Assalamu’alaikum wr.wb.,Saya merasa sedih. Kapan saya bisa
menjadi orang kaya yang tidak perlu memikirkan uang lagi?Tadi ketemu seorang
anak yatim, anak dari teman yang bapaknya wafat tahun kemarin. Saya pengen
traktir dia makan steak karena dia suka banget dan jarang makan. Dia baru
selesai Ujian Nasional dan belajar dengan sungguh2 sebelumnya selama beberapa
bulan, jadi saya mau menghibur dia.
Pas diajak makan, saya tanya mau makan apa. Dia jawab,
“Terserah Om”. Saya balas, “Terserah kamu”. Bolak balik begitu terus selama
beberapa minit, karena dia tidak mau pilih. Saya tawarkan steak karena sudah
tahu itu kesukaan dia dan dia jarang makan. Dia menolak. Nggak mau katanya. Saya
melihat matanya. Saya tanya apa nggak mau karena lagi nggak pengen, atau karena
takut terlalu mahal? Dia diam dan mikir dulu. Hahaha. Sudah ketahuan
jawabannya. Dia tidak mau minta yang mahal. Saya paksakan dia makan steak,
sambil dengarkan dia komplain terus bahwa dia tidak mau makan steak.
Setelah dibeli dan ditaruh di meja, senyumnya lebar sekali.
Saat saya selesai makan, dia baru selesai makan setengah dari steaknya. Saya
tanya kenapa, apa kurang enak rasanya atau benar2 nggak mau makan steak
(seperti yang dia katakan tadi)? Dia senyum lebar lagi.
“Lagi menghayati steaknya,” katanya. Hahahah. Ya ampun. Saya
perhatikan bahwa steaknya dipotong kecil sekali dengan pelan sehingga ada
puluhan potongan kecil yang bisa masuk mulutnya satu per satu. Kayanya hanya
dokter gigi yang lebih pelan dan hati2 dalam melakukan tugasnya.
Saat main ke rumahnya, ketahuan kulkas rusak lagi, padahal
baru diservis setelah rusak minggu kemarin. Es krim Magnum yang saya beli
kemarin sudah mencair semua. Ibu berkomentar, ya sudah, harus dicari uangnya
untuk beli kulkas baru. Saya mau langsung berkomentar, “Biarkan saya yang
beli,” tapi pas berfikir kembali, baru ingat bahwa saya juga tidak punya uang.
Jadi harus gigit lidah dan menahan rasa sedih karena tidak bisa langsung beli
buat mereka hari itu juga.
Anak yang satu itu pengen sekali naik pesawat keluar negeri,
dan saya sudah bilang kalau ada uangnya nanti, saya mau ajak dia ikut ke Kuala
Lumpur saat saya membuat visa kerja. Insya Allah awal bulan depan saya sudah
bisa ke sana untuk membuat visa, tapi saya tidak berani berjanji kepada dia,
karena masih berfikir apakah sanggup bayarin dia juga atau tidak, jadi baru
“diinformasikan” saja kepada dia, bukan berjanji. Bapaknya sudah berjanji mau
bawa dia naik pesawat ke luar negeri, tetapi sudah wafat duluan. Jadi itu
terasa sebagai beban di dalam hatinya si anak.
Di dalam hati saya, ada daftar panjang barang2 yang mau
dibeli untuk membantu anak-anak yatim dalam keluarga yang satu itu, dan banyak
anak yatim dan anak miskin di tempat lain yang saya tahu. Mencari anak yatim
dan anak miskin tidak perlu pergi ke pelosok, karena di Jakarta dan di
sekitarnya sudah disediakan stok yang besar. Tetapi saya belum menjadi
konglomerat jadi hanya bisa bermimpi saja dan membantu sebisanya setiap bulan
dengan uang yang terbatas. Dan orang yang sudah menjadi konglomerat tidak
begitu peduli, kecuali masuk bulan puasa, maka tiba2 mulai peduli semua untuk
beberapa hari saja. Bulan puasa itu waktu “panen” untuk anak yatim dan panti
asuhan.
Di satu sisi, saya iri sekali dengan orang kaya yang uangnya
berlimpahan. Saya sering berfikir tentang apa yang bisa saya lakukan kalau ada
uang ratusan milyar seperti mereka. Tetapi mereka dikasih uang yang banyak dan
hanya merasa senang kalau uang mereka bertambah terus.
Saya merasa senang dan puas kalau melihat senyumnya seorang
anak yatim yang ditraktir makan dengan makanan kesukaan dia. Tetapi mereka yang
menjadi konglomerat (karena diizinkan kaya oleh Allah) malah merasa senang
kalau melihat saham mereka naik. Ada pilihan yang sederhana bagi kita semua:
senyum atau saham. Mana yang lebih utama?
Jadi saya merasa iri pada mereka yang menjadi konglomerat
karena tidak perlu peduli pada uang lagi, dan sekaligus saya merasa kasihan
pada mereka karena mereka tidak bisa merasakan nikmat yang luar biasa dari
senyumnya seorang anak yatim (kecuali sedikit sekali orang kaya yang memang
juga dermawan, tetapi berapa persen itu dari semua?).
Jadi saya merasa sedih. Kapan saya bisa menjadi orang kaya
ya?
Tetapi sekaligus saya merasa senang sekali pada malam ini
walaupun dompet sudah kosong. Pada saat orang konglomerat sudah pusing melihat
nilai sahamnya naik-turun pada hari ini, saya mendapatkan nikmatnya melihat
senyumnya seorang anak yatim pada waktu yang sama.
Ada pilihan yang jelas: senyum atau saham?
Biarkan konglomerat memilih yang mana saja yang mereka mau,
karena saya sudah memilih juga. Terima kasih ya Allah, sudah memberikan
kemudahan untuk memilih antara senyum dan saham. Saya sama sekali tidak mau
menukar senyumnya anak yatim itu dengan saham senilai apapun. Tidak ada
nikmatnya saham itu kalau dibandingkan dengan senyumnya seorang anak yatim yang
dirahmati Allah.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto