Search This Blog

Labels

alam (8) amal (100) anak (299) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (8) dakwah (87) dhuafa (18) for fun (12) Gene (222) guru (61) hadiths (9) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (52) indonesia (570) islam (557) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (357) kesehatan (97) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (52) my books (2) orang tua (8) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (503) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (11) pesantren (34) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (179) Sejarah (5) sekolah (79) shalat (9) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

07 January, 2008

Fatwa MUI tidak melarang “Selamat Natal”?


Assalamu’alaikum wr.wb.,

Tanpa niat meneruskan perdebatan ini (dengan teman di milis), saya ingin menyampaikan sedikit klarifikasi mengenai MUI yang Insya Allah bermanfaat bagi pembaca.

Guru saya almarhum KH Masyhuri Syahid dulu berjabat sebagai Ketua Dua di Komisi Fatwa MUI, (dan juga Ketua di MUI DKI). Alhamdulillah saya belajar bersama dengan almarhum selama 10 tahun lebih. Di Komisi Fatwa MUI ada 5 ketua yang mempunyai kedudukan yang setara.

Para Ketua Komisi Fatwa MUI (seperti almarhum) tidak bangun setiap hari dan berfikir “Fatwa apa yang bisa kita bikin hari ini?” Justru mereka berusaha untuk menghindari pembuatan fatwa kecuali dianggap penting sekali. Bayangkan kalau sebaliknya: setiap hari buka Kompas dan di situ ada 10 fatwa terbaru dari MUI, dan besok ada 10 lagi. Mau seperti itu? Karena mereka tidak mau Islam menjadi begitu. Seperti juga sikap Nabi SAW yang sewaktu-waktu sengaja diamkan perbuatan atau pertanyaan sahabat supaya mereka (dan kita) tidak direpotkan dengan lebih banyak hukum.

Jadi, MUI berusaha untuk menghindari fatwa, kecuali perlu. Dan bila dirasa perlu, semuanya harus sepakat bahwa ini masalah penting yang harus diklarifikasi. Setelah membuat fatwa, maka keputusan itu menjadi HUKUM yang berlaku untuk jangka panjang. (Apakah anda pernah baca berkali-kali di koran bahwa fatwa MUI dicabut dan yang dulu dinilai haram sekarang menjadi halal?)

Bila fatwa dibuat, maka dibuat dengan penuh kesadaran bahwa keputusan ini akan menjadi pedoman untuk membimbing ummat Islam untuk ratusan tahun mendatang. Dan karena ada banyak perkara yang bisa saja diangkat menjadi fatwa, maka mereka berusaha untuk memberi persepsi umum terhadap suatu perkara, tanpa memberikan perincian satu per satu. Kalau seandainya memberikan fatwa yang sangat panjang dan terinci, seperti Undang2 Negara atau kontrak kerja, maka orang yang pintar mempermainkan kata atau hukum bisa menyatakan “Hah! X,Y,Z tidak disebut secara spesifik, maka tidak haram!”

Untuk mencegah sikap ini, fatwa seringkali tidak terlalu spesifik, dan memberikan gambaran umum saja, tanpa perincian.

Ini contoh beberapa hal yang TIDAK SECARA SPESIFIK dilarang dalam fatwa MUI tentang Perayaan Natal Bersama.

Misalnya (tidak menyebutkan):

  1. mengucapkan selamat natal
  2. menyanyikan lagu natal
  3. mengirim kartu natal
  4. mengajak anak ke drama natal
  5. ajak anak berpakaian kostum dan ikut drama natal di sekolah
  6. ajak anak nonton film natal
  7. menghias dalam dan luar rumah pada minggu2 sebelum natal
  8. memasang pohon natal di dalam rumah
  9. mengajak anak ke rumah tetangga Kristen pada pagi hari Natal untuk menerima kado dari tetangga dan menyanyikan lagu natal di bawah pohon natal
  10. mengirim kado natal
  11. ajak teman2 Kristen untuk makan bersama pada saat natal
  12. mengizinkan tentangga menggunakan rumah kita untuk perayaan natal (karena rumah kita lebih besar, tetapi kita hanya menyediakan tempat dan nonton)
  13. dan seterusnya

Hal-hal seperti ini tidak dilarang dan diharamkan secara spesifik dalam fatwa MUI. Berarti halal? (Dan anda bisa saja membuat argumen “Saya lakukan semua ini untuk menghormati tanggal kelahiran Nabi Isa! Dan untuk kerukunan antar agama!”)

Sungguh keliru orang yang mempunyai pandangan seperti itu. Tugas MUI adalah untuk membimbing ummat Islam, dan hal itu berarti mereka membuat dua macam fatwa. Pertama, memberikan gambaran umum untuk diikuti. Kedua, memberikan fatwa yang sangat spesifik bila perlu, mislanya dengan mengatakan bahwa rumah makan X tidak halal, atau mengatakan kegiatan oraganisasi X adalah haram untuk diikuti.

Karena natal merupakan suatu ritual ibadah dengan sekian banyak bentuk dan bagian yang terkait, maka sangat tidak masuk akal kalau ada yang menuntut setiap kegiatan harus diharamkan satu per satu. Bila demikian, orang yang pintar mempermainkan hukum menyatakan “Aha. X tidak disebut.” Dan bila memang hal itu dilupakan, apakah harus membuat fatwa baru? (Lalu dia katakan “Aha. Y tidak disebut.” –dilupakan juga! Fatwa baru.)

