Labels

alam (8) amal (100) anak (293) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (18) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (564) islam (546) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (96) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (48) my books (2) orang tua (7) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (171) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

10 April, 2012

PBNU: Kami Menentang Ujian Nasional

Indra Akuntono | Lusia Kus Anna | Rabu, 21 Maret 2012 | 13:57 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Penyelenggaraan Ujian Nasional terus menuai pertentangan. Kali ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Lembaga Pendidikan (LP) Ma'Arif Pusat dengan tegas menolak Ujian Nasional (UN). Terlebih jika UN dijadikan prasyarat kelulusan di jenjang pendidikan dasar sampai menengah.

Wakil Ketua LP Ma'Arif Pusat, Masduki Baidhowi menjelaskan, pihaknya memiliki dua latar belakang mengapa dengan tegas menolak UN. Alasan itu antara lain karena  hasil akhir (output) UN yang jauh dari harapan. Selain itu pelaksanaan UN juga ditudingnya sebagai pemborosan anggaran pendidikan.

"Menurut kami UN itu tidak diperlukan, dan itu ada alasannya," kata Maduki di sela-sela diskusi pendidikan bertajuk "Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Inovasi Teknologi Pendidikan, di gedung PBNU, Jakarta, Rabu (21/3/2012).
Dijelaskannya, merujuk pada survei UNESCO tahun 2011, hanya 6 persen output pendidikan nasional yang mampu bersaing secara global. Itu pun didominasi oleh peserta didik yang berasal dari golongan ekonomi kuat.

Selanjutnya, tak lebih dari 24 persen peserta didik yang tercatat memiliki output sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP).

"Sisanya, 70 persen peserta didik memiliki output pendidikan di bawah Standar Pelayanan Minimal (SPM). UN terbukti tak dapat menyentuh target minimal, bagi kami itu celaka," ujarnya.

Alasan lainnya, kata Masduki, adalah mengenai biaya penyelenggaraan UN. Dengan nominal sekitar Rp 600 miliar untuk satu kali pelaksanaan, ia menilai itu sebagai pemborosan anggaran yang sebaiknya dapat dialokasikan untuk menutupi beban operasional pendidikan lainnya.

Belum lagi, tambahnya, UN juga mendorong sekolah bertransformasi sebagai lembaga kursus. Karena hanya menitik fokuskan pendalaman materi pada mata pelajaran yang di ujikan dalam UN.

"Menghabiskan dana tapi tidak meningkatkan mutu. Itu mengerikan, karena rakyat tidak mendapatkan apa-apa," pungkasnya.


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...