Labels

alam (8) amal (101) anak (294) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (20) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (562) islam (543) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (98) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (10) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (41) muallaf (48) my books (2) orang tua (6) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (61) puasa (37) renungan (169) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (6) sosial (323) tanya-jawab (14) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

31 August, 2008

Es Krim Pakai Rum Dan Hak Konsumen Muslim

Pada saat saya jalan-jalan dengan teman, saya diajak makan es krim di Pisa Café, Menteng, lalu saya diberitahu bahwa sebagian dari es krim di situ mengandung rum (alkohol). Pada saat kita bertanya, alhamdulillah, staf menjawab dengan jujur dan jelaskan es krim yang mana yang mengandung alkohol (ada sebagian rasa es krim yang pakai rum, sisanya tidak). Tetapi kalau konsumen tidak bertanya, kayanya staf diam saja dan tidak menerangkan. Juga tidak ada tanda di depan es krimnya sebagai peringatan bagi orang Muslim yang mau menghindari makanan yang haram.

Di situ terlihat beberapa ibu yang memakai jilbab dan sangat mungkin sebagian dari kustomer laki-laki juga Muslim. Saya mulai berfikir, apakah mereka tahu kalau es krim yang mereka nikmati itu mengandung alkohol? Mungkin mereka tidak bertanya karena mereka, seperti saya sebelumnya, tidak menyangka bahwa es krim akan tercampur alkohol. Lalu mereka akan makan saja dan memberitahu teman2 bahwa es krim di situ enak dan lezat.

Buat saya, ini sesuatu yang sangat aneh. Di dalam sebuah negara yang penuh dengan orang Islam, seharusnya ada usaha dari pemerintah untuk melindungi kita dan menjaga makanan kita dari zat yang haram dan najis. Kalau di negara barat, kaum minoritas tidak punya hak yang berlebihan terhadap mayoritas dan itu cukup wajar. Anehnya, di Indonesia, justru kaum mayoritas yang seolah tidak punya hak dan terpaksa menerima keadaan seperti ini.

Di Australia, misalnya, ada sebagian orang yang tidak makan daging sapi karena mereka beragama Hindu atau karena mereka menjadi vegetaris (vegetarian) yang hanya makan sayuran. Mereka sebagai kaum minoritas tidak punya hak untuk memaksa mayoritas tinggalkan daging sapi, dan makanan yang mengandung sapi terjual di mana-mana. Kaum yang minoritas ini hanya bisa sebatas menghindari makanan yang tidak bisa mereka makan karena ada sapi di dalamnya.

Di Indonesia, justru ummat Islam yang mayoritas yang hidup seperti ini, dan harus bertanya terus apakah makanan yang dijual itu halal dan layak untuk dimakan oleh orang Muslim atau tidak. Ini bukan suatu masalah kecil yang terjadi di satu atau dua tempat makan saja, tetapi ini adalah masalah yang cukup besar dan prinsip. Pada dasarnya, masalah ini mengandung sifat bisnis semata di mana pemilik perusahaan siap menerima uang dari ummat Islam tetapi sama sekali tidak peduli pada hak konsumen orang Muslim untuk mendapatkan makanan yang halal.

Dengan cara mereka menggunakan alkohol dan zat haram yang lain di dalam masakan mereka, tanpa keterangan bagi konsumen, bisa dikatakan mereka “menipu” konsumen Muslim karena pada dasarnya mereka sudah sadar bahwa zat tersebut tidak ingin dimakan oleh ummat Islam. Tetapi karena ketidakpedulian mereka sebagai pemilik usaha, dan karena tidak ada tindakan dari pemerintah untuk melindungi ummat Islam, maka si pengusaha merasa bebas untuk menipu ummat Islam dengan cara ini. Dia yakin tidak akan ada sangsi dan juga tidak mungkin ada protes dari orang-orang yang ditipu (ummat Islam).

Hal ini sering terjadi di sini, dan kalau pemerintah sangat lalai dalam tugas melindungi ummat Islam dari penipuan ini, seharusnya ada usaha dari masyarakat untuk menyebarkan informasi, berprotes, atau mungkin sampai memboikot perusahaan tersebut. Ternyata tidak ada. Sebagian orang Muslim yang kaya seringkali tidak begitu peduli dengan hukum Islam, dan asal makanan terasa enak, tidak jadi masalah apakah makanan tersebut halal atau tidak. Sebagai akibat dari kelalaian pemerintah, dan juga ketidakpedulian dari sebagian konsumen Muslim yang kaya, pemilik rumah makan dan kafe merasa bebas untuk menipu kita terus.

Seperti saya katakan di atas, di Pisa Café, ada es krim yang mengandung alkohol. Tidak ada tanda atau pengumuman yang memberitahu konsumen Muslim bahwa es krim rasa X,Y, dan Z tidak halal. Juga ada perushaan Breadtalk yang membuka toko roti, dan langsung digemari banyak orang. Saya termasuk yang senang beli rotinya karena (waktu itu) ada sertifikat halal dari MUI yang ditempatkan di sebelah kasir. Tetapi setelah sertifikat itu sudah habis masa berlakunya, ternyata Breadtalk tidak peduli untuk membuat sertifikat baru dan sekarang MUI tidak lagi menjamin Breadtalk adalah halal.

Bagaimana dengan Hoka-Hoka Bento dan Holland Bakery? Keduanya menolak proses sertifikasi yang ditawarkan oleh LPPOM MUI (guru saya almarhum Kyai Masyhuri Syahid yang dulu duduk di Komisi Fatwa MUI menjelaskan hal ini kepada saya). Artinya, mereka tidak peduli pada hak konsumen Muslim tetapi mereka senang kalau orang Muslim bisa ditipu dan makan di tempat makan mereka dengan asumsi bahwa apa yang disediakan itu halal.

Ada berapa banyak tempat makan yang lain yang juga tidak peduli pada ummat Islam, dan menjual makanan yang tidak boleh dikonsumsi oleh ummat Islam? Mereka inginkan orang Muslim menjadi kustomer tetapi tidak mau peduli pada hak konsumen Muslim. (Kalau tidak ada orang Muslim yang datang sama sekali, mungkin tempat makan atau kafe itu bisa bangkrut dengan cepat.)

Dan bagaimana kalau kita masuk bulan puasa? Rumah makan dan kafe yang menjual makanan yang tidak layak dikonsumsi oleh ummat Islam malah berusaha untuk menarik konsumen Muslim dengan membuat macam-macam menu istimewa untuk buka puasa! Mungkin di dalam makanan itu tidak ada yang haram (hanya minuman dan makanan ringan), tetapi sesudah itu mungkin saja kustomer memesan spaghetti yang ada alkohol di dalam sausnya, atau daging yang direndam dalam alcohol atau tercampur dengan lemak babi, dan seterusnya. Sangat disayangkan bahwa ummat Islam bisa ditipu terus oleh pemilik rumah makan yang menjual produk yang tidak layak bagi kita tetapi mereka mengharapkan kita akan beli terus.

Mungkin ada orang yang berpikir: “Ahh, jangankan alkohol, makanan yang diberikan formalin dan borax juga bisa dijual bebas di sini dan pemerintah tidak rajin bertindak!” Memang betul, tetapi kalau kita berpikir, makanan yang mengandung zat yang haram jauh lebih berbahaya daripada makanan yang mengandung formalin atau zat yang merusak kesehatan saja. Kalau kita berharap masuk sorga, dan seharusnya kita yang Muslim sudah menyadari ini sebagai tujuan dari kehidupan kita di dunia ini, berarti ada syarat yang harus kita terima: kita wajib menuruti perintah Allah.

Jadi, kalau Allah mengharamkan sesuatu, tentu saja hal itu sangat berbahaya bagi kita karena bisa mengganggu kita di dunia dan juga di akhirat. Di dunia, bisa mengganggu kasih sayang dan rahmat dari Allah yang tidak diberikan kepada kita disebabkan kita lalai terhadap hukum Allah. Dan di akhirat, hal yang sama bisa menyebabkan kita masuk neraka karena dosa kita terlalu besar.

Di dalam konteks ini, makanan yang mengandung formalin atau zat yang lain malah lebih ringan statusnya karena hanya bisa mengganggu jasad kita untuk sementara di dunia ini, tetapi tidak memberikan dosa kepada kita, dan tidak merupakan pelanggaran terhadap perintah Allah.

Kalau seandainya ada orang non-Muslim yang menjadi pemilik rumah makan atau kafe, dan dia tidak setuju dengan tulisan saya di atas dan merasa oke saja untuk menjual makanan yang haram kepada ummat Islam, saya ingin memberikan suatu umpamaan sederhana.

Di beberapa negara seperti Cina dan Thailand, ada orang yang percaya bahwa air seni (urin) bisa digunakan untuk terapi. Jadi, bagaimana kalau ada orang yang meyakini hal, dan dia buka tempat makan baru di sini dan menjual macam-macam makanan “sehat” dan es krim “sehat” yang mengandung air seni dari si pemilik? Pada saat konsumen tahu, mungkin mereka akan marah sekali. Tetapi bagaimana kalau si pemilik dengan enteng menjawab: “Tidak apa-apa. Lebih sehat kalau pakai air seni saya. Lebih lezat. Makan saja. Dalam budaya dan agama SAYA tidak ada larangan. Jadi, kenapa saya harus peduli pada budaya dan agama KAMU? Kenapa saya harus MEMBERITAHU KAMU bahwa es krim ini mengandung air seni saya? Ternyata, anak-anak kamu suka dan sudah menghabiskan es krim “sehat” mereka. Berarti es krim saya lezat. Berarti tidak ada masalah!”

Apakah orang non-Muslim siap terima kalau mereka membawa anaknya ke sebuah kafe untuk mencari makanan baik, dan anaknya malah makan es krim yang tercampur air seni karena pemilik kafe tersebut anggap baik-baik saja dan malah bikin sehat? Apakah mereka akan terima dan maklum saja, atau apakah mereka akan marah sekali bahwa mereka tidak diberitahu terlebih dahulu supaya mereka bisa memutuskan untuk makan di lain tempat?

Saya tidak pernah akan setuju kalau es krim atau makanan lain yang mengandung air seni boleh dijual kepada orang non-Muslim sebagai makanan “sehat” tanpa sepengetahuan mereka. Kenapa pemilik tempat makan yang non-Muslim tidak menunjukkan kepedulian moral yang sama terhadap ummat Islam?

Kalau pemerintah hanya memeriksa makanan yang tidak sehat (karena mengandung formalin dll.) sewaktu-waktu saja, dan sama sekali tidak peduli pada hak konsumen Muslim untuk mendapatkan makanan yang halal, maka hanya ada dua pilihan bagi ummat Islam:

1. menggantikan pemerintah dengan orang baru yang mengerti hukum Islam dan siap melindungi hak konsumen orang Muslim, dan;

2. masyarakat sendiri perlu melakukan protes (dengan email, kirim surat ke koran, dll.) dan mungkin juga dengan memboikot tempat makan tersebut sampai mereka berhenti menipu kita.

