Labels

alam (8) amal (100) anak (293) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (18) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (564) islam (546) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (96) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (48) my books (2) orang tua (7) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (171) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

05 January, 2008

“Selamat Natal” Dan Kewajiban Menuruti Keputusan Ulama


[Email ini dibuat untuk menjawab komentar dari seorang teman, yang merasa orang Muslim boleh mengucapkan Selamat Natal kepada orang Kristen. Setelah diberitahu bahwa ulama melarangnya, dia malah mengatakan tidak peduli dengan pendapat ulama.

Saya mohon maaf karena tulisan ini menjadi cukup panjang, tetapi saya tidak merasa tenang kalau disingkat2 hanya untuk menghemat waktu, dan kemudian, ilmu yang dibutuhkan tidak bisa disampaikan dengan benar. Mohon maklum. Mohon maaf bila tidak berkenan. Silahkan membaca.]

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Dear Pak Budi (nama samaran),

Saya merasa cukup sedih dengan sikap bapak yang selalu siap mendukung argumentasi dari komunitas JIL. (Yang saya maksudkan dengan JIL tidak terbatas pada anggota JIL, tetapi saya gunakan sebagai singkatan untuk komunitas besar yang mendukung ide2 pluralisme dan liberalisme dalam agama Islam. Ada juga yang sebutkan kaum Sepilis, tetapi saya lebih suka sebutkan JIL saja).

Pernyataan Pak Budi kepada saya dulu bahwa Ulil adalah genius, seperti juga Cak Nur, menunjuk bahwa bapak sangat mendukung pendapat2 mereka. Sedangkan mayoritas dari ahli agama yang saya kenal sangat menentang pendapat mereka sebagai pendapat yang menyesatkan ummat Islam.

Saya kenal Pak Budi sebagai seorang ahli di bidangnya, yang saya nilai sangat pintar, berilmu dan bijaksana, dan oleh karena itu, saya merasa sedih bahwa bapak tidak bisa sadari kekurangan di dalam pendapat2 orang JIL tersebut.

Berikut ini, saya ingin berusaha menyampaikan sebagian dari ilmu agama yang telah saya terima dari guru saya almarhum KH Masyhuri Syahid. Saya membuat tulisan ini dengan harapan bisa menjadi bahan renungan buat bapak (dan mungkin juga orang yang lain), tetapi saya tidak ingin memperdebatkan hal2 ini panjang lebar dengan bapak. Menurut saya ada perbedaan yang cukup tajam antara orang yang berdebat karena ingin menuntut ilmu dan yang berdebat karena inginkan pendapat sendiri dibenarkan dengan cara apapun.

Dari Pak Budi:

+ Come on, Gene! Kamu berlebih-lebihan dalam hal ini. Belum pernah ada situasi seperti yang kamu sampaikan tersebut dan itu hanya ada dalam imajinasimu. A very wild imagination, indeed. :-)

(Dari Gene)

>Pak, tolong baca lagi apa yang saya sampaikan. Saya mengatakan “…bayangkan kalau semua orang Kristen diajak mengucapakan sesuatu yang bertentangan dengan aqidah mereka.” Jadi, jelas bahwa ucapan tersebut adalah rekayasa saya. Tetapi ada prinsip di belakangnya. Kalau SEANDAINYA ucapan Selamat Idul Adha diikutsertakan dengan pernyataan sebagai berikut (Misalanya) "Selamat Idul Adha dan sekaligus Selamat atas keberhasilan Juru Selamat Manusia bernama Muhammad, yang membongkar kepalsuan Trinitas dan Doktrin Gereja lain, dan membimbing ummat manusia dalam segala kebenaran, supaya mereka tinggalkan ajaran Kristiani yang sesat dan terkutuk oleh Tuhan Yang Maha Esa!"

…Maka, apakah mungkin orang Kristen mau mengucapkan kalimat2 seperti ini bila bertentangan dengan doktrin agama mereka? Saya yakin para pastor akan melarang mereka mengucapkan kalimat2 tersebut, walaupun hal itu berarti mereka tidak bisa menyambut Idul Adha atau Idul Fitri yang dirayakan tetangga yang Muslim.

Kalau mereka tidak mau ucapkan kalimat seperti itu (dan menurut pendapat saya, mereka tidak akan mau), maka kita perlu memeriksa arti dari “Selamat Natal” dan perlu berfikir apakah mungkin ucapan ini bertentangan dengan doktrin agama kita, dan bila iya, kenapa kita mau mengucapkan kalimat ini?

