(Saya menulis artikel ini untuk membalas beberapa komentar yang
masuk di blog dan facebook, berkaitan dengan anak yatim dan sikap saya kepada
mereka. Semoga bermanfaat sebagai renungan.)
Assalamu’alaikum wr.wb., Terima kasih kepada semua teman yang kasih komentar yang
mendukung tulisan saya tentang anak yatim kemarin. Saya
sudah lama hidup seperti itu dengan niat memperhatikan dan membantu anak yatim sebanyak
mungkin. Itu bukan sikap yang baru buat saya, dan
teman lama yang kenal saya sudah tahu pemikiran saya memang seperti itu (dan belum berubah). Sejak saya masuk
Islam, saya merasa harus ada usaha yang lebih untuk membalas semua kenikmatan
yang Allah kasih kepada saya (walaupun memang tidak mungkin bisa dibalas).
Saya sering melihat seorang anak yatim dan
mulai bayangkan: Bagaimana kalau ini adalah anak yatim bernama Muhammad
bin Abdullah (nama lengkapnya Nabi Muhammad SAW)? Dan saya bisa bertemu dengan
dia, menghibur dia dan membuat dia bahagia, dan ajak dia untuk menjadi seorang anak yang baik, membina dia, dan menjadi orang yang selalu siap
melindungi dan menjaga dia! (Memang tidak mungkin ketemu dengan Nabi SAW saat
dia masih seorang anak, tetapi saya suka bayangkan sebagai renungan saja).
Apa yang akan saya
lakukan untuk anak yatim itu, kalau saya tahu dia akan menjadi seorang pemimpin
ummat Islam nanti, dan sekaligus memandang saya dengan rasa kasih sayang yang besar, seolah2 menjadi bapak angkat (di
dalam hatinya) karena dia selalu merasakan kebaikan dari saya? Kalau saya tahu anak yatim yang kecil
itu akan menjadi Nabi Muhammad SAW, saya pasti siap kasih
segala sesuatu kepada dia, bahkan sampai menyimpan sisanya untuk memenuhi kebutuhan hidup saya menjadi tidak penting lagi. Tetapi karena diberikan kepada Nabi Muhammad (yang masih seorang anak yatim) maka saya tidak bakalan sedih, kecuali mungkin akan ada
rasa sedih bahwa saya tidak bisa kasih lebih banyak lagi kepada dia untuk
membuat dia bahagia dan semangat.
Kalau dalam bayangan itu, saya merasa siap berbuat demikian untuk seorang anak
yatim bernama Muhammad bin Abdullah (yang nanti saat dewasa akan menjadi Rasulullah SAW), kenapa saya TAKUT melakukan sebanyak mungkin untuk
anak-anak yatim yang lain, yang banyak di antara mereka juga punya nama
MUHAMMAD…! Mereka sama seperti Nabi kita yang pernah menjadi anak yatim yang
kecil, lapar, takut, miskin dan tidak tahu masa depannya seperti apa.
Kalau untuk seorang anak kecil
bernama Muhammad bin Abdullah saya siap kasih segala-galanya, kenapa saya tidak
mau kasih
banyak juga untuk anak-anak yang
lain,
yang juga bernama Muhammad, yang juga dapat perasaan yatim yang pernah dirasakan oleh Nabi kita dulu? Kenapa mesti takut? Bukannya Allah itu
MAHA KAYA, dan juga MAHA KUASA?
Kalau iya, kenapa
kita selalu takut bahwa uang kita akan hilang? Kenapa cerita saya tentang 1 juta rupiah yang saya habiskan untuk sepatu bola
dan tas (yang membuat anak yatim itu senyum terus sampai sekarang) dibilang
boros, royal, berlebihan, atau terlalu mahal? Kalau diberikan kepada Muhammad
bin Abdullah (yang hanya seorang anak yatim, dan belum menjadi Nabi Allah) apa
komentar yang sama akan muncul dari mulut mereka juga?
(Misalnya): Anda kasih anak onta yang mahal kepada Muhammad
bin Abdullah? Buat apa? Dia hanya anak yatim! Kasih kuda jelek yang murah saja!
Sudah cukup! Onta yang mahal buat kita. Dia tidak perlu. Dan jangan kasih kurma
yang mahal dan lezat itu kepadanya. Kasih KFK (Kentucky Fried Kambing) saja.
Sudah cukuplah. Jangan merepotkan diri. Buat apa? Si Muhammad itu hanya anak
yatim. Dia tidak penting. Jangan habiskan uang untuk dia!
Apakah kita semua akan bicara seperti itu kalau bisa melihat
orang baik hati yang mau memberikan sesuatu yang mahal kepada Muhammad bin
Abdullah?
