapkan mampu memahami mulai dari koperasi sampai pembangunan nasional. Dan, masing-masing subjek bahasan diurai dalam rincian yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang kuliah ekonomi di perguruan tinggi. Misalnya, subjek bahasan koperasi, dirinci mulai dari pengertian, asas, landasan (idiil, struktural, mental, operasional), fungsi dan peran, macam-macam kegiatan dan jenis, sampai segala peraturan yang terkait! Dan, subjek pembangunan nasional dirinci sejak kegiatan negara dalam kehidupan ekonomi (seluruh aspek budgeter, APBN-APBD, jenis-jenis pajak, bagaimana menghitung pajak, dan peraturan yang terkait) sampai tahap-tahap pembangunan jangka panjang (Pelita I sampai Reformasi). Hal yang sama juga terjadi dalam mata pelajaran lain. Ambil contoh buku-ajar biologi untuk SLTP kelas II. Siswa diharapkan memahami mulai dari sistem pencernaan (manusia dan hewan), sistem pernafasan (manusia dan hewan), sistem transporta! si
(manusia dan hewan), sistem saraf, sistem indera, dan seterusnya.

Lagi-lagi, masing-masing subjek bahasan diberi rincian yang luar biasa mendalam: siswa SLTP kelas II harus memahami perbedaan antara Diapedesis dengan Fibrinogen, gambar penampang kulit lengkap (Anda tahu Globmerulus dan di mana letak Kapsul Bowman?), gambar hubungan antarsel saraf (mana bagian Akson, Dendrit, Vesikel Sinapsis?), dan seterusnya. Karena itu, tidak heran jika seorang dosen biologi di sebuah universitas berkomentar, “Kalau SLTP sudah sejauh ini, apa lagi yang perlu diajarkan di Universitas?”

Perlukah saya menunjukkan materi PLKJ, mata pelajaran khusus untuk siswa yang (kebetulan) tinggal di Jakarta, kepada Bapak Menteri? Seorang siswa SLTP kelas II di Jakarta harus menghafal mati pasal-pasal mana dalam KUHP yang dipakai untuk menghukum “perkelahian pelajar secara per orangan yang mengakibatkan satu pihak luka atau mati”, pasal-pasal mana untuk “perkelahian pelajar secara berkelompok”, dan pasal-pasal mana yang dipakai jika “pelajar menyerang guru”!

Juga, jangan lupa, pasal-pasal KUHP mana yang dipakai jika “pelajar mabuk-mabukan, minum-minuman keras”, atau jika terjadi “pemerasan oleh pelajar”, atau “pencurian di kalangan pelajar”, atau “pelajar membawa senjata api atau senjata tajam”…

Bapak Menteri yang terhormat. Sengaja saya menguraikan secara rinci beban mata pelajaran yang harus ditanggung anak saya setiap hari saat ia pergi ke sekolah, dan khususnya saat ia menghadapi ujian kenaikan kelas. Menurut saya, hanya anak jenius saja yang mampu menanggung semua beban itu tanpa masalah berarti. Dan, saya harus akui dengan jujur, anak saya bukan anak yang jenius, seperti juga anak-anak pada umumnya.

Jumlah mata pelajaran yang begitu banyak, dan kandungan informasi yang sangat padat tanpa memperhitungkan kesiapan mental maupun kognitif anak sesuai tahap-tahap perkembangannya, membuat guru tidak memiliki cara lain kecuali kembali pada sistem kuno: Telan Mentah-mentah! Jangan Tanya, Hafal Saja! Itu pula yang dituntut oleh soal-soal ulangan umum. Mungkin di permukaan, cara itu kelihatannya berhasil. Tetapi, jika dipandang dari sudut pendidikan, sesungguhnya kita telah gagal total! Kita telah ikut berpartisipasi menjadikan kata “sekolah” dan “belajar” momok yang sangat menakutkan bagi anak-anak didik - mereka yang akan menggantikan kita di masa depan.

Seorang teman anak saya bahkan hampir bunuh diri, karena frustrasi menghafal mata pelajaran Biologi. Saya tidak mau peristiwa itu terjadi pada anak saya. Karena itu, Bapak Menteri, tolonglah! Anak saya bukan anak jenius! Dan jutaan anak Indonesia juga bukan anak jenius! *

Penulis adalah Direktur Eksekutif MADIA (Masyarakat Dialog Antar Agama), Jakarta

4 comments:

  1. Ternyata dari 2 tahun yang lalu sampai sekarang , sekolah di negara kita masih terus menjadi beban bagi anak-anak.
    Mata pelajaran anak saya yang kelas 3 SMP masih tetap belasan jumlahnya (14 atau 15 mata pelajaran). Begitu juga yang kelas 1 SMA.