Kalau orang Kristen yakini bahwa Yesus adalah Tuhan yang lahir dalam bentuk manusia, dan dengan kematiannya dia menembus dosa semua ummat manusia, dan Yesus/Tuhan lahir pada tanggal 25 Desember, apakah benar dalam ajaran Islam bahwa kita ikut menyetujui perayaan lahirnya Yesus/Tuhan/Juru Penyelamat tersebut? Sebagai orang Islam, kita dilarang percaya pada Trinitas. Berarti kalau mereka malah merayakan permulaan dari sistem kepercayaan terhadap Trinitas tersebut dengan lahirnya Yesus/Tuhan (karena sebelum Yesus lahir, tidak ada konsep ini di dalam tulisan apapun, setahu saya), apakah benar kalau kita ikut merayakan atau membenarkan perayaan tersebut?

Seringkali orang JIL membuat dalil dengan Hadiths di mana Nabi Muhammad SAW berdiri saat jenazah orang Yahudi lewat. Tetapi mereka tafsirkan sesuai dengan keinginan mereka untuk merekayasa dalil. Nabi SAW memang berdiri, tetapi TIDAK BERDOA (tidak ada saksi satupun yang mengatakan Nabi SAW mengangkat tangannya dan berdoa), dan Nabi SAW juga tidak mengikuti prosesi itu ke tempat kuburan dan mendoakan jenazah di sana. Jadi tindakan Nabi SAW sebatas berdiri saja. Barangkali alasannya adalah karena “tidak berdiri” akan dianggap suatu penghinaan kasar (di zaman itu), sedangkan “berdiri saja” tanpa komentar ataupun doa tidak berkaitan dengan agama atau aqidah. Jadi, barangkali Nabi SAW tidak ingin menghinakan jenazah itu dengan tetap duduk, tetapi dia juga tidak melakukan lebih dari berdiri.

Hal ini berarti argumentasi yang sering dilontarkan orang JIL bahwa Nabi SAW “menghormati” lain agama (dengan dalil di atas, dan kemudian ditafsirkan bahwa ummat Islam boleh ikut mendoakan dan merayakan hari besar orang kafir) sungguh tidak benar karena perbuatan Nabi SAW terbatas pada tindakan “berdiri sesaat” dan tidak lebih.

Juga tidak ada hadiths satupun (setahu saya) bahwa Nabi SAW pernah sekalipun menghadiri upacara agama yang sering dilakukan orang Kristen, orang Yahudi, atau orang lain agama yang pasti cukup banyak di lingkungan itu. Jadi Nabi SAW tidak ingin bertindak kurang sopan terhadap sebuah jenazah, tetapi sebaliknya dia juga tidak ikut mendoakan atau merayakan upacara penguburan apapun bersama dengan orang kafir. Dia juga tidak merayakan semua hari-hari besar mereka, dan tidak ikut berdoa pada saat mereka merayakannya.

Selanjutnya terkait dengan hukum merayakan hari besar umat lain dan mengucapkan selamat kepada mereka, maka ia merupakan hal yang terlarang dalam agama kita. Dalilnya adalah firman Allah SWT :

“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan Az-Zuur”.(QS. Al-Furqan : 72).

Para mufassirin menerjemahkan bahwa yang dimaksud dengan menghadiri az-Zuur adalah menjadi saksi atau menghadiri hari raya agama lain atau perayaan orang-orang musyrikin. (Syariah Online)

Kesimpulannya, Nabi SAW hanya berdiri sesaat untuk 1 jenazah dan tidak lebih dari itu.

Kalau Nabi SAW tidak pernah ucapkan doa apapun bagi mereka, dan tidak pernah menghadiri upacara satupun dengan mereka, kenapa anda bisa menganggap wajar dan baik kalau kita melakukannya?

(Larangan menyembahyangkan jenazah orang munafik/kafir)

84. Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo’akan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.

85. Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka dalam keadaan kafir.

(Surah At Taubah QS. 9:84-85)

(Jadi Allah melihat orang kafir itu sebagai musuh-Nya, dan Dia ingin mengazab mereka di dunia dan si akhirat disebabkan mereka kafir terhadap-Nya, sedangkan anda ingin menghargai dan menghormati mereka dengan cara yang tidak pernah dibenarkan oleh Nabi SAW).

Dari Pak Budi:

+Saya banyak menerima ucapan selamat hari raya dari teman-teman Kristen dan saya yakin bahwa mereka tulus. Apakah ini berarti ucapan tersebut bertentangan dengan akidah mereka dan akan membuat rusak akidah mereka? It's ridiculous. :-)

>Ya, memang tidak bertentangan. Maka, coba bayangkan kalau SEANDAINYA ucapan Selamat Idul Adha diganti dengan ucapan panjang yang saya ciptakan di atas, dan bertanya lagi kepada teman Kristen apakan mereka masih mau mengucapkannya bila para pastor menilai ucapan tersebut sangat bertentangan dengan doktrin agama mereka karena mengutuk Trinitas? Idul Adha (sebagai satu hari khusus) tidak mempunyai hubungan dengan Yesus, jadi mereka tidak merasa berat untuk mengucapkan Selamat Idul Adha. Bagaimana kalau mereka diminta ucapkan lebih dari itu dengan sekaligus mengutuk Trinitas? Apakah mereka mau?

Dari Pak Budi:

+Ucapan selamat natal TIDAK ADA HUBUNGANNYA dengan akidah. Sampai saat ini saya belum melihat argumen yang kuat mengapa mengucapkan selamat tersebut dianggap haram. Tak pernah saya baca di Al-Qur'an tentang hal ini. Rasulullah juga tidak pernah melarang (karena memang belum ada tradisi ini pada waktu itu).

>Tidak ada hubungan dengan aqidah? Apakah anda mau mengucapkan (misalnya) SELAMAT atas lahirnya Buddha sebagai Tuhan Semesta Alam? Atau SELAMAT atas lahirnya Vishnu yang Maha Menciptakan dan Maha Mematikan? Atau SELAMAT atas lahirnya Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir dari Allah SWT, yang menggantikan Nabi Muhammad SAW? Kalau seandainya hari-hari kelahiran tersebut dirayakan oleh pengikutnya masing-masing, dengan ucapan2 tersebut, apakah anda mau mengucapkan kalimat-kalimat itu bersama dengan mereka?

Apa bedanya kalimat2 di atas ini dengan mengucapkan SELAMAT atas lahirnya TUHAN SEMESTA ALAM DALAM BENTUK MANUSIA YANG DISALIBKAN UNTUK MENEMBUS DOSA SELURUH UMMAT MANUSIA, atau dalam kata lain, “Selamat Natal”?

Kalau ada seorang Muslim yang berani mengucapkan salah satu ucapan selamat di atas, maka dia telah melakukan suatu dosa besar, dan juga SYIRIK (selain yang Mirza Ghulam Ahmad, karena dia tidak dianggap Tuhan). Inilah kaitannya dengan Selamat Natal. Dan kalau argumentasi bapak terbatas pada Nabi SAW tidak melarang kita mengucapkan Selamat Natal, berarti semua dosa yang secara spesifik tidak dilarang oleh Nabi SAW juga boleh dilakukan dengan dalil “Nabi SAW tidak melarangnya”. Berarti shabu-shabu boleh dong karena “Nabi tidak melarangnya, dan tidak ada ayat al Qur'an yang membahasnya”. Tetapi sebaliknya, kalau bapak menganggap bahwa shabu-shabu tidak boleh dikonsumsi oleh ummat Islam, walaupun Nabi SAW tidak membahasnya dan tidak ada ayat al Qur'an yang menyebutkan istilah shabu-shabu, maka pendapat itu (yang haramkan shabu-shabu) adalah HASIL DARI IJMA ULAMA. Dan ijma ulama bukanlah hasil dari pemikiran satu orang, seperti orang JIL, yang sekolah di Amerika dan kembali dengan pendapat sendiri yang dikuat dengan dalil2 rekayasanya, sedangkan dalil yang kuat dari para ulama sedunia ditolak mutlak oleh dia. Dia inginkan pendapat semua ulama kalah dengan pendapat perorangan (khususnya diri dia), dan ulama tidak perlu didengarkan lagi. Justru sikap itu sangat jauh dari ajaran Islam yang telah disampaikan oleh Nabi SAW.

Saya sangat kuatir terhadap bapak disebabkan pernyataan ini:

Dari Pak Budi:

+ Mengenai ucapan selamat natal ini, let me tell you, […] saya tidak peduli apa argumen ulama

Dan juga:

+ Jadi pengharaman tersebut hanyalah PENDAPAT beberapa ulama yang juga bisa salah.

>Bukan beberapa Pak, tetapi yang terkahir saya baca tentang perkara ini, malah mayoritas ulama dunia menyatakan haram untuk mengucapkan Selamat Natal dan juga haram untuk ikut merayakannya. (Jumlah ulama di dunia sulit ditentukan, tetapi bisa diperkirakan lebih dari jutaan orang, bahkan Insya Allah mencapai puluhan juta orang). Tentu saja bisa ditemukan beberapa orang yang izinkan, terutama yang di Eropa atau Amerika. Sebuah pendapat dari minoritas cendekiawan Islam harus dikaji lebih dalam, dan tidak benar kalau kita mendapatkan pendapat minoritas (yang mungkin terbatas pada beberapa orang, atau puluhan orang saja) dan langsung mengatakan “Pendapat ini lebih benar dari yang lain karena saya suka, dan karena dia berfikir seperti orang barat yang saya senangi, dan automatis pendapat ini berlaku bagi semua Muslim di seluruh dunia”.

