Search This Blog

Labels

alam (8) amal (100) anak (299) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (8) dakwah (87) dhuafa (18) for fun (12) Gene (222) guru (61) hadiths (9) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (52) indonesia (570) islam (556) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (357) kesehatan (97) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (52) my books (2) orang tua (8) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (503) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (11) pesantren (34) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (178) Sejarah (5) sekolah (79) shalat (9) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

24 January, 2024

Pilihan Yang Tidak Tersedia

Kemarin saya bahas kopi instan (tanpa ampas, seperti Nescafe) dan coklat, yang tidak ada banyak pilihan lokalnya. Beberapa orang bilang, "sesuai pasar". Katanya, "orang Indonesia", yaitu 200 juta manusia dewasa, hanya punya satu selera. Tetapi kalau tidak pernah dikasih banyak pilihan, bagaimana yang dipilih bisa dianggap kemauan mereka? Kalau hanya ditawarkan apel merah atau hijau (tanpa buah lain), lalu kebanyakan orang memilih apel merah, apa bisa dikatakan 200 juta orang tidak suka pisang atau mangga? Kalau kita mau bahas "pilihan rakyat", maka sebelumnya harus ada pilihan!

Dulu, sering dikatakan "rakyat mendukung Golkar" karena Golkar selalu menang. Umat Islam dukung PPP karena dipilih banyak Muslim. Setelah dikasih "banyak pilihan", ternyata rakyat inginkan yang lain. Begitu juga dengan kopi, coklat, dll. yang tidak tersedia di Indonesia, tetapi dikatakan, "rakyat tidak inginkan". Dulu, saya diberitahu, "Orang Indonesia tidak suka roti." Lalu Bread Talk buka, dan ada antrean ratusan orang. Waktu J-Co mau buka dikatakan, "Orang Indonesia tidak suka donut." Penuh juga. Starbucks mau buka? "Orang Indonesia tidak suka kopi dengan susu!" Tapi penuh.

Banyak orang Indonesia dibesarkan "tanpa pilihan", jadi bersikap, "Apa boleh buat?" Tidak ada pilihan, jadi dianggap tidak ada "hak" untuk dapat pilihan. Rambut anak laki-laki dipotong oleh gurunya? Apa boleh buat? Tidak boleh ada pilihan di sekolah. Terganggu oleh ganjil-genap di DKI? Apa boleh buat? Tidak boleh ada pilihan bagi warga kota. PNS dan guru tidak mau pakai seragam? Apa boleh buat? Tidak boleh ada pilihan bagi PNS.

Suatu pihak ambil keputusan, lalu keputusan itu dipaksakan terhadap kelompok besar, tapi kelompok itu merasa "tidak berdaya". Yang berkuasa bisa berbuat semaunya mereka, walaupun berpengaruh terhadap jutaan orang, tetapi jutaan orang itu tidak berani berbeda pendapat. Hasilnya adalah rakyat yang diam dan taat daripada berpikir sendiri dan menuntut hak memilih!

Pengusaha juga tidak perlu repot menyediakan pilihan. Ingat Silver Queen zaman dulu? Selama puluhan tahun dijual dengan satu ukuran dan satu rasa. Ingat SPBU milik Pertamina? Rusak, kotor, WC jelek, dsb. Ketika dapat saingan yang berikan pilihan, baru beberapa PT lokal mulai berubah.

Jadi ini masalah yang cukup luas. Dimulai dari sistem pendidikan, lalu masuk bisnis, budaya, agama, dan kepengurusan organisasi, wilayah, dan pemerintah. Rakyat terbiasa hidup tanpa pilihan, jadi tidak berpikir untuk dapat "yang berbeda". Banyak orang diam dan taat saja, lalu menunggu "orang lain" melakukan perubahan. Kalau untuk dapat banyak jenis kopi saja rakyat tidak berani berharap dapat yang berbeda, bagaimana mau dapat banyak pilihan di ranah yang lain?

Kondisi ini hanya bisa mulai berubah apabila rakyat bersatu untuk jelaskan kemauannya secara terbuka, dan tidak mau dikalahkan oleh pihak lain yang ingin memaksakan kehendaknya. Kalau 200 juta orang dewasa tidak setuju pada sesuatu, akan lebih baik kalau mereka bersatu dan menuntut hak memilih sendiri. Harus ada persatuan dulu, dan rakyat harus berani menyatakan, "Kami inginkan yang ini, dan bukan yang itu!" Semoga bermanfaat sebagai renungan.
-Gene Netto


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...