Saya berdoa agar negara ini, di mana orang Muslim menjadi mayoritas, akan segera mendapatkan pemerintahan baru yang layak, yang mengerti dan peduli pada hukum Allah, yang akan melindungi hak konsumen ummat Islam, dan membantu kita dalam kewajiban kita menjauhi semua larangan Allah. Amin, amin, ya rabbal al amin.

Kalau anda setuju, coba berpikir dua kali sebelum anda memilih calon presiden, calon gubenur, calon walikota, calon bupati, dan anggota legislatif untuk menjadi pemimpin anda. Selama 350 tahun, negara ini dijajah oleh Belanda, dan ummat Islam disuruh diam saja. Selama 32 tahun, negara ini dikuasai oleh Soeharto dan didukung oleh satu partai besar, dan ummat Islam disuruh diam saja. Hasilnya sangat nyata: ummat Islam masih belum punya hak konsumen walaupun kita merupakan mayoritas di sini, dan bukan minoritas.

Sekarang anda punya kesempatan baru. Anda punya harapan untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik. Jangan sampai anak anda dan cucu anda ditawarkan es krim yang mengandung rum tanpa sepengetahuan mereka terus-menerus. Berusaha untuk mencari calon pemimpin yang baru, yang bersih, yang mengerti hukum Allah, dan yang akan membantu kita untuk menjadi ummat yang dicintai Allah dengan cara menegakkan hukum Allah dan melindungi hak konsumen Muslim daripada mengabaikannya terus.

Kalau anda tidak mau, dan masih mau angkat orang yang sama dari partai yang sama, padahal sudah terbukti bahwa mereka tidak mau bertindak untuk melindungi hak anak anda sebagai konsumen Muslim, silahkan saja; ini negara anda. Tetapi kalau begitu, saya tidak akan heran kalau datang suatu hari di masa depan, di mana anda akan mengeluh bahwa anak anda baru saja makan es krim yang mengandung alkohol, atau es krim “sehat” yang mengandung air seni padahal anda tidak tahu sebelumnya. Siapa yang akan melindungi anak dan cucu anda dan membantu mereka menjadi orang yang dicintai Allah? Kesempatan baru dan harapan baru ada di tangan anda.

Kalau anda lebih mau berprotes sendiri terhadap pengusaha yang menipu kita, dan memboikot tempat makan tersebut, silahkan saja. Semoga berhasil.

Dan kalau anda tidak mau berprotes terhadap pengusaha yang tidak peduli pada hak konsumen Muslim, maka anda cukup mengangkat pemimpin baru, yang mengerti hukum Allah dan peduli pada ummat Islam, dan serahkan tugas yang penting ini kepada mereka.

Semoga negara seperti itu bisa terwujud pada tahun 2009.

Masa depan hak konsumen bagi orang Muslim ada di tangan anda. Jangan disia-siakan.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene Netto

19 comments:

  1. Dari jaman dulu memang seperti itu pak.
    Kalo memboikot produk atau perusahaan tersebut malah dituduh mencemarkan nama baik dan malah jadi bumerang bagi kita sendiri.
    Kalo protes dibilang bahwa makanan pinggir jalan aja gak ada yg sertifikat halal tapi tetap laku.
    Harusnya umat islam sendiri yang sadar akan kehalalan suatu makanan dengan tidak makan di sembarang tempat, jangan hanya mau makan enak dan gaya saja.

    ReplyDelete
  2. Saya sangat prihatin dengan hal seperti ini.
    Apalagi, belakangan marak resto2 yang bekerjasama dengan kartu kredit untuk memberikan diskon dalam jumlah besar (bisa sampai 50%).
    Resto2 tsb, tentu saja, meragukan kehalalannya karena tak punya sertifikasi halal MUI. Belum lagi, kalau mendengar namanya kita bisa tahu bahwa makanan yang dijual adalah makanan dari negara tertentu dengan mayoritas penduduk nonmuslim.
    Sayangnya, banyak umat muslim yang tidak peduli. Cuek saja mereka makan di resto2 tsb memanfaatkan diskon besar tsb.
    Kalau kita bertanya akan kehalalan makanan yang dijual, bisa saja pelayan menjawab halal. Tapi kita tak pernah tahu benar atau tidaknya.
    Di samping itu, rum masih banyak digunakan sebagai bahan tambahan dalam makanan terutama dessert seperti puding, es krim dan kue2. Bahkan sering saya jumpai makanan beraroma rum disajikan di resepsi pernikahan pasangan muslim. Yang lebih menyedihkan, resepsi itu dilaksanakan di masjid.Sungguh ironis!

    ReplyDelete
  3. Saya sendiri selaku konsumen sering resah terhadap kehalalan suatu produk/makanan di suatu restoran... makanya setiap mau mencari tempat mkn di resto2 slalu mlihat dulu apakah ada sertifikat halal dr MUI.. kl meragukan mending gak jd mkn...

    Setahu sy memang sertifikasi halal tidak diwajibkan kepad semua pngusaha makanan.. yg mendapat audit dr LPPOM-MUI hanya bagi yg mengajukan sertifikasi...

    sistem regulasi maupun undang2 yg mengatur kehalalan produk setahu sy jg blm ada.
    Meski dlm UU No. 7 thn 1996 ttg pangan disebutkan definisi ketahanan pangan yi : "kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau" (aman berarti termasuk kehalalan) namun blm ada yg menyinggung masalah kehalalan makanan scr spesifik.

    Sekedar informasi, untuk pangan segar kewenangan/tupoksi ada di Dep. Pertanian, utk pgn olahan dan obat2an di BPOM, dan kehalalan di LPPOM-MUI.

    Kbetulan sy bekerja di institusi pemerintah yg mengurusi mslh ktahanan pangan, meski bukan membidangi masalah kehalalan/keamanan pgn tp sdktnya sy rs problematika di setiap insttiusi hampir sama.

    Slama ini masalah pangan dan gizi (termasuk didalamnya aksesibilitas pgn, keamanan pgn, kehalalan pgn,dll) sering sekali dibahas dlm forum2 seminar yg melibatkan institusi pusat, daerah maupun pakar guna mencari soluai dalam penanganannya. Namun kebanyakan hanya sampai pada rekomndasi2 (sbg bhn masukan untuk pngambil kbijakan di pusat maupun daerah) yg kdg dibuat dlm bentuk prosiding. Dan sayangnya implementasinya sering tdk berjalan sesuai dgn yg diharapkan, sosialisasinya jg hanya sampai level akademisi dan institusi.

    Era otonomi daerah, operasional ada di kabupaten/kota dan kbijakan ada di tgn bupati/walikota. Awalnya tujuan otda bgs tuk desentralisasi dan memberi kebebasan pd daerah utk mengembangkan potensi daerahnya (karena merekalah yg tahu betul kondisi dan masalah di daerahnya). Namun sayangnya implmntasinya lg2 tdk sesuai harapan, bahkan bupati2 sdh mjd raja2 kecil (meskipun tdk semua krn msh ada yg baik).

    Pusat sesuai tupoksi & kewenangan hny bs sebatas membuat rekomnedasi2 yg didasarkan hasil analisis, menyediakan data dan informasi, membuat program2 penaganan di daerah dan sbg fasilitator. Berkali2 institusi diingatkan untuk membuat program2 yg lbh bersifat action.

    Koordinasi antar pusat - prov- kab/kota yg sharsnya brjalan baik malahan dgn otda mjd sulit krn para bupati/wlkota mengaggap tidak lg di bwh pusat/prov dan tdk perlu tunduk. Ini yg menyulitkan impelementasi program2 yg ada. Belum lg aparat pemda selaku pelaksana program2/kegiatan. Krn itu pusat hrs berjuang mem-push para bupati/walikota untuk menangani secara serius masalah pangan dan gizi.

    Sedikit melebar, selaku org yg berada dlm institusi rasanya perlu sy info-kan bukan sbg bentuk pembelaan/klarifikasi namun hanya skedar infrmasi bhw tdk semua pejabat/aparat pemerintah bermental korup. Ada jg yg msh memegang prinsip, idealisme, berdedikasi & bertanggung jawab thd tugas & tanggung jawabnya. Contohnya beberapa atasan dan tmn2 sy. Bahkan mereka sering lembur tanpa pamrih meski apa yg diperolehnya tdk setimpal dgn apa yg tlah dikerjakannya. Sy rasa meski kdg merasa terjebak dlm sistem yg salah namun keluar sbg aparat pemerintah atau bersikap apatis bkn solusi yg terbaik. Minimal org2 spt ini bs membuat pencerahan bg yg lain, krn skecil apapun perbuatan baik tdk ada ruginya. Dan bg yg muda2, merekalah kelak yg akan mjd penerus/kader dan mengisi jabatan. Mudh2an kelak saat mjd pejabat tetap dapat memegang idealismenya.

    Terus terang sy jg kecewa dgn DPR kt yg seharusnya menjadi partner pemerintah dgn memberikan kritik/masukan yg membangun, mengontrol/mengevaluasi berdasarkan aspirasi rakyat malah mjd pemeras pemerintah. Kritik thd program pemerintah bukan didasarkan pd kemaslahatan/aspirasi rakyat namun untuk kepentngan pribadi yg UUD (ujung2nya duit). Namun tetap kt tdk bs men-generalisir krn tdk semua anggota dewan spt itu. Sy sempat melihat ada beberapa anggota dewan (sebagian kecil) keluar dari sidang krn mrasa diskusi maupun kputusan yg dibuat sdh tdk sesuai dgn hati nuraninya.

    Intinya adalah, saat ini kita mendambakan sosok pemimpin sejati yg betul2 mempunyai itikad untuk membangun bangsa dan mensejahterakan rakyat yg bs membuat kptusan/kbijakan sesuai dgn hati nuraninya dan semata utk kepentingan rakyat tanpa disetir/diintimidasi oleh kepentingan2 gol/indvdu.

    Dan krisis multidimensi yg terjadi di bangsa ini terutama disebabkan oleh krisis moral. Mudah2an setiap individu bangsa ini (termasuk saya) bisa mulai membenahi dirinya (terutama attitude/moral) dan berusaha bekerja dengan tulus & sebaik2nya, melakukan yg terbaik di bidangnya masing2. moral tentunya harus ditanamkan sejak dini, untuk itu semoga sistem pendidikan di negara kita tidak lg hanya untuk menghasilkan anak bangsa yg cerdas secara intelektualitas saja namun jg scr emosional dan spiritual. Amin ya Robbal alamin.... (maaf nih commentnya jd melebar kemana2)

    Wass..
    Erin..

    ReplyDelete
  4. [Membalas komentar dari teman di milis tetangga]

    Assalamu’alaikum wr.wb.,
    Mohon maaf, tetapi saya tidak bisa setuju.

    (Komentar anda):
    ***Selama Pisa Cafe Menteng, dan juga butik makanan lain, tidak mencantumkan label
    halal (padahal menjual sebagian makanan yang diduga tercampur hal haram), maka
    mereka tidak menipu. Mereka kan tidak mengklaim 'makanan kami halal' .

    Oke. Di situ juga tidak mencantumkan label “Bebas tai kucing” berarti dia boleh menggunakan kotoran kucing dalam produksi es krimnya. Kalau saya menjadi marah sekali dan mau berprotes karena anak saya makan es krim yang ada tai kucing di dalamnya, dia cukup mengatakan “Saya tidak pernah mengatakan es krim di sini bebas tai kucing! Berarti saya tidak menipu anda kan!”

    Apakah itu sebuah sikap yang wajar dari seorang pemilik rumah makan? Secara wajar, dia sudah tahu (kalau akalnya sehat) bahwa ummat Islam tidak ingin konsumsi alkohol (dan tai kucing juga). Jadi, kalau dia campurkan zat-zat itu ke dalam makanannya, dan dia tahu bahwa kita memang tidak akan makan kalau ada informasi yang akurat, dan dia sengaja TIDAK mau menyediakan informasi tersebut, berarti dia menipu.

    ***Anda tak bisa memaksa pengusaha makanan untuk membuat label halal karena itu hak mereka. Dan itu tidak melanggar hukum.

    Saya tidak minta mereka dipaksakan menjadi halal kalau tidak mau, tetapi yang saya harapkan ada sikap moral di mana mereka memberikan INFORMASI yang akurat apakah ada alkohol atau tai kucing di dalam makanan tersebut SEBELUM saya makan.
    Itu saja!

    ***So, daripada mencerca Pisa Cafe karena tak mau mencantumkan label halal (atau label haram), lebih baik membina Muslim Indonesia supaya sadar, lebih berhati-hati memilih makanan...

    Setuju. Tetapi saya juga inginkan pemerintah memaksakan mereka mencatumkan informasi pada makanan yang kira2 tidak layak dikonsumsi oleh 80% anggota masyarakat di negara ini. Saya rasa itu adil bagi kita dan mereka. Hanya informasi saja.

    Saya ingin tahu kalau spaghetti yang saya pesan mengandung alkohol. Dan kalau saya diberitahu, saya bisa memilih untuk tidak makan. Kalau pengusaha tidak merasa beban moral untuk memberitahu, berarti dia juga boleh menggunakan tai kucing, darah tikus, darah ular, daging dari anjing jalanan, lemak babi, dan lain-lain. Dan kita tidak boleh berprotes, karena dia tidak pernah membuat “klaim” bahwa makanan dia bebas dari zat-zat tersebut.

    Mau seperti itu? Setiap kali mau makan, kita harus bawa daftar pertanyaan yang panjang:
    “Mas, mau tanya, makanan ini ada alkohol?”
    “Tidak ada.”
    “Ada tai kucing?”
    “Tidak ada.”
    “Ada darah tikus?”
    “Tidak ada.”

    Dan seterusnya. Dan setelah kita bertanya kalau makanan tersebut bebas dari 100.000 zat yang kita sebutkan (yang barangkali akan makan waktu 3 jam untuk melakukan cek dan recek) baru kita bisa tahu bahwa makanan itu layak dikonsumsi.

    Atau barangkali ada cara lain: semua pengusaha WAJIB mencatumkan label pada makanan kalau kira-kira ada suatu zat yang tidak ingin dikonsumsi oleh sebagain dari masyarakat.
    Yang mengandung alkohol, harus bilang.
    Yang mengandung MSG (merusak sel otak), harus bilang.
    Yang mengandung kacang (ada yang alergi), harus bilang.
    Yang mengandung daging sapi (orang Hindu tidak mau), harus bilang.

    Lebih gampang kan? Kalau es krim atau kue mau dijual dengan rum, silahkan. Harus ada label: MENGANDUNG ALKOHOL. Sederhana. Dulu, Baker’s Inn memang begitu. Ada lambang botol di depan kue yang mengandung alkohol jadi kita bisa pilih sendiri. Terakhir yang saya lihat, sudah tidak ada lagi. Berarti, mereka berubah dari sikap jujur terhadap konsumen supaya kita bisa pilih, dan menjadi penipu terhadap konsumen. Semoga tidak pakai juga tai kucing di dalam kuenya karena saya tidak bertanya, jadi bagaimana saya bisa tahu!!!

    Wassalamu’alaikum wr.wb.,
    Gene Netto

    ReplyDelete
  5. [dari teman]

    Saya kutip dari UU Perlindungan konsumen. Bila melihat ketentuannya, seharusnya ada timbal balik antara produsen/pedagang dengan konsumen. Jadi, bila melihat kondisi sekarang, banyak produsen/pedagang yang tidak memenuhi ketentuan dari UU ini, yang sebenarnya bisa berdampak hukum bila konsumen memperkarakan ke meja hijau.

    Wallahu a'lam

    BAB III

    HAK DAN KEWAJIBAN

    Bagian Pertama

    Hak dan Kewajiban Konsumen

    Pasal 4

    Hak konsumen adalah :

    a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
    dan/atau jasa;

    b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
    jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
    dijanjikan;

    c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
    jaminan barang dan/atau jasa;

    d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
    digunakan;

    e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
    sengketa perlindungan konsumen secara patut;

    f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

    g. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
    diskriminatif;

    h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
    apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
    atau tidak sebagaimana mestinya;

    i. hak hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

    ReplyDelete
  6. Assalamu `alaikum wr.wb.

    saya sangat setuju dg pendapat Ichwan Gene Netto soal kewajiban pelabelan makanan. Untuk sertifikat MUI saya ada sedikit pengalaman buruk krn sewaktu saya bekerja di sebuah toko makanan sertifikat halal MUI bisa didapat hanya dg mengirim sampel makanan, padahal sampel makanan yg dikirim tanpa ditambahi bahan yg haram, sedangkan proses produksinya menggunakan bahan tersebut. Menurut saya pada saat ini kita umat muslim di Indonesia lbh baik saling berbagi informasi mengenai makanan/minuman yg kemungkinan mengandung bahan yg diharamkan, dan lebih teliti dlm membaca label makanan. Untuk label saya ada satu link yg dpt dijadikan sbg referensi membaca labelmakanan impor :
    http://special.worldofislam.info/Food/numbers.html

    Untuk produk makanan yg diproduksi oleh pabrik di Indonesia bisa menggunakan referensi dari situs halal MUI :
    http://www.direktorihalal.com/

    untuk perusahaan besar, biasanya mereka akan survey sampai ke pemasok bahan bakunya. Untuk restaurant/cafe/bakery menurut saya sebelum memesan sesuatu kita perlu sedikit bertanya apakah makanan/kue yg kita pesan mengandung bahan yg diharamkan ( rhum pd cake/es krim/krim roti, Ang ciu & minyak babi pd makanan cina, red/ white whine pd makanan eropa, soyu /mirin pd makanan jepang).
    Di Indonesia sampai saat ini saya belum pernah membaca berita mengenai produsen yg dihukum krn terbukti membohongi konsumen. Menurut saya masyarakat blm terlalu perduli dg hak-hak konsumen atau mereka malas kalau hrs berurusan dg pengadilan krn membutuhkan waktu yg lama, sedangkan dilain pihak mereka msh sibuk memcari sesuap nasi. Akhirnya kembali kepada pribadi masing masing untuk bersikap.


    Wassalamualaikum wr.wb
    Hendra

    ReplyDelete
  7. Assalamu'alaikum wr.wb.,

    Terima kasih Mas Hendra atas komentar dan penjelasannya. Memang banyak dari ummat Islam yang kelihatannya agak malas untuk cek. Tetapi saya rasa itu hanya hasil dari penjajahan Belanda dan penjajahan Orde Baru terhadap ummat Islam, yang selalu menindas dan tidak memberikan kebebasan. Hasilnya, banyak orang tidak mau “terlalu islamiah” karena bisa kena masalah dengan pihak yang berkuasa.
    Dalam hal ini, memang lebih baik bila MUI bisa lebih aktif dan lebih tegas. Tetapi bagi mereka ada keterbatasan dana. Masyarakat banyak menuntut hal ini dan itu dari MUI, tetapi saya belum menjumpai orang satupun yang pernah bersedekah kepada MUI. Tidak ada amal bagi mereka dari ummat, tetapi ummat menuntut terus kepada mereka, tanpa mau tahu mereka dapat dana operasional dari mana. (Mereka memang dapat dari pemerintah, dan juga dari pemerintah daerah, tetapi dana tersebut tidak seberapa dan tidak cukup untuk menutupi semua tugasnya.)
    Kalau memang ada perusahaan yang curang, dan kirim produk A ke MUI, tetapi kemudian memproduksi produk B yang tidak sama isinya dengan produk A, maka kita memang tidak bisa tahu karena hanya orang yang kerja dalam perusahaan yang tahu.
    Kalau umpamanya ada pemeriksaan secara acak dari MUI, mungkin saja hal seperti itu bisa diketahui. Tetapi saya kira hal seperti itu tidak mungkin. Jadi karena keterbatasan dana dan karyawan, MUI terpaksa percaya pada niat baik perusahaan untuk tidak curang dalam proses pemeriksaan.
    Kalau ternyata ada perusahaan yang memang curang dengan sengaja, dan menggantikan isi dari produknya setelah dapat sertifikasi halal, maka dosa sepenuhnya ditimpakan di atas mereka yang tahu dan menipu dengan sengaja. MUI sudah melakukan pemeriksaan yang wajar (dengan semua keterbatasan yang ada) dan ummat Islam percaya bahwa MUI telah periksa produk tersebut, dan perusahaan tidak akan curang.
    Jadi, kalau memang perusahaan curang, maka ummat Islam tidak berdosa, sekalipun mengonsumsi bahan2 dari babi, karena tidak disengaja, dan terjadi sebagai akibat dari proses penipuan terhadap MUI.
    Nanti, di akhirat, laknat Allah akan ditimpakan kepada orang-orang yang mempermainkan hukum agama Allah itu. Jadi, insya Allah kita tidak perlu kuatir. Kita sudah percaya pada MUI sebagai ulama kita. Mereka sudah melakukan pemeriksaan secara wajar. Lalu bila memang ada perusahaan yang masih mau curang setelah itu, dosa sepenuhnya akan ditanggung oleh mereka yang mengerjakan penipuan terhadap ummat Islam. Insya Allah kita akan aman dari murka Allah karena kita tidak tahu, tidak makan yang haram dengan sengaja, dan ulama kita telah ditipu oleh orang jahat.

    Wassalamu'alaikum wr.wb.,
    Gene

    ReplyDelete
  8. Assalamu'alaikum Wr. Wb.

    Iya, saya juga sepakat untuk tetap percaya dan mengandalkan sertifikasi halal yang diterbitkan oleh MUI. Hingga saat ini saya masih lebih yakin dan lebih memilih produk/tempat makan yang bersertifikasi halal MUI. Dan kalopun memang ada pengusaha yang bertindak curang maka merekalah yang mempermainkan aturan agama dan mereka yang akan menerima akibatnya.