    Yang saya heran, setelah penjurusan di SMA pun, mata pelajarannya tetap banyak. Ada anak saudara saya yang masuk di jurusan IPA , dengan Biologi-Fisika ,Kimia & Matematika yang jadi pelajaran wajibnya, harus ditambah pula dengan Sejarah (dulu ini masuk jurusan IPS). Semuanya harus & wajib dapat nilai bagus!

    Padahal yang mampu mencapai nilai yg bagus disemua bidang itu tidak banyak, anak yang jenius kan memang lebih sedikit daripada yang kemampuannya rata2.

    Kalau menurut kurikulum yang namanya KBK, setiap anak mempunyai kemampuan yang unik. Jadi mengapa tidak digali bakat setiap anak dari mulai SMP & SMA, agar dia dapat menentukan sendiri bidang yang paling dikuasainya ? Sehingga sekolah akan menjadi tempat yg menyenangkan karena dia sendiri yg memilih bidang yang dikuasainya. Bukan karena terpaksa atau takut pada guru,ortu,dll.
    Kalau si anak ingin jadi dokter,atau insinyur,atau businessman, atau ilmuwan pun , sudah ditekuninya dari SMP. Jangan sampai hingga mau lulus SMA dia masih bingung mau jadi apa, karena banyak sekali bidang yang harus dipelajarinya.

    Akibatnya sekolah hingga saat ini hanya menghasilkan anak2 yang stres, karena beban yang terlalu berat.
    Kapan ya, para pejabat di Diknas mau menyadari hal ini???

    ReplyDelete
  2. Saya setuju sekali dengan pemikiran dalam artikel ini..
    Semua materi detail seperti itu bahkan tidak mungkin bisa dihafal dengan sempurna oleh mahasiswa atau siapapun...padahal mahasiswa itu hanya mempelajari "satu" bidang kajian.
    Sebagai contoh : seorang mahsiswa Biologi tidak akan mampu mengerti dan menghafal semua sel-sel yang ada di tubuh, baik itu manusia ataupun binatang.
    Apalagi ini, seorang anak SMP, SMA, ataupun SD, bagaimana mungkin mereka bisa mengerti dan hafal semua bidang kehidupan (seperti Ekonomi, science, sosial, sejarah, agama, dsb).
    Padahal anak seusia itu yang terpenting adalah perkembangan mental dan moral. Mereka hanya perlu mengetahui secara umum tentang bidang kehidupan itu, tidaklah harus mendetail seperti itu. Kalau mau tahu dengan detail, maka sang anak bisa memperdalamnya di perguruan tinggi.
    Lagipula, saya pribadi (yang sudah menjadi mahasiswa)hampir 80% sudah lupa tentang hal2 mendetail tersebut, seperti apa yang dulu pernah saya pelajari di sekolah. Padahal dulu saya bisa dibilang cukup mampu untuk menghafal dan mengerti semua itu, tapi untuk apa? Toh sekarang ini juga saya sudah lupa..(tentunya ini juga tergantung daya ingat tiap-tiap individu)
    Saya sekarang hanya mengerti konsep dan inti dari ilmu itu saja, tapi tidak mendetail.
    Terima kasih.

    Semoga dunia pendidikan Indonesia menajdi lebih baik dan bermanfaat bagi anak cucu kita kelak...Amien.

    Wassalam,

    ReplyDelete
  3. Bener sekale pak....
    Saya pusing...
    Pengen muntah....
    Belum lagi Pe Er banyak...
    Ulangan...
    GURU KILLER....
    ATURAN SEKOLAH SUPER KETAT.....
    UN 2008 6 yg mgkn mata pelejaran...
    Ortu d rumah yg terkadang bertengkar...

    Kpn2 mati jg ga apa2....
    cape.... streessssssssssssss.......

    doakan saa semoga lulus UN tahun ini dan semoga pendidikan Indonesia ga sebarangan numpah...

    ReplyDelete
  4. Kalau anak sekolah merasa seperti ini sekarang, bagaimana dia bisa berhasil menjadi seorang pemikir yang hebat. Yang ada di pikirannya hanyalah "selamat". Masa depan bangsa ini gimana kalau pemimpin masa mendatang sudah diajar untuk mencari "keselamtan" di atas segala-gala? Mereka tidak ingin berjuang untuk menuntut ilmu, karena itu adalah tujuan yang terlalu tinggi bagi mereka. Asal selamat saja. Asal tidak gagal saja. Asal lulus. "Menuntut Ilmu" jauh di posisi nomor dua...

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...