Saya sudah sadar bahwa orang lain tidak bisa memahami saya. Tetapi saya
merasa kasihan dengan orang itu yang tidak paham. Uang saya memang tinggal
sedikit sekali pada saat ini, bahkan sampai saya belum pergi belanja ke Hero
karena uang di tabungan tidak cukup untuk belanja. Tetapi saya tetap merasa
tenang. Saya tidak merasa takut. Dan kalau disadari bahwa uang saya tinggal
sedikit sekali, maka yang teringat setelah itu adalah senyumnya seorang anak yatim
yang makin sedikit menangis karena masih rindu sekali dengan bapaknya. (Dan
kemarin, dengan senyuman yang lebar, dia malah minta izin mentraktir saya makan, karena dia mengintip dan melihat jumlah
uang yang tersisa di tabungan saat saya tarik uang di ATM).
Dia bukan Muhammad
bin Abdullah. Tetapi dia seorang anak yatim juga! Allah tidak memberikan
kesempatan kepada saya untuk mengenal, memeluk dan menjaga seorang anak yatim
bernama Muhammad bin Abdullah karena saya lahir jauh sesudah dia. Tetapi sebagai gantinya, maka atas nama Allah, saya masih
bisa menjaga dan menghibur seorang “Muhammad” yang lain. Dan apapun
yang terjadi besok, yang teringat adalah nikmatnya di muka anak itu pada saat
saya beli makanan dan barang yang dia inginkan, dan
membuat dia bahagia sekali. (Kemarin saya ajak dia nonton film
karena sekolahnya libur. Sepanjang hari saya melihat dia senyum dan ketawa!)
Alangkah enaknya
kalau kita bisa melakukan yang sama dengan Muhammad bin Abdullah, tetapi sudah tidak mungkin. Kenapa kita tidak berani
melakukan yang sama untuk anak-anak yatim yang lain, seolah-olah kita sedang berhadapan dengan Muhammad bin
Abdullah
yang asli?
Saya tidak punya
banyak uang pada saat ini. Tetapi demi Allah saya sungguh merasa KASIHAN dengan
orang yang punya deposito berisi ratusan milyar, yang hanya mau disimpan untuk diri
sendiri saja. Dan kalau Allah menghendaki, besok
saya juga bisa dapat milyaran rupiah, rumah, mobil, dan sebagainya. Tetapi
selama ini, hampir semua orang menyalahkan saya dan suruh saya menghemat banyak
uang untuk diri sendiri, untuk isi tabungan, beli rumah, mobil, dll. Selama 15
tahun menjadi seorang Muslim, saya tidak mendengarkan mereka, dan tetap
menghabiskan uang saya setiap bulan untuk kepentingan orang Muslim yang lain.
Ini pertama kali dalam 15 tahun saya mengalami masalah
keuangan. Jadi buat saya, ini hanya sebuah cobaan kecil
saja, yang insya Allah akan berlalu juga, dan saya akan kembali seperti dulu
dengan memiliki banyak uang yang bisa digunakan untuk kepentingan ummat Islam.
Kalau mayoritas
dari ummat Islam tidak paham saya, dan mau menyalahkan saya, atau bilang saya
terlalu boros atau royal dengan anak yatim, silahkan saja. Saya tidak mencari
“pembenaran” dari ummat Islam terhadap semua tindakan saya. Saya sudah dapat
senyumnya seorang anak yatim kemarin, berkali-kali, ditambah banyak ketawa,
pukul-pukulan, peluk-pelukan, dan saling
bercanda dan menghibur satu sama lain seperti di
antara saudara kandung. Jadi buat saya
itu jauh
lebih nikmat daripada deposito berisi milyaran rupiah!
Ada orang yang mau menjadi kaya sekali, dengan deposito yang
besar, karena mereka mau dapat kenikmatan yang banyak untuk diri sendiri.
Tetapi mereka tidak pernah akan dipeluk oleh deposito mereka. Saya lebih mau
dipeluk oleh seorang anak yatim yang baik dan beriman kepada Allah, dan
bayangkan kalau seandainya nama dia adalah Muhammad bin Abdullah, dan dia
sayang betul kepada saya.
Rasulullah
SAW bersabda, “Aku dan orang-orang yang mengasuh (menyantuni) anak yatim di
surga seperti ini.” Kemudian beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan
jari tengah seraya sedikit merenggangkannya.
(HR.
Bukhari).
Rasulullah
SAW bersabda, “Demi yang mengutus aku dengan hak, Allah tidak akan menyiksa
orang yang mengasihi dan menyayangi anak yatim, berbicara kepadanya dengan
lembut dan mengasihi keyatiman serta kelemahannya…”
(HR.
Ath-Thabrani).
Rasulullah
SAW bersabda, “Barangsiapa mengambil anak yatim dari kalangan Muslimin, dan
memberinya makan dan minum, Allah akan memasukkannya ke surga, kecuali bila dia
berbuat dosa besar yang tidak terampuni.”
(HR.
Tirmidzi)
Rasulullah
SAW bersabda, "Barangsiapa meletakkan tangannya di atas kepala anak yatim
dengan penuh kasih sayang, maka Allah akan menuliskan kebaikan pada setiap
lembar rambut yang disentuh tangannya.”
(HR.
Ahmad, Ath-Thabrani, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Aufa)
Wabillahi taufik walhidayah,
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto