Search This Blog

Labels

alam (8) amal (100) anak (299) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (8) dakwah (87) dhuafa (18) for fun (12) Gene (222) guru (61) hadiths (9) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (52) indonesia (570) islam (557) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (357) kesehatan (97) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (52) my books (2) orang tua (8) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (503) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (11) pesantren (34) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (179) Sejarah (5) sekolah (79) shalat (9) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

25 February, 2024

Satu Lagi Anak Indonesia Tewas Secara Sia-Sia Dalam Latihan Silat

Sekali lagi, seorang anak tewas dalam latihan silat. Anak yang ikut Taekwondo? Aman. Karate? Aman. Kungfu? Aman. Brazilian Jujitsu (BJJ)? Aman. Aikido? Aman. Judo? Aman. Kendo? Aman. Taichi? Aman. Mixed Martial Arts (MMA)? Aman. Muai Thai (Kickboxing)? Aman. Hanya anak yang ikut SILAT yang mati terus secara sia-sia.

Pelatihnya berusia 17 tahun. Niatnya mau "menghukum" murid, jadi seorang perempuan berusia 15 tahun ditendang di ulu hati. Syarat-syarat untuk menjadi pelatih? Tidak ada (mungkin hanya ada kewajiban hafal jurus). Pendidikan perlindungan anak sebelum boleh menjadi pelatih? Tidak ada. Pendidikan P3K? Tidak ada. Pendidikan tata cara "menghukum" murid secara aman? Tidak ada. Siapa saja, pada usia berapa saja, dengan pengalaman apa saja, bisa menjadi pelatih begitu saja. Cukup hafal jurus, simsalabim, menjadi pelatih.

Tetapi korbannya bukan anak presiden, anak gubernur, anak menteri, anak jenderal, atau anaknya orang kaya. Jadi dia tidak penting. Jadi jangan berharap akan terjadi perubahan. Nyawanya anak miskin di Indonesia begitu murah. Boleh dibunuh kapan saja, tanpa perlu khawatir para pemimpin akan peduli terlalu banyak. (Kalaupun mereka berkomentar di media, hanya akan mengatakan, "Memprihatinkan ya!") Jangan berharap terjadi perubahan. Kita harus menunggu anaknya "orang penting" yang mati secara sia-sia, baru mungkin akan muncul kepedulian terhadap sistem rusak yang menewaskan anak Indonesia terus.
-Gene Netto

Pelajar SMP di Jember Tewas Usai Ditendang Pelatih Saat Latihan Silat
https://surabaya.kompas.com

20 February, 2024

Kenapa Murid TK Bisa Tewas Setalah Tertimpa Rak Penyimpanan Tas?

Menyedihkan sekali. Seorang anak TK tewas di dalam kelas, setelah tertimpa oleh rak penyimpanan tas. Kenapa bisa terjadi? Karena banyak sekolah dan pesantren kurang aman, dan banyak guru dan ustadz kurang memikirkan keselamatan siswa. Kenapa tidak? Karena ketika belajar menjadi pendidik, mereka tidak dilatih untuk utamakan keselamatan anak sebagai prioritas tertinggi.

Saya pernah periksa berbagai sekolah dan pesantren. Di setiap lokasi ada hal-hal yang berbahaya. Ada tembok atau atap yang siap runtuh. Ada barang yang siap jatuh dari atas. Ada tangga dan lantai yang sangat licin. Ada potongan besi atau pagar yang tajam. Dan seterusnya. Di sebuah sekolah, saya lihat papan pengumuman besar, yang berdiri secara bebas. Beratnya mungkin 100kg, tetapi tidak stabil. Dengan 1 jari tangan, saya mulai dorong secara pelan. Bagian atas langsung miring. Teman saya maju cepat dan tangkap. Katanya, saya bisa dimarahi kalau jatuh dan pecah. Saya tanya, "Apa lebih baik dibiarkan, menunggu kepala anak yang pecah??" Dia sarankan saya laporkan saja. Dilaporkan. Tidak ada yang berubah…

Pernah saya lihat tembok miring yang sudah mau runtuh di sebuah SD. Saya taruh 1 tangan di belakang dan mulai dorong pelan, dan tembok itu mulai bergeser. Teman saya tegur dan suruh saya jangan merusak tembok sekolah. Kalau jatuh, saya akan dimarahi. Saya tanya, "Apa lebih baik dibiarkan, menunggu 5 anak menjadi korban?"

Saya lupa berapa kali saya pernah lihat hal-hal yang berbahaya di sekolah, lalu saya memberi tahu teman, guru, ustadz, kepala sekolah, yayasan dan tidak ada yang berubah. Sayalah yang dianggap aneh. Tembok belum jatuh, belum ada anak yang mati, jadi kenapa perlu dibahas? Tunggu anak mati dulu, lalu dikatakan "takdir", dan baru ada keperluan memperbaiki tembok! (Yang penting, bukan anak kandung sendiri yang mati ya!)

Ketika saya kuliah di Australia dulu, dosen jelaskan secara tegas: "Murid harus selamat!" Tidak ada prioritas lebih tinggi. Percuma guru kembalikan mayat murid kepada orang tuanya, sambil jelaskan, "Tapi nilai bahasa Inggrisnya tinggi ya Bu!!" Tugas guru adalah bertindak sebagai wakil dari orang tua. Dalam bahasa Latin disebut "in loco parentis". Guru diwajibkan bertanggung jawab secara hukum. Dan sebagai wakilnya orang tua, semua murid ibaratnya anak kandung guru, jadi tentu saja nilai pelajaran tidak penting dibandingkan kewajiban untuk selamatkan semua anak, setiap saat, setiap hari.

Guru yang profesional akan mencari, melaporkan, dan memperbaiki apa saja yang berbahaya bagi anak di dalam sekolah dan pesantren. Tapi hal itu tidak selalu terjadi. Jadi orang tua perlu memikirkan: Berapa persen dari guru dan ustadz mengerti tugasnya sebagai pendidik, dan mengerti bahwa keselamatan anak lebih tinggi prioritasnya daripada nilai pelajaran?
-Gene Netto

Murid TK di Bangka Tewas Usai Tertimpa Rak Penyimpanan Tas
https://www.detik.com

Kasus Bullying Di Sekolah Binus

Ada berita tentang kasus bullying di SMA Binus di Serpong. Puluhan anak terlibat, ternyata anggota dari satu geng. Banyak orang tua menduga sekolah yang sangat mahal akan jauh lebih baik, dengan kualitas pendidikan lebih tinggi, anak yang lebih mulia (dari keluarga kaya), dan hasil yang lebih bagus untuk masa depan anaknya. Secara umum ada benarnya, tapi walaupun ada banyak keuntungan, ternyata ada fatamorgana yang meliputi semuanya.

Kasus di Binus bisa terjadi di mana saja, jadi jangan buru-buru salahkan Binus. Terjamin di banyak sekolah lain juga ada geng-geng anak yang brutal. Di satu sekolah, mungkin ada seratus anak yang terlibat. Ada ratusan anak lain yang tahu, tetapi mereka tidak mau lapor kepada guru atau orang tua untuk selamatkan para korban. Coba tanya anak anda sendiri, ada beberapa geng di sekolahnya, dan bagaimana perilakunya.

Banyak sekolah mahal punya fasilitas mewah, jadi orang tua berasumsi "pasti" lebih baik dari sekolah yang lebih murah, atau sekolah negeri. Tetapi sekolah mahal bisa cukup "rusak" dalam manajemennya, sehingga banyak guru keluar setiap tahun. Guru yang tidak puas cepat pindah, dan para guru baru tidak kenal siswanya. Ada untung besar kalau seorang guru yang baik bisa pantau dan mendidik anak yang sama selama beberapa tahun.

Ada sekolah yang gurunya bukan guru, tapi lulusan psikologi, ekonomi, dll. tanpa latar belakang pendidikan. Pengurus sekolah pilih orang yang bisa berbahasa Inggris, agar bisa dicap "sekolah bilingual". (Apa pernah lihat CV dari semua gurunya anak anda? Mungkin sekolah akan menolak kalau diminta!) Saya sudah periksa berbagai sekolah "bilingual". Belum pernah dapat satu sekolah yang punya ahli pendidikan bahasa asing yang bisa bangun sistem bilingual yang benar. Banyak sekolah swasta dijalankan sebagai bisnis, dan sisi bisnis itu lebih utama daripada keselamatan anak, kualitas pendidikan, pendidikan moral, dll.

Dalam kasus Binus, pada satu sisi, para pelaku salah karena tidak punya rasa belas kasihan. (Tetapi hasil pendidikannya begitu.) Di sisi lain, korban juga "salah" karena berusaha masuk geng di sekolah, dan siap dihajar agar menjadi anggota. Jadi yang salah siapa? Orang tua. Guru. Guru agama. Siswa lain. Sekolah. Keluarga besar. Komunitas. Dan lain-lain. Kita semua salah, karena geng anak tidak muncul dalam kekosongan. Ada orang tua dan guru yang pernah mendidik anak-anak itu bertahun-tahun, juga ada banyak saudara, dan teman, dan tetangga. Tetap saja tidak ada rasa kasih sayang di dalam hatinya. Kenapa? Karena "banyak orang" gagal mendidiknya.

Dan kalau anak sudah punya hati yang buruk, masuk sekolah mahal bukan obatnya. Apalagi kalau setiap tahun gurunya berganti. Apalagi orang tuanya cerai karena selingkuh. Apalagi saudaranya atau temannya pakai narkoba. Apalagi lihat berita tentang koruptor yang cepat kaya dan sedikit yang ditangkap. Apalagi lihat ribuan anak tawuran setiap hari, tapi hanya disuruh baca Pancasila ketika ditangkap. Apalagi lihat orang yang curang tapi bisa berhasil dalam usahanya.

Jadi anak-anak itu dibesarkan dalam negara di mana banyak orang di sekitar mereka tidak bertanggung jawab, dan tidak berikan contoh akhlak yang mulia. Mengharapkan mereka menjadi mulia, lewat "proses ajaib" yang tidak diketahui dalam sekolah mahal, sangat bodoh. Anak menjadi mulia kalau dididik menjadi mulia, dan terlihat orang yang tidak mulia kena hukuman atau gagal. Tetapi seringkali, yang terlihat adalah sebaliknya. Orang yang tidak mulia atau curang malah bisa berhasil. Jadi jangan buru-buru menyalahkan anak di geng itu, atau sekolahnya, atau orang tuanya, sebelum kita periksa diri sendiri dan saudara dan teman kita, lalu berpikir tentang contoh apa yang kita berikan dalam semua tindakan dan perbuatan kita sehari-hari.
-Gene Netto

Sekolah Benarkan Anak Vincent Rompies Terlibat Kasus Bully Siswa Binus Tangsel
https://news.detik.com

18 February, 2024

3 Siswi SD Tenggelam Dalam Acara Pramuka, Kenapa "Kegiatan Sekolah" Bisa Begitu Berbahaya?

Di Indramayu, 3 anak SD tenggelam dalam kegiatan Pramuka di sungai. Kadang saya ingin teriak. Tetapi tidak tahu apakah seharusnya teriak pada guru yang bodoh, atau pada orang tua yang bodoh. Hal yang sama terulang terus, tetapi tidak ada yang berubah. Coba pantau berita dari Australia, Selandia Baru, Singapura, dll. Negara maju, dengan lebih banyak kegiatan sekolah dibandingkan Indonesia, tetapi nyaris tidak pernah ada berita "anak tewas saat ikuti kegiatan sekolah". Di sini, berita itu begitu umum, sampai kebanyakan orang dewasa tidak terlalu peduli kalau melihat judul itu. Yang penting bukan anak kandung sendiri. Dan selama masih anaknya orang lain, cukup ucapkan Mantra Nasional, "Kami tidak menyangka", dan boleh dilupakan sampai terjadi lagi nanti.

Coba berpikir, berapa banyak anak Indonesia masih hidup kalau Pramuka dilarang, camping dilarang, liburan ke pantai dilarang, dan acara berenang dari sekolah dilarang? Mungkin sudah ribuan anak. Tetapi saya tidak bisa sebutkan angka yang pas, karena tidak ada yang cukup peduli pada anak Indonesia sampai mau direpotkan mencatat berapa banyak yang MATI dalam kegiatan sekolah. Jadi tidak ada data. Mungkin kita harus menunggu kematian anak dari orang yang punya jabatan tinggi, baru bisa terjadi perubahan. Dan baru ada kemungkinan anak Indonesia yang lain bisa diselamatkan dari bahayanya "kegiatan sekolah".

Anehnya, orang tua tetap izinkan anaknya ikut terus, tanpa tanyakan "kondisi" dari kegiatan tersebut. Dan perlindungan bagi setiap anak sebatas "harapan" anaknya kembali dalam kondisi hidup. Ketika beberapa orang tua dikasih jenazah, bukan kebodohan dari sistem itu yang dibahas, malah dicap "takdir" saja dan dibiarkan berlalu begitu saja. Sampai terjadi lagi... Siapa yang bisa bertindak untuk akhiri kebodohan dari sistem yang menewaskan anak Indonesia terus, tanpa pernah ada orang dewasa yang harus bertanggung jawab?
-Gene Netto

3 Siswi SD Tenggelam di Sungai Panarikan Indramayu, 2 Ditemukan Meninggal dan 1 Lagi Hilang
https://news.okezone.com

09 February, 2024

Sistem Pendidikan Di Indonesia Membuat Banyak Anak Trauma

Ada teman yang berkonsultasi dengan saya tentang pendidikan anaknya, yang berusia 7 tahun, kelas 2 SD di Jakarta. Dia sudah benci sekolah, menangis, dan minta pindah sekolah. Dia sangat benci bahasa Inggris dan matematika. Saya dikasih lihat ujian bahasa Inggrisnya. Nilainya rendah sekali. Lalu saya cek jawabannya.

Struktur ujian kurang baik. Tidak sesuai dengan usia seperti itu. Tulisan tangannya juga tidak bisa dibaca karena dipaksa menulis dengan huruf sambung, padahal dia tidak sanggup dan merasa itu terlalu berat. Kalau huruf cetak cukup baik untuk usianya, dan bisa dibaca. Tapi dilarang. Harus pakai huruf sambung untuk semua tulisan di kelas, dan dimarahi dan kena hukuman kalau tidak. Jadi sebelum menulis dalam ujian, sudah trauma duluan, karena harus berkonsentrasi untuk menulis dengan huruf sambung (padahal tidak bisa), dalam bahasa asing, sambil ingat kosa kata dan tata bahasa. Ini namanya pendidikan?

Lalu ada pertanyaan2 yang penuh dengan kesalahan tata bahasa, walaupun bukan masalah serius, tetap saja kurang profesional. Tapi lebih buruk lagi adalah pertanyaan dengan dua jawaban yang bisa benar. Saya bermain bola di: A) Lapangan, B) Sekolah. C dan D salah. Jawaban yang benar hanya boleh "lapangan" sedangkan anak mungkin merasa benar kalau main bola di sekolah, tapi tidak boleh benar, karena hanya jawaban dari guru yang benar. Murid otomatis salah.

Saya melihat buku pelajaran bahasa Inggrisnya. Buku itu juga penuh dengan kesalahan tata bahasa, tapi sekali lagi, bukan perkara "fatal". Ada dua bab yang menjadi materi dari ujian. House Hold (alat2 rumah tangga) dan Transportations (transportasi). Saya lihat banyak contoh yang aneh, gambar yang tidak jelas, dan cara mengajar bahasa Inggris yang juga jauh dari ideal. Lalu dari contoh2 kurang baik itu dibuat ujian. Saya lihat 3 pertanyaan dalam ujian yang tata bahasanya tidak diterangkan di dalam buku pelajaran, jadi bagaimana siswa bisa paham? Beberapa bentuk tata bahasa diajarkan sekaligus, dengan tambahan banyak kosa kata. Orang dewasa yang tidak bisa berbahasa Inggris akan alami kesulitan, apalagi anak yang baru belajar membaca dan menulis, apalagi harus menulis dengan huruf bersambung agar tidak kena hukuman.

Ibunya anak itu tunjukkan sebuah buku teks bahasa Inggris, buatan luar negeri. Saya periksa. Isinya lebih bagus dan juga berwarna. Cara mengajar lebih tepat, dan tidak ada kesalahan. Saya tanya kenapa tidak pakai itu saja? Katanya, sekolah wajibkan orang tua beli, tapi tidak pernah dipakai. Ada 3 buku. Lalu juga ada buku untuk belajar membuat huruf bersambung. Ada 3 buku juga. Dan juga tidak pernah dipakai oleh guru di kelas.

Di tengah ujian, ada satu pertanyaan yang aneh sendiri. Harus menulis "45" dalam bahasa Inggris (fourty five) tapi anak itu jelas tidak bisa. Dan tidak masuk akal kenapa tiba2 ada pertanyaan seperti itu. Gurunya sudah jelas tidak mengerti cara membuat ujian untuk anak seusia itu, dan jelas materi di dalam buku tidak diajarkan dengan cara yang cukup jelas agar siswa bisa tangkap.

Saya tanya kepada anak itu apa dia paham kenapa jawaban dia salah, setelah diterangkan oleh gurunya? Dia langsung terlihat stres, takut, dan hampir menangis. Ternyata, ditanyakan saja tentang bahasa Inggris, dia langsung takut dan mengira akan dimarahi. Saya tanya orang tuanya kenapa. Katanya guru bahasa Inggris itu galak, selalu marah dan tidak izinkan anak2 bertanya banyak. Lalu setelah selesai ujian, kertas jawaban dibagikan dan disuruh bawa pulang tanpa keterangan apapun. Tapi itu baru guru bahasa Inggris. Katanya guru kelas lebih galak lagi, marah2 terus, dan tidak suka anak yang bertanya atau anak yang tidak mengerti. Jadi anak ini sudah tidak tahan dan minta pindah sekolah dari beberapa bulan yang lalu.

Orang tua sudah ke kepala sekolah, dan ditawarkan pindah kelas saja. Ternyata kalau guru marah2, galak, marahi anak yang bertanya, dan menolak bahas jawaban dalam ujian, maka kepala sekolah tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak ada solusi selain pindah kelas.

Teman saya bertanya, "Kalau anak saya pergi ke sekolah, bukannya dia mesti dibuat happy, dan senang belajar, bukan menangis dan takut bertanya?" Saya tidak paham kenapa ada yang mau menjadi guru kalau senangnya galak dan marah pada anak kecil dan membuat mereka takut bertanya, dan juga tidak suka jawab pertanyaan. Itu bukan seorang guru menurut saya. Lebih cocok menjadi Satpam saja.

Saya tidak mengerti kenapa kepala sekolah tidak bisa melakukan apa-apa selain suruh anak pindah kelas atau pindah sekolah. Kejadian itu di sekolah swasta Islam, bukan sekolah umum. Jadi semua guru itu punya kontrak kerja, dan bukan PNS. Berapa banyak anak harus mengalami kondisi seperti ini di sekolah setiap hari? Usia 7 tahun sudah benci sekolah, tidak mau belajar, benci bahasa Inggris, dan takut bertanya. Apa manfaatnya sekolah, kalau membuat akan trauma seperti itu?  
-Gene Netto

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...