Search This Blog

Labels

alam (8) amal (100) anak (299) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (8) dakwah (87) dhuafa (18) for fun (12) Gene (222) guru (61) hadiths (9) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (52) indonesia (570) islam (557) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (357) kesehatan (97) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (52) my books (2) orang tua (8) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (503) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (11) pesantren (34) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (179) Sejarah (5) sekolah (79) shalat (9) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

10 September, 2012

Hukuman Fisik dalam Islam dan Pendidikan Moderen


Assalamu’alaikum wr.wb.,
Teman2, kemarin ada pernyataan dari Mendikbud yang mengatakan hukuman fisik terhadap siswa boleh, selama tidak berlebihan. ("Hukuman, misalnya fisik, itu kan pelajaran juga, selama tidak dalam bentuk berlebihan.") Dalam membahas pernyataan ini, saya dan banyak guru lain menjelaskan bahwa pendapat seperti ini sudah ketinggalan zaman dan tidak tepat di ranah pendidikan.

Dalam tanggapi diskusi ini, ada juga suara yang muncul dari beberapa guru dan orang tua yang setuju dengan kekerasan fisik terhadap anak. Kebanyakan mengatakan bahwa Islam “mengizinkan pemukulan” terhadap anak kalau dia tinggalkan shalat. Ini dianggap sebagai izin bebas untuk memukul anak, kapan saja, di mana saja, dengan cara apa saja, selama dianggap “mendidik” oleh orang dewasa yang sedang memukul. Juga dikutip hadiths yang berkaitan seperti ini:

Rasulullah SAW bersabda, “Perintahkan anak-anakmu shalat apabila telah berumur 7 tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat apabila telah berumur 10 tahun dan pisahkan tempat tidur mereka. (HR. Abu Daud)

Jadi hadiths seperti ini jelas ada, dan kalau dibaca secara tekstual saja, sepertinya memberikan “izin” memukul anak. Anak saya tidak shalat? Saya boleh ambil rotan dan hajar dia sampai pingsan agar takut dan tidak terulang lagi. Ada hadiths. Ada izin. Tidak perlu belajar lagi. Sudah paham dari teksnya. Betul?

Dulu saya membaca hadiths ini, dan bagi saya terasa tidak enak karena saya seorang guru, jadi tidak setuju dengan kekerasan terhadap anak. Saya bahas dengan guru agama saya (KH Masyhuri Syahid MA) yang menjelaskan bahwa hadiths seperti ini, dan banyak ayat juga, tidak boleh dipahami secara tekstual saja. Islam harus dipahami secara lengkap (kaffah), bukan sepotong2 saja. Hampir semua ayat dan hadiths ada KONTEKS, dan juga ada TAFSIR. Jadi tidak benar kalau dipahami dari teks saja, apalagi dari teks terjemahan dan bukan dari bahasa Arab yang asli, lalu diaplikasikan secara luas karena merasa “sudah paham”.

Hadiths itu menganjurkan untuk “memukul anak yang tidak shalat’. Kenapa? Shalat itu wajib, dan juga penting sekali. Jarang sekali ditemukan seorang remaja atau dewasa yang rajin shalat dan sekaligus berzina, narkoba, mabuk-mabukan, dan sebagainya. Yang jadi bermasalah selalu orang yang terlebih dahulu tinggalkan shalat. Lalu gampang didekati setan, dan dosa2 besar menjadi urusan biasa. Jadi shalat wajib 5 waktu memang penting sekali. Tetapi tidak berarti reaksi kita harus selalu dan secara automatis “memukul”. Guru saya menjelaskan bahwa Islam menganjurkan kasih sayang di atas “kekerasan” atau hukuman. Jadi anak yang tidak shalat harus diajak bicara dulu (bukannya langsung dihajar). Kenapa tidak mau shalat? Mungkin kalau cara itu tidak berhasil, bisa diberikan sangsi. Tidak shalat, tidak boleh nonton tivi dan sebagainya. Kalau semua cara yang lembut dan penuh kasih sayang tidak berhasil, maka cara yang paling terakhir adalah memukul, karena sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan setelah itu. Itu sudah merupakan tindakan paling esktrim dan paling akhir.

Memukul “boleh” (bukan wajib) kalau semua cara lain tidak berhasil. Memukulpun ada tafsirnya. Tidak boleh berlebihan dan tidak boleh dalam keadaan marah. Tidak boleh tinggalkan bekas baik secara jasmani maupun rohani. Memukul yang tinggalkan memar tidak benar, memukul yang membuat anak membenci orang tua juga tidak benar. (Saya pernah konsultasi dengan seorang anak muda yang mau murtad karena dia sangat membenci ibunya, dan mau menyakiti hatinya ibu dengan cara murtad.) Jadi memukul juga ada tafsir, tahapan dan aturan. Tapi orang yang belajar agama sedikit saja, hanya akan baca teks dalam artikel atau dengar dalam ceramah, tapi mungkin tidak sampai minta TAFSIR dari guru agama, lalu akan merasa “bebas memukul anak” karena ada “izin” dari hadiths.

Apakah ada hadiths dari Nabi Muhammad SAW yang mengatakan, “Kalau anak tidak mengerjakan PR, pukullah mereka!” atau “Kalau anak belum selesaikan nasinya dengan cepat, pukullah dia!” atau “Kalau anak tidak hati-hati dan pecahkan barang di rumah, pukullah dia!” Apakah ada hadiths seperti itu? Tidak ada sama sekali. Yang ada hanya hadiths yang menyuruh memukul anak KALAU TIDAK SHALAT. Tidak ada lagi yang dibahas oleh Nabi SAW.

Jadi kadang ada orang tua dan guru yang sebatas membaca “hadiths yang mengizinkan kita memukul anak” (kalau tidak shalat) dan mungkin merasa sudah paham pendidikan versi Islam (Boleh memukul! Apa lagi yang perlu dipelajari? Sudah cukup deh!). Ada banyak sekali hadiths yang lain, yang TIDAK PERNAH mereka baca apalagi aplikasikan di lingkungan sekolah atau rumah. Coba cari sendiri: tidak ada satupun hadiths (setahu saya) yang melaporkan Nabi Muhammad SAW pernah memukul seorang anak. “Izin” mungkin ada, tapi tidak ada bukti pernah dilakukan. Nabi SAW juga tidak pernah marah terhadap anak, dengan bertanya kenapa mereka melakukan sesuatu. Dia juga tidak bertanya kenapa suatu hal belum mereka kerjakan. Anas yang menjadi pelayan Nabi SAW selama beberapa tahun, dan kalau tidak dilakukan suatu perintah dari Nabi, maka Nabi tidak pernah marah, walaupun instruksi Nabi SAW diabaikan. Dan kalau anak itu dimarahi sahabat, justru NABI SENDIRI yang membela anak itu, dan menegor sahabat yang marah, agar anak dibiarkan. Coba baca:  

Nabi Tidak Pernah Memukul
“Rasulullah SAW tidak pernah memukul dengan tangannya, baik terhadap isteri maupun terhadap pelayannya, kecuali dia berjihad di jalan Allah.”
(Sahih Muslim, Nomor 4296)

Nabi Tidak Pernah Menghardik
Dari Anas yang berkata: “Aku telah melayani Rasulullah SAW selama sepuluh tahun. Demi Allah, beliau tidak pernah mengeluarkan kata-kata hardikan kepadaku, tidak pernah menanyakan 'Mengapa engkau lakukan?' dan juga tidak pernah mengatakan 'Mengapa engkau tidak melakukannya?'”
(Sahih Bukhari, Kitab Adab Nomor 5578)

Nabi Tidak Pernah Mencela
Dari Anas yang mengatakan, “Beliau tidak pernah sekali pun memerintahkan sesuatu kepadaku, kemudian akan manangguhkan pelaksanaannya, lalu beliau mencelaku. Jika ada salah seorang dari ahli baitnya mencelaku, beliau justru membelaku, ‘Biarkanlah dia, seandainya hal itu ditakdirkan terjadi, pastilah terjadi.’”
(HR Ahmad 12938)

Pendidikan Akhlak adalah yang Utama
Nabi SAW bersabda: “Tiadalah pemberian orang tua yang lebih utama bagi anak mereka daripada pendidikan adab yang mulia (al-akhlaq al-karimah).”
(HR Tirmidzy)

Apakah ada guru atau orang tua di sini yang bisa mengaku “tidak pernah mengeluarkan kata-kata hardikan” kepada seorang anak?? Padahal itu CONTOH dari Nabi kita. Kapan hadiths-hadiths seperti ini akan dibaca dan diaplikasikan di sekolah dan rumah? Mungkin banyak orang tua dan guru berhenti setelah baca “pukullah” (kalau tidak shalat) dan merasa sudah paham pendidikan yang islamiah. Apapun yang tidak disenangi orang tua dan guru, balaslah dengan pukulan. Ada izin dari hadiths. Apa lagi yang perlu? PR belum selesai? Pukullah! Ribut dengan adiknya? Pukullah! Belum rapikan mainan? Pukullah! Dan seterusnya. Kelembutan Rasulullah SAW terhadap anak hilang begitu saja, karena banyak orang Muslim yang dewasa merasa puas dengan kata “Pukullah!” dan berhenti belajar di situ saja.

Ada kritikan kemarin yang mengatakan bahwa kita sebagai orang Muslim harus mengikuti “standar Islam” dalam pendidikan, bukan “standar Internasional”. Baiklah. Saya setuju sekali. Tapi saya mau bertanya, “Kapan kita akan mulai mengikuti standar Islam??” Soalnya, yang saya lihat di Indonesia adalah standar Islam tidak diikuti, dan standar internasional juga tidak diikuti. Jadi standar apa yang berlaku di sini??

Ada buku yang menurut saya sangat luar biasa. judulnya: Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah. Ini buku terjemahan dari bahasa Arab, insya Allah masih ada di Gramedia dan Gunung Agung. Saya dapat dari guru saya dulu dan sangat kaget membaca isinya. Menurut saya SEMUA penemuan terbaru di dunia pendidikan barat, tentang cara terbaik mendidik anak, SUDAH ADA di dalam buku ini, yang isinya hadiths dan sedikit ayat, serta TAFSIR terhadap hadiths2 itu. Saya hampir tidak percaya bahwa apa yang ditemukan di dunia barat sekarang ini, dan dianggap sebagai metode pendidikan terbaik untuk anak SUDAH DIJELASKAN oleh Rasulullah SAW lebih 1400 tahun yang lalu (tapi para ahli pendidikan di negara maju tidak tahu).

Anehnya, lewat jalur yang berbeda, lewat penelitian dan riset yang luas dan profesional, para ahli pendidikan di barat mencapai kesimpulan yang hampir persis sama dengan apa yang sudah diajarkan oleh Nabi SAW. Masalahnya, pendidikan dari barat seringkali ditolak di sini (dari barat, kafir, tidak bisa diterima), tapi informasi yang hampir persis sama sudah ada di dalam hadiths, dan JUGA TIDAK DIGUNAKAN di Indonesia dan negara2 Muslim yang lain!!

Jadi kita mengikuti siapa?? Standar internasional tidak. Contoh Rasulullah SAW juga tidak. Siapa yang kita ikuti dalam sekolah dan rumah tangga kita??

Saya simpan info tentang buku ini di blog saya. Sampulnya bisa dilihat dulu sebelum dicari di toko buku. Juga ada link ke versi online, yang berasal dari buku yang lain, tapi isinya mirip walaupun sangat ringkas. Kalau sibuk, mungkin bisa baca yang online saja. Saya sangat menganjurkan agar setiap orang tua dan guru yang Muslim beli buku Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah dan berusaha untuk aplikasikan setiap hari. Kalau bisa, mungkin kebanyakan guru dan orang tua yang Muslim akan (akhirnya) mulai mengikuti contoh Nabi dalam mendidik anak, yang perlu ditekankan, hampir persis sama dengan cara pendidikan yang dianjurkan oleh ahli pendidikan secara internasional. Standar pendidikan yang islamiah dan standar pendidikan yang internasional hampir persis sama. Tetapi dua-duanya tidak dipakai secara luas di sini.
Kenapa?


Semoga bermanfaat.
Wabillahi taufik walhidayah,
Wassalamu’alaikum wr.wb.,

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...