Kesimpulan: kita sebagai ummat yang mengaku sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW mempunyai kewajiban untuk menjaga aqidah kita, ibadah kita, hukum agama kita, dan kebenaran dalam agama kita. Untuk melakukan tugas itu, kita memerlukan bimbingan dari ulama yang merupakan pewaris ilmu Nabi SAW. Kalau kita siap untuk sengaja tinggalkan ulama dengan alasan apapun, maka Allah tidak mempunyai kewajiban untuk menjaga kita sesudahnya. Ada hadith yang mengatakan bila Allah ingin mencabut ilmu dari suatu kaum, maka Dia lakukan dengan cara mewafatkan ulama. Dan setelah ulama wafat, tinggal orang yang berani mengatakan “Saya tidak peduli argumen ulama apa! Saya akan tetap melakukan X.” Dan kita tidak lagi mempunyai orang alim yang bisa melindungi kita dari murka Allah di dunia ini. Naudzu billah mindzalik.

Di bawah ini ada kutipan dari fatwa MUI tentang perayaan natal bersama. Sungguh banyak perkara yang tidak disebut secara spesifik (seperti saya daftarkan di atas). Berarti semuanya halal? Tidak. Justru anggota MUI menganjurkan bahwa kita mengiktui sunnah Nabi SAW dengan tinggalkan yang syubhat. Menjauhkan yang syubhat (yang kemudian jatuh kepada yang haram) tidak bisa dilakukan oleh orang yang mengatakan: “Saya tidak peduli argumen ulama apa! Saya akan tetap melakukan X.”

Silahkan membaca.

Semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

Bagian G:

1. Hadits Nabi dari Nu`man bin Basyir : "Sesungguhnya apa apa yang halal itu telah jelas dan apa apa yang haram itu pun telah jelas, akan tetapi diantara keduanya itu banyak yang syubhat (seperti halal, seperti haram) kebanyakan orang tidak mengetahui yang syubhat itu. Barang siapa memelihara diri dari yang syubhat itu, maka bersihlah agamanya dan kehormatannya, tetapi barang siapa jatuh pada yang syubhat maka berarti ia telah jatuh kepada yang haram, semacam orang yang mengembalakan binatang makan di daerah larangan itu. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai larangan dan ketahuilah bahwa larangan Allah ialah apa-apa yang diharamkan-Nya (oleh karena itu hanya haram jangan didekati)."

2. Kaidah Ushul Fiqih "Menolak kerusakan-kerusakan itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan-kemaslahatan (jika tidak demikian sangat mungkin mafasidnya yang diperoleh, sedangkan masholihnya tidak dihasilkan)."

Memfatwakan

3. Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan diatas.

4. Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.

5. Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.

Lihat versi lengkap di sini:

http://www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=71

5 comments:

  1. Salah satu tanda kiamat adalah terhapusnya ilmu Islam.
    Dari Abdullah bin Amr ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak akan melenyapkan ilmu pengetahuan secara sekaligus dicabut dari seluruh hamba-Nya. Tetapi diambil-Nya ilmu pengetahuan dengan mencabut nyawanya para alim ulama, sehingga jika tidak seorang ulamapun yang tertinggal, lalu orang-orang sama mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Mereka ini jika ditanya, terus saja memberikan fatwa yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan yang benar. Jadi mereka itu tersesat dan pula menyesatkan.
    (HR Bukhori dan Muslim)

    ReplyDelete
  2. sharing dikit, pada awalnya berat hati menerima fatwa ini, maklum teman dan tetangga banyak yg kristen, tapi setelah berpikir spt ini:
    1) apakah mengucapkan selamat natal karena 'ngga enak' itu juga berarti keinginan kita disukai manusia lebih besar daripada keinginan kita disukai ALLAH?
    2) apakah karena kita lebih suka menerabas hal2 yg syubhat, demi hal yang tidak jelas? (misal: kalau ngga ngucapin hubungan jadi kaku,dicap fundamentalis, cuek, ngga supel/gaul ,ngga dikasih proyek lagi, dsb hal2 yg belum jelas)

    jadinya dengan 'terpaksa' saya ikutin tuh fatwa..
    Alhamdulillah hubungan dengan teman/tetangga kristen tetap baik, ngga ada masalah.

    Banyak ketidakikhlasan menerima ketetapan agama/fatwa berpangkal dari sifat sombong, dan merasa lebih cerdas dari orang lain.

    ReplyDelete
  3. Penjelasan yang sangat baik Gene. Semoga saudara-saudara kita dapat memahami dengan baik kandungan larangan dari fatwa MUI itu dan mengikutinya dengan ikhlas.

    Saya juga tergugah untuk menulis fenomena pengucapan selamat natal ini.

    Terima kasih

    ReplyDelete
  4. Subhanallah.Muter-muter ketemu "rumah" ini.
    Saya sampai detik ini masih hidup dengan keluarga yang masih Protestant. Alhamdulillah tidak pernah terlontar ucapan selamat natal meski dulu tiap natal saya yang akan menyiapkan hiasan di rumah. Mohon doanya untuk keistiqomahan kita semua dalam diin ini.
    samodra_wati@yahoo.com

    ReplyDelete
  5. Ucapan selamat Natal harus dibedakan dengan mengikuti upacara natal. Islam agama yg mudah. Dan tidak perlu mempersulit perkara yang mudah. Fatwa pakar fiqh kontemporer Zuhayli dan Qaradawi lihat di link di bawah:

    Link Ucapan Natal

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...