    Sayangnya minim sekali pengusaha makanan terutama restaurant/cafe di negeri mayoritas muslim ini yang bersedia mengurus sertifikasi halal ke MUI. Saya benar-benar tidak yakin kalo yang menjadi masalah adalah biaya kepengurusan. Saya lebih percaya kalo kendala utama memang adanya pemakaian bahan-bahan yang cenderung menyebabkan mereka akan gagal dalam proses audit kehalalan yang dilakukan oleh MUI untuk mendapatkan sertifikat halal. Ditambah pula atensi ummat yang kurang sekali, cenderung tidak terlalu peduli dengan keberadaan sertifikat halal ini. Padahal di negara tetangga yang minoritas muslim justru mencari restaurant bersertifikasi halal itu hal yang sangat mudah. Miris deh.

    Salah satu hal yang sangat saya syukuri adalah saya pernah menjadi anggota milis H-B-E saat dulu pak Anton Apriyantono masih aktif. Beliau yang menularkan semangat untuk istiqomah mencari tau dan mengkonsumsi makanan halal thoyyib. Walaupun ujung-ujungnya setelah tahu menjadi sedikit "parno" terhadap berbagai makanan tetapi tidak mengapa. Dan kebetulan juga dikelilingi dengan teman yang sangat peduli terhadap hal ini jadi makin terbawa juga. Banyak teman saya yang tidak akan segan-segan menanyakan secara detail campuran makanan apabila sedang makan di luar. Dan oleh karenanya memang jadi tidak bisa cuek lagi karena sudah mengetahui segala kemungkinan lemahnya kehalalan makanan.

    Ada satu contoh yang menggelikan dari teman saya. Saat pertama kali akan makan di Burger King bersama anak-anaknya, dia bertanya tentang halalnya dan entah bagaimana caranya dia bertanya yang menyebabkan petugas counter BK itu sampe rela membawakan keluar dan memperlihatkan beberapa contoh sample bahan baku untuk menunjukkan sertifikasi halalnya. Kebetulan memang hampir semua counter Burger King di Singapore sudah bersertifikat halal jadi ada alasan besar untuk meyakinkan apakah BK di Indonesia sama dengan di Singapore.

    Saya juga teringat akan satu hal yang dilakukan oleh teman saya di kantor. Kebetulan untuk pemesanan lunch box terkait event kantor yang sifatnya formal harus dilakukan pada tempat-tempat yang sudah lulus uji HES (Healthy, Environment, Safety). Nah Tamani Café termasuk yang lulus uji HES kantor. Saat teman saya yang sekretaris diminta untuk memesan lunch box disitu, dia menanyakan detail tentang kondisi halalnya makanan yang disajikan disitu. Alhamdulillah petugas yang ditanya berkata jujur walaupun itu kenyataan yang sedikit mengejutkan. Jadi ternyata onion ring yang selalu menjadi complimentary dari setiap menu yang ada di Tamani itu direndam terlebih dahulu dalam arak sebelum di goreng. Mungkin untuk menghilangkan aroma dan membuatnya menjadi lebih crispy. Entahlah. Teman saya tidak jadi memesan saat itu. Cuman tetap saja dalam formal event di kantor pada saat lain, Tamani masih digunakan karena uji HES tentu saja tidak berkaitan dengan halal thoyyibnya makanan. Konsekuensinya saya dan teman yang tidak mau mengkonsumsi menu dari Tamani (siapa yang dapat menjamin bahwa cuman onion ring saja yang direndam dengan arak) harus membeli makanan sendiri dan tidak memakan makanan yang disediakan walaupun gratis karena sudah ada fakta yang diketahui dan jelas itu bukan kondisi darurat, ada pilihan.

    >>> maaf ya, bersambung sedikit lagi :D

    ReplyDelete
  9. Fenomena seperti ini yang banyak terjadi. Tidak hanya di restaurant besar atau di café mewah bahkan penjaja makanan di sepanjang jalan pun juga demikian. Coba deh perhatikan pedagang-pedagang makanan nasi goreng atau sea food di pinggir jalan, kan biasanya botol-botol bumbu di letakkan di tempat yang umum keliatan. Pemakaian arak, angciu, dan sejenisnya dalam proses pemasakan dianggap sebagai hal biasa. Padahal itu jelas tergolong khamr. Sementara kita mungkin berpikir bahwa karena seafood maka pasti halal. Umumnya pemahaman akan makna dari statement ”100% halal” yang sering ditunjukkan hanya berkonotasi tidak menggunakan babi, minyak babi, dan teman-temannya babi. Tapi tidak berarti terbebas dari pemakaian arak, angciu, rhum, dan campuran beralkohol lainnya.

    Demikian pula halnya dengan cake, roti, keju, coklat, cookies, es cream (buat yang suka es cream impor, jangan kawatir ya kalo merasa ragu dengan baskin robbins, hagendaaz, toh ada magnolia singapore yang udah bersertifikat halal …enak juga kok heheh), dan sebagainya. Semuanya mungkin tidak terkait langsung dengan daging2an yang kemungkinan adalah babi tetapi saat ini pada makanan2 tersebut mengandung food additives yang kemungkinan berasal dari babi. Jadi kalo menurut saya, jika didepan kita ada pilihan mengkonsumsi sesuatu yang sudah ada sertifikat halalnya maka sebaiknya memang itu yang kita pilih. Sudah jelas, Allah SWT hanya akan menerima hal yang baik saja.