Daripada mendatangi agama dengan sikap “Saya ingin belajar dan mengetahui ‘apa’ yang benar, dengan rasa hati-hati karena takut salah,” bapak dan orang JIL malah datang dengan sikap “Saya sudah pasti benar dan tidak perlu hati-hati atau takut salah karena pendapat saya disetujui filosof barat, jadi saya pasti benar, dan mayoritas ulama di dunia (jutaan orang) harus mengikuti saya.”

Jadi kalau bapak tidak ingin terima pendapat dari mayoritas ulama di dunia, dan sengaja mencari-cari pendapat minoritas yang lebih disukai, berati bapak sedang mengubah citra agama dan berusaha untuk menciptakan agama yang sesuai dengan pikiran bapak sendiri. Masalahnya adalah, pendapat bapak bertentangan dengan mayoritas ahli agama, dan keputusan bapak untuk menerima pendapat minoritas dan membuang yang mayoritas tidak didasari ILMU yang dimiliki bapak di bidang fiqh dan tafsir, tetapi didasari “perasaan” atau “nafsu/emosi”. Itu sebabnya pendapat bapak bisa menjadi keliru sekali dengan sangat mudah. Mohon baca hadiths berikut ini:

Hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Thabrani:

“Ummatku tidak mungkin bersepakat atas kesesatan.”

Dan juga, Dari Abu Bashrah ra, bahwa Nabi SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (bersepakat) di atas kesesatan” (Tirmidzi no.2093, Ahmad 6/396)

Artinya dari hadiths ini adalah ALLAH AKAN MEMBIMBING MAYORITAS DARI ULAMA MUSLIM di dunia untuk menentukan yang benar lewat kesepakatan. Jadi pendapat minoritas, yang tidak bisa diterima oleh mayoritas ulama, adalah pendapat yang perlu dikaji ulang. Tidak mungkin (menurut hadiths2 ini) bahwa Allah akan membiarkan ulama membuat ijtihad (keputusan) atas kesesatan. Jadi kalau ulama berkumpul, saling memberikan pendapat, dan semuanya setuju bahwa mengucapkan Selamat Natal adalah haram, tetapi ada sedikit sekali orang (mungkin hanya puluhan atau ratusan saja, dari total puluhan juta) yang tidak sepakat, seperti misalnya orang JIL, berarti mereka itu yang salah dan opini mayoritas ulama yang bersepakat atas kebenaran hal tersebut adalah pendapat yang benar.

Kalau bapak ingin berargumentasi: “Bisa saja orang JIL yang benar dan mayoritas ulama salah, dan mereka belum bisa paham karena belum pelajari ‘hermeneutika’”, maka itu berarti bapak tidak percaya bahwa Allah bisa membimbing mayoritas ulama dalam kebenaran.

Nabi SAW sendiri mengatakan “Allah tidak akan menjadikan ummat Islam berkumpul di atas kesesatan” yang berarti ulama akan memberikan ijithad yang didasari kesepakatan bersama, yang diyakini semuanya benar, dan keputusan itulah yang merupakan hasil dari bimbingan Allah.

Lalu bapak datang dan SEOLAH mengatkan “Komunitas JIL (yang sedikit) lebih benar dari semua ulama (jutaan ahli agama) yang dibimbing Allah supaya tidak bersepakat atas kesesatan. Orang JIL lebih tahu. Orang JIL sudah belajar hermeneutika dari profesor kafir, jadi mereka lebih paham kebenaran agama Islam daripada puluhan juta ulama (mayoritas) yang HANYA SEBATAS DIBIMBING ALLAH. Coba kalau mereka tinggalkan bimbingan Allah itu dan menggali ilmu hermeneutika yang benar di Universitas Harvard dengan professor yang kafir. Baru setelah itu mereka akan menjadi paham agama secara benar dan bimbingan Allah yang menjadi pegangan mereka selama ini tidak akan diperlukan lagi karena bisa diganti dengan bimbingan filosof barat yang kafir, dan tentu saja itulah lebih benar daripada bimbingan Allah!”

Seolah-olah bapak bicara seperti itu, karena kesan seperti ini yang saya dapatkan dari bapak dan orang2 lain yang mendukung JIL.

59. Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

(Surah An-Nisa QS. 4:59)

Ada perbedaan pendapat tentang apa yang dimaksudkan dengan istilah “ulil amri” (‘yang berkuasa’) dalam ayat ini. Pendapat dari mayoritas ulama adalah bahwa ulil amri berarti dua komunitas sekaligus: 1.Pemerintah, 2.Ulama. Jadi kita diwajibkan mengikuti pemerintah dalam menetapkan X sebagai suatu hukum. Dan kita juga diwajibkan menuruti ulama (mayoritas dari ulama) dalam menetapkan X sebagai suatu hukum. Kalau kita ingin berpisah dan menetapkan kebenaran sendiri, dengan abaikan apa yang dikatakan pemerintah, atau para ulama, dan hanya ingin membenarkan pendapat orang JIL di atas segala-gala, maka hal itu sudah jelas tidak benar.

Jadi, kalau bapak bisa memahami kedudukan ulama di dalam ummat Islam, memahami perintah Allah untuk menuruti ulama (ulil amri), dan memahami janji Nabi Muhammad SAW bahwa “ummat Islam tidak akan bersepakat atas kesesatan”, berarti sangat disayangkan bila bapak bisa tinggalkan ayat Allah, tinggalkan hadiths Nabi SAW, dan tinggalkan contoh Nabi SAW, hanya karena sangat semangat mengikuti kaum minoritas yang ingin berpendapat sendiri (komunitas JIL, didukung oleh orang2 kafir), tanpa mayoritas dari ulama ikut mendukung pendapatnya.

115. Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

(Surah An-Nisa QS. 4:115)

Yang menjadi contoh dalam kehidupan bapak, apakah orang JIL atau Nabi Muhammad SAW? Silahkan pilih salah satu sebagai contoh yang terbaik karena sesungguhnya hanya satulah dari mereka yang pasti hidup di dalam bimbingan Allah karena hanya satulah dari mereka yang pasti diutus oleh Allah untuk membimbing kita.

Dari Pak Budi:

+Selain itu, tidak semua perbuatan itu harus dicari contohnya pada Rasulullah. It's impossible. Contohnya kita berdiskusi lewat internet ini ya apa ada perintah dan anjurannya? :-) Apa kita melakukan upacara, rekreasi, cuti, makan di restoran, dll. harus cari dalilnya dari hadis dulu?

>Impossible? Apakah tidak mungkin kita mengambil contoh dari Nabi SAW dalam semua perkara? Barangkali bapak kurang paham bedanya antara hal yang “prinsip” dengan hal yang “teknis”. Kalau Nabi SAW mengajarkan kita, maka yang diajarkan adalah hal yang prinsip; contoh perbuatan paling baik yang bisa diikuti dalam lingkungan mana saja. Tetapi caranya kita aplikasikannya adalah hal yang teknis, dan Nabi SAW tidak melarang kita untuk menggunakan sistem teknis baru yang sesuai dengan lingkungan atau zaman kita masing-masing. Contoh dari bapak:

1. Internet? Kita sudah diajarkan cara yang benar untuk diskusi oleh Nabi SAW. Bicara dengan jujur, tidak menghinakan, tidak memfitnah, mengunakan ilmu untuk memutuskan perkara, tidak menimbulkan maksiat atau dosa, dan sebagainya. Ini hal-hal yang prinsip. Soal bagaimana kita berdiskusi atau berbicara (empat mata, lewat telfon, surat, internet, dll.) maka itu hal yang teknis saja. Selama tidak melanggar syariah, kita dipersilahkan menggunakan cara teknis apa pun untuk “bicara”. Dasar-dasar “pembicaraan yang baik dan benar” (hal-hal prinsip) sudah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan kita tinggal mengikutinya dengan cara teknis manapun. Atau tidak.

2. Upacara apa? Cara berkumpul sudah dicontohkan Nabi SAW. Menghargai tamu, tidak berkumpul untuk merencanakan maksiat, bicara dengan jujur dan tidak membuat janji palsu, cara bersumpah, cara membuat kesepakatan, dan sebagainya. Teknisnya terserah kita.

3. Rekreasi? Olahraga boleh. Ikuti olahraga yang mana saja terserah kita. Berkumpul dengan orang lain untuk melakukan kebaikan sudah dicontohkan oleh Nabi SAW (menjaga kesehatan tubuh lewat olahraga adalah kebaikan) dan ada cara-caranya yang benar dan salah. Teknisnya terserah kita. Contoh yang benar, laki-laki kumpul untuk main bola bersama (tanpa tingalkan sholat yang wajib, tentu saja). Menghitung skor secara jujur dan tidak curang dalam pertandingan adalah kewajiban. Contoh yang salah, laki dan perempuan bercampur di kolam renang yang sama, dengan mengunakan celana renang Speedos dan bikini. Contoh perbuatan yang ‘benar’ sudah ada dari Nabi SAW, teknisnya terserah kita.

4. Cuti? Mau ke mana kita, untuk apa, dan kenapa? Jangan pergi untuk melakukan yang haram, jangan mubazir atau boros, harus menggunakan uang kita dengan bijaksana, sholat tetap jalan dengan benar, dan seterusnya. Teknisnya terserah kita. Cuti di Puncak dengan teman selingkuh jelas tidak boleh. Cuti di Singapura untuk main judi di kasino jelas tidak boleh. Tetapi cuti bersama isteri dan anak di Solo, untuk bersilatulrahim dengan keluarga besar, dan sekaligus mengantarkan rezeki buat nenek, dan sekaligus memberikan ceramah di masjid kecil di sana, dan traktir saudara makan kepiting ramai2, dan antarkan sedekah ke panti asuhan di pinggir kota sekaligus lihat2 keindahan sawah, adalah benar. Selama tidak ada pelanggaran syariah, teknisnya terserah kita.

5. Makan. Adab makan sudah dicontohkan Nabi SAW. Makan yang halal, cuci tangan sebelum makan, beroda, makan dengan tangan kanan, tidak makan yang berlebihan, jangan mubazir, dsb. Teknisnya terserah kita. Mau duduk gaya lesehan dan makan dengan tangan kanan boleh, mau duduk di meja dan pakai sendok boleh. Mau makan di luar angkasa dengan makanan cair yang harus disedot, boleh. Terserah kita.

31. Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(Surah Al-Imran QS. 3:31)

Artinya ayat ini adalah bila kita benar-benar mencintai Allah, seperti yang kita katakan secara lisan, maka kita diwajibkan mengikuti contoh Nabi Muhammad SAW. Bagi orang yang dengan enteng tinggalkan contohnya (dengan membuat argumentasi bahwa Nabi SAW tidak bisa diikuti dalam semua perkara seperti ‘chatting di internet’) maka mereka justru membuktikan bahwa mereka TIDAK mencintai Allah. Nabi SAW SELALU bisa digunakan sebagai contoh dalam kehidupan kita. Kalau bapak bisa memikirkan suatu perkara di mana Nabi Muhammad SAW tidak bisa menjadi contoh, tolong informasikan saya. Selamat mencari (karena saya belum tahu satupun!)

Dari Pak Budi:

+Mengucapkan selamat natal adalah perbuatan muamalah dan tidak ada hubungannya dengan akidah. Akidah kita sudah jelas dan tidak akan terganggu ataupun goyang atau tertukar hanya karena mengucapkan selamat natal. Alangkah muskilnya jika dikatakan ada orang yang rusak akidahnya hanya karena mengucapkan selama natal. Selama hidup saya belum pernah saya dengar ada orang yang rusak akidahnya karena mengucapkan selamat natal. Itu cuma mitos yang disebarkan oleh ulama tertentu.

>Sudah dijelaskan di atas. Ucapan itu mengandung makna syirik, dan kalau ummat Islam diperbolehkan melakukan syirik terus-terusan, maka hasilnya adalah kerusakan aqidah di jangka panjang. Di jangka pendek, berdosa besar, dan juga perlu diingat bahwa Allah tidak mengampuni dosa syirik. Kenapa bapak mau ambil risiko, padahal orang kafir yang ucapakan “selamat atas lahirnya Tuhan dalam bentuk manusia” itu adalah musuh Allah yang akan menerima hukuman keras di hari kiamat? Kenapa di dunia ini, bapak menyibukkan diri dengan menghargai perasaan mereka lebih dari menjaga kebenaran agama Allah supaya tidak tercampur syirik? Kenapa bapak lebih memikirkan perasaan hati kaum kafir daripada perasaan Hati Allah? Bagaimana kira-kira perasaan Allah ketika kita melihat syirik sebagai dosa kecil, ataupun “syirik” sudah tidak lagi dinilai sebagai syirik dan kita juga tidak mau berhati-hati lagi terhadapnya?

Saya sungguh sedih membaca pernyataan bapak ini:

+Mengenai ucapan selamat natal ini, let me tell you, […] saya tidak peduli apa argumen ulama (mau yang dalam negeri maupun yang luar negeri, jaman dulu maupun jaman sekarang) dalam soal larangan ucapan selamat ini. Saya akan tetap mengucapkan selamat natal, Gong Zi Fat Choi, hari Saraswati, etc kepada teman-teman saya. Saya bahkan akan mendoakan mereka dengan "God Bless You" yang artinya sama dengan "Semoga Tuhan memberkati Anda sekeluarga". Ya! Saya akan berdoa sebanyak-banyaknya bagi sesama umat manusia.

Bagaimana kalau Tuhan 'tidak ridha' dengan sikap saya tersebut? :-)

Mana mungkin! :-

>Bagaimana mungkin Allah tidak ridho? Munkgin Allah tidak ridho karena bapak merasa sedang melakukan “kebaikan” walaupun mayoritas ulama di dunia sudah menyatakan hal tersebut adalah haram. Saya ingin aplikasikan argumentasi ini pada contoh yang lain, dan Insya Allah menjadi jelas kenapa sikap ini sangat keliru. Contoh:

1. Saya tidak peduli argumen apa para ULAMA (AHLI) KEDOKTERAN. Merokok adalah baik untuk kesehatan! Saya merokok dan saya tidak mungkin kena kanker nanti.

2. Saya tidak peduli argumen apa para ULAMA PSIKOLOGI. Kalau saya menghajar anak saya setiap hari dan menghinakannya terus-terusan, dia akan belajar untuk nurut dengan saya. Tidak mungkin dia menjadi sakit jiwa, kecanduan narkoba, atau coba bunuh diri disebabkan perlikau saya terhadapnya.

3. Saya tidak peduli argumen apa ULAMA LINGKUNGAN. Hutan Indonesia sangat luas dan saya akan menebang pohon sebanyak-banyaknya dan mengekspornya ke Cina sebelum orang lain mengambilnya. Tidak mungkin ada dampak terhadap lingkungan bila semua pohon hilang dalam hutan negara ini.

Dan seterusnya. Apakah sikap ini yang paling baik dalam proses “menuntut ilmu untuk mencari kebenaran”? Bukannya lebih baik berhati-hati karena takut salah, terutama kalau para “ulama” yang sangat ahli di bidangnya masing-masing sudah memberikan peringatan bahwa kita sendiri yang salah? Apakah wakar kalau kita mengabaikan ilmu mereka dan langsung bertindak sesuai dengan kemauan ktia sendiri?

Karena bapak adalah seorang ahli pendidikan (dari kalangan ulama pendidikan, Insya Allah) saya ingin memberikan satu contoh lagi. Bayangkan kalau bapak datang sebagai ahli pendidikan untuk melatihkan guru. Lalu ada seorang guru, yang sangat minim ilmu pendidikannya (yang hanya lulus SD), yang bicara seperti ini kepada bapak:

“Mengenai ‘active learning’ ini, let me tell you, Bapak, saya tidak perduli apa argumen ulama pendidikan (mau yang dalam negeri maupun yang luar negeri, jaman dulu maupun jaman sekarang) dalam soal larangan mengajar dengan selalu berpusat pada guru. Saya akan tetap mengajarkan dengan cara anak-anak wajib nurut dengan kemauan saya, wajib mencatat apa yang saya tulis di papan tulis dan tidak boleh berargumentasi sendiri, etc. di dalam kelas saya. Saya bahkan akan mendoktrin mereka sehingga mereka hanya bisa setuji pendapat saya bila ingin lulus dari ujian karena hanya pendapat saya yang benar di dalam kelas! Ya! Saya akan mengajar dengan cara yang bapak katakan buruk dan ketinggalan zaman. Bagaimana kalau Tuhan 'tidak ridha' dengan sikap saya ini terhadap anak-anak, yang dipaksakan nurut dengan gurunya? Mana mungkin!”

Bagaimana pak? Bisa terima sikap seperti ini dari seorang guru yang sedang ikuti training? Dia seharusnya datang dengan sikap “Saya ingin belajar ‘apa’ yang benar di bidang pendidikan, dengan rasa hati-hati karena takut salah,” tetapi saat dia hadapi bapak dan para ulama pendidikan, dia malah bersikap “Saya sudah pasti benar dan tidak perlu hati-hati atau takut salah karena pendapat saya disetujui pemerintahan Orde Baru, jadi saya pasti benar, dan mayoritas ulama pendidikan di dunia perlu mengikuti cara didik saya.”

