TRIBUNJATIM.COM,KEDIRI-
Kemarau kali ini membuat sekitar 1.700 (dari 1.900) KK atau 5.000 warga Desa
Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, terpaksa minum air sungai yang
sarat limbah cucian dan kotoran manusia serta hewan ternak.
Karena sejumlah mata air mati serta tak adanya bantuan pasokan air bersih dari PDAM, sebagian besar warga Desa Selopanggung terpaksa mengonsumsi air anak sungai Bruno yang sangat keruh.
Warga yang tinggal di lereng Gunung Wilis itu menyalurkan air dari anak sungai Bruno yang debit airnya telah mengecil itu ke sejumlah sumur resapan, termasuk satu yang bentuknya mirip kolam. Tentu saja air sungai itu sangat kotor karena warga menggunakannya selain untuk mandi, mencuci pakaian, buang air besar, dan memandikan ternak, juga untuk mencuci kendaraan.
“Karena sungai hanya satu, maka dipakai untuk semua kebutuhan mandi, cuci dan kakus (MCK) serta memandikan ternak. Semua kotoran dan limbah cucian, termasuk deterjen masuk ke sumur resapan dan langsung dimasak untuk air minum. Dalam keadaan darurat seperti ini, satu–satunya alternatif ya hanya itu,” ujar Kades Selopanggung, M Zari, Minggu (11/9).
Karena sejumlah mata air mati serta tak adanya bantuan pasokan air bersih dari PDAM, sebagian besar warga Desa Selopanggung terpaksa mengonsumsi air anak sungai Bruno yang sangat keruh.
Warga yang tinggal di lereng Gunung Wilis itu menyalurkan air dari anak sungai Bruno yang debit airnya telah mengecil itu ke sejumlah sumur resapan, termasuk satu yang bentuknya mirip kolam. Tentu saja air sungai itu sangat kotor karena warga menggunakannya selain untuk mandi, mencuci pakaian, buang air besar, dan memandikan ternak, juga untuk mencuci kendaraan.
“Karena sungai hanya satu, maka dipakai untuk semua kebutuhan mandi, cuci dan kakus (MCK) serta memandikan ternak. Semua kotoran dan limbah cucian, termasuk deterjen masuk ke sumur resapan dan langsung dimasak untuk air minum. Dalam keadaan darurat seperti ini, satu–satunya alternatif ya hanya itu,” ujar Kades Selopanggung, M Zari, Minggu (11/9).
Selama ini, kata Zari, anak sungai Bruno adalah satu-satunya sungai andalan warga. Melihat warga mengonsumsi air yang tak layak minum, Zari mengaku sedih. Sebenarnya ia telah mengajukan permohonan dropping air bersih dari pemkab. Namun, permintaan belum ditanggapi.
Tak hanya itu, Zari juga telah mengirim proposal pembangunan sumur untuk mengolah air sungai agar menjadi bersih. Namun, juga belum ada respons. “Kami berpikir positif, mungkin belum ada anggaran,” tambahnya.
Memang sebagian kecil warga, terutama yang tinggal di lereng bawah, telah mendapat pasokan air bersih lewat program Water Sanitation For Low Income Communities (WSLIC) dan HIPPAM.
Namun sayang, air yang dipasok masih bercampur rumput, tanah, dan kerikil. Setiap hari warga harus menguras menguras bak penampungan air yang selalu kotor.
Hanya sedikit warga yang bisa mengakses air minum galonan di pusat Kecamatan Semen. Maklum, kondisi ekonomi sebagian besar warga minus. Meski demikian, untuk kebutuhan lain, termasuk memasak dan mencuci piring, mereka masih harus mengambil air sungai. “Untuk minum, saya beli air galon, tapi untuk masak ya air sungai. Dalam sehari, saya harus bolak-balik ambil air ke sungai,” kata Ny Bowo.
Zari selalu cemas warganya kena diare. Untungnya, katanya, warga sudah kebal dan ketika merasakan sakit perut, langsung membeli obat diare di toko. Sampai kemarin memang belum ada laporan jumlah warga yang terkena diare.
Kasus diare di Kediri diperkirakan akan mulai meningkat Oktober 2011 pada puncak kekeringan yang mengancam sekitar 2.477 KK warga. Catatan Surya menyebutkan rata-rata ada 2.000 sampai 3.000 kasus diare per tahun di Kediri. Setiap tahun, kasus diare akan cenderung meningkat memasuki periode Oktober–November.
Dinkes mencatat pada Oktober 2010 ada 3.024 kasus diare. Angka ini meningkat pada November menjadi 3.163 kasus. Memang, diare tak selalu dikaitkan dengan krisis air bersih. Namun, kekeringan dan krisis air bersih nampaknya seiring dengan meningkatkan kasus diare.
Kekeringan yang mendera warga sejak April 2011 tak hanya memaksa mereka minum air yang berbahaya bagi kesehatan. Sekitar 200 hektar sawah di Selopanggung mengering. Ladang juga mengering. Satu-satunya andalan adalah singkong. Sehingga mereka terpaksa mengonsumsi gaplek. Selain itu, kesulitan ekonomi memaksa sebagian warga merantau ke kota atau ke luar pulau.
Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Kediri Abdul Hasyim mengatakan, pihaknya telah mengingatkan kepada pihak eksekutif agar memprioritaskan program penanganan dampak kekeringan. Tapi, rasanya peringatan kami tidak diperhatikan sepenuhnya,” katanya kemarin malam.
Kekeringan dan krisis air bersih, katanya, adalah problem yang setiap tahun terjadi di Kediri. Selain Desa Selopanggung, paparnya, yang juga didera krisis air bersih antara lain Dusun Geneng dan Bukaan, Desa Tarokan, serta Dusun Selang, Desa Bulusari, Kecamatan Tarokan. “Di sana, untuk mendapatkan dua tong air, warga harus bayar Rp 10.000,” ungkapnya.
Plt Kabag Humas Pemkab Edhi Purwanto berjanji segera mengirim tim Dinkes dan Dinas Lingkungan Hidup untuk melihat air kotor yang dikonsumsi warga Selopanggung. “Kami sudah membangun sumur bor dan pipanisasi jaringan air. Program seperti WSLIC juga sudah kami jalankan. Tapi, harus diingat, air adalah persoalan alam. Kalau air yang tidak ada, apa yang bisa dilakukan?” tuturnya.
Krisis air bersih tak hanya terjadi di Kediri. Di Bojonegoro, data di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menyebutkan, sudah ada sekitar delapan kecamatan yang mengalami kekeringan dan krisis air bersih, yakni Purwosari, Tambakrejo, Bubulan, Ngasem, Kasiman, Sugihwaras, Kedungadem, dan Kepohbaru.
Untuk mendapatkan air, ratusan warga Desa Karangdinoyo dan Karanganyar, Kecamatan Ngasem, terpaksa menggali dasar sungai yang mengering. Setiap hari mereka hanya menyusuri sungai untuk mencari titik-titik di dasar sungai yang jika digali kemungkinan ada airnya. Dengan membawa gayung plastik dan timba, Juhari, warga Desa Karanganyar, mengumpulkan air dari sungai yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya.
Sumber : Surya/ant
Penulis : yoni
Editor : yoni
No comments:
Post a Comment