Bagaimana perasaan bapak kalau menghadapi orang seperti ini yang jelas-jelas tidak paham pendidikan, mengajarkan anaknya dengan cara yang sangat buruk, dan memberikan hasil yang buruk, tetapi pada saat kaum ulama pendidikan ingin memberikan ilmu yang benar kepadanya, dia malah menolak ilmu mereka hanya karena dia ingin benar sendiri, dan tidak peduli pada pendapat ahli pendidikan? Bukannya bapak akan merasa sangat sedih dan kecewa pada guru itu? Kalau iya, saya ingin bertanya kenapa bapak justru menunjukkan sikap yang sama terhadap para ulama agama Islam yang ingin mengajarkan yang benar kepada bapak, tetapi bapak menolak dengan alasan “Saya tidak peduli pada jutaan ahli agama di dunia ini! Hanya pendapat komunitas JIL yang benar!”

109. Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang jadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah)?

(Surah An-Nisa QS. 4:109)

KESIMPULAN

Bapak, dengan penuh kehormatan, saya ajak bapak untuk merenungkan semua ayat, hadiths, dan komentar di atas. Bila bapak ingin bertanya lagi (dengan niat belajar), silahkan. Insya Allah saya, atau orang lain yang ilmunya lebih tinggi, bisa menjawab semua pertanyaan bapak sehingga bapak menjadi puas, dan bisa tinggalkan komunitas JIL, dan orang-orang yang sependapat dengan mereka. Tetapi kalau bapak hanya membalas tulisan ini dengan niat membantah karena bapak merasa benar sendiri (walaupun bertentangan dengan jutaan ulama Islam di dunia) maka, mohon maaf, saya tidak tertarik untuk berdebat lagi tentang perkara ini. Waktu saya sudah habis berjam-jam untuk membuat tulisan ini. Hal itu saya lakukan dengan niat membagi ilmu yang telah saya terima dari guru saya. Waktu beliau lebih banyak yang habis untuk mengjarkan saya, dan saya dulu juga sering berdebat dengannya. Tetapi saya berdebat untuk mencari kebenaran. Soalnya, suatu argumentasi yang benar bisa bertahan terhadap pertanyaan dari seorang pelajar. Dan setelah semua pertanyaan saya dijawab dengan baik dan benar oleh Kyai Masyhuri, saya tidak berdebat lagi, dan mencatat ilmu yang telah beliau sampaikan.

Dengan penuh kehormatan, saya mohon bapak membaca tulisan saya yang sederhana ini lebih dari satu kali dan benar-benar merenungkannya. Kalau bapak ingin mencari kebenaran, saya yakin Allah akan mengutus seseorang yang sanggup menjawab semua pertanyaan bapak sehingga bapak menjadi yakin atas kebenaran tersebut. Tetapi hal itu hanya bisa terjadi bila bapak berniat mencari kebenaran. Kalau tidak, bapak sebatas ingin berdebat karena mau dibenarkan sendiri, walaupun hal itu berarti bapak harus melawan ilmu yang Allah berikan kepada para ulama kita.

Dengan penuh kehormatan, saya mohon agar bapak mencari seorang ustadz yang mempunyai nama baik di masayarakat dan bergabung dengan pengajiannya. Datang dengan niat menutut ilmu dan silahkan bertanya-tanya kepadanya. Tetapi kalau dia sudah menjawab, dan menjelaskan dalilnya, tidak benar kalau bapak langsung menolak semuanya hanya karena bertentangan dengan pendapat pribadi bapak (yang sudah dibentuk oleh pemikiran JIL).

Saya mohon Allah memberi petunjuk dan hidayah kepada bapak, dan membuka mata bapak supaya bapak bisa melihat kelemahan dari argumentasi orang JIL. Insya Allah, bapak bisa mendapatkan semua jawaban yang diinginkan dari seorang alhi agama di dekat rumah bapak, dan Insya Allah ilmu dari ustadz itu akan sesuai dengan apa yang saya sampaikan di atas. Ini jawaban yang terbaik dari saya dan Insya Allah sesuai dengan ilmu yang telah saya terima dari guru saya almarhum KH Masyhuri Syahid. Oleh karena itu, Insya Allah jawaban dari ustadz yang lain tidak akan bertentangan dengan tulisan saya ini.

(Saya mohon maaf karena tulisan ini menjadi panjang, tetapi saya tidak merasa tenang kalau disingkat2 hanya untuk menghemat waktu, dan kemudian, ilmu yang dibutuhkan tidak bisa disampaikan dengan benar. Mohon maklum. Mohon maaf bila tidak berkenan).

Semoga bermanfaat bagi bapak dan pembaca yang lain.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Wabillahi taufiq walhidayah. Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Gene


1 comment:

  1. terima kasih infonya...di sini ada juga info tentang fatwa ulama dalam masalah ini:
    http://abuzaidaz.blogspot.com/2013/12/fatwa-para-ulama-tentang-menghadiri.html

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...