    Memang benar bahwa kalo kita tidak mengetahui apa-apa jelas tidak akan terhitung dosa. Cuman berhubung Allah telah menganugerahi kita dengan kemampuan untuk berpikir dan belajar, jadi mau bersikap tidak peduli terhadap halal thoyyib mungkin sebaiknya tidak terus-terusan diterapkan. Dan masalahnya juga, kita tidak selalu berada dalam kondisi darurat. Di hadapan kita, sebenarnya selalu ada pilihan-pilihan untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan thoyyib. Jadi memang harus belajar mencari tahu dan sedikit bawel bertanya kepada penjual makanan jadi. Heheh.

    Salah satu hal yang sangat saya harapkan, ada UU yang tegas mengatur hal ini. Ada perlindungan konsumen muslim di negara mayoritas muslim ini. Semoga UU Jaminan Produk Halal atas makanan dan obat2an di negeri ini akan segera diberlakukan dan segala masalah yang terkait dapat segera diselesaikan.

    Berita terkini terkait RUU Jaminan Halal :
    http://www.republika.co.id/koran/14/76777/MUI_Minta_Pengesahan_RUU_Halal_Ditunda

    Mohon maaf kalo ada yang tidak berkenan. Saya hanya sekedar ingin share saja apa yang saya ketahui.

    Wassalamu'alaykum Wr. Wb.

    ReplyDelete
  10. Maaf bro.. bukan maksud untuk saling debat agama dan membandingkan.. tetapi bagi non-muslim (khususnya nasrani) memiliki dasar Injil Matius:
    15:17 Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam mulut turun ke dalam perut lalu dibuang di jamban?
    15:18 Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang.
    15:19 Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.
    15:20 Itulah yang menajiskan orang. Tetapi makan dengan tangan yang tidak dibasuh tidak menajiskan orang."

    Jadi pandangan haram/najis/halal soal makanan memang berbeda.

    IMHO, sebaiknya para pengusaha muslimlah yang berinisiatif membuat cafe dengan menu yang sama dengan Pisa Cafe tanpa ada unsur yg mengharamkan (alkohol / babi), supaya umat muslim tdak perlu bingung.
    Bukan saya membela Pisa Cafe, namun mungkin saja menu yang ada tersebut adalah resep asli / franchise yang tidak boleh diubah karena alasan standarisasi.. who knows? hal ini berlaku pula untuk Pizza Hut, McD, dsb yang memang asalnya dari negara nasrani.

    Kalau pengusaha yg jual kebab Turki dengan merek 'A' dan menjadi franchisee merek tersebut, dimana-mana akan sama citarasanya. Tetapi yang bermerek 'B' mungkin memasukkan sedikit alkojol.. dan itu sah karena dia bukan merek 'A', walapun yang dijual adalah Kebab Turki.

    maaf...just share my opinion saja..
    no offense.

    ReplyDelete
  11. namun mungkin saja menu yang ada tersebut adalah resep asli / franchise yang tidak boleh diubah karena alasan standarisasi.. who knows? hal ini berlaku pula untuk Pizza Hut, McD, dsb yang memang asalnya dari negara nasrani.>>>>>

    setahu saya ke 2 brand itu sudah mengikuti standarisasi dimana mereka memasarkannya, kalau dinegara mayoritas muslim dan Pizza juga Mcd masih mengikuti standar mereka sendiri, tidak mempertimbangkan syarat halal dan haram, dijamin..langsung gulung tikar..karena konsumen yang mayoritas muslim tentunya akan pikir2 mau datang ke Mcd kalau yang dijual mengandung unsur yang diharamkan..
    kan ada pepatah: dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung...


    >>mungkin agak sedikit ga sopan, tapi saya kalau makan di satu tempat, kalau ga ada label halalnya pasti langsung saya tanyakan terang2an didepan orang banyak ke penjualnya, sama ketika saya pernah mampir di breadtalk, di situ ditulis menunya mengandung : garlic, bacon dll, duh saya ga tahu bacon itu apaan, tapi pernah melihat di oprah show, kalau bacon itu juga mengandung babi, lalu terang2an saya tanyakan ke pembuat rotinya, tentang tulisan bacon itu, dia bilang: ga mengandung babi kok yang dipakai sosis ayam..., malah tambah bikin ragu, saya yakin ga semua konsumen di indonesia kenal bacon..atau nama bacon??
    atau ketika makan mie ramen, disitu juga terang2an saya nanya, sampai saya menemukan label halal MUI nya, mereka bilang bikin mie ramen disini mengikuti standar di indonesia yang ga mungkin mengikuti aturan dari negeri asalnya yang pasti pake babi.

    Harusnya konsumen lebih 'galak' dan pemerintah menyediakan layanan pengaduan.., jadi kalau ada rumah makan dsb tidak halal dan menipu konsumen, ada sanksinya, seperti penutupan izin usaha, atau teguran keras..bisa engga kira2?

    ReplyDelete
  12. Pada dasarnya yang banyak mendatangi resto resto itu kebanyakan dari kalangan menengah keatas yang berapa persen dari mereka lebih mengutamakan "gengsi" bahwa mereka menyatakan kalau mereka mampu membeli makanan yang harganya satu bulan gaji tukang cuci misalnya, jadi mereka itu lebih mengerti dari pada kaum awam yang biasa masak sendiri atau yang kalaupun beli ayam goreng tepung itu yang dikaki lima, jadi harusnya mereka lebih peduli pada apa yang dibelinya dari pada kaum awam. mungkin kalau kalangan mereka yang melobi atau setidaknya angkat bicara mungkin akan lebih didengar ketimbang orang biasa. kalau semua franchise ingin tetap mempertahankan standarisasi mereka sesuai dengan negara asalanya lalu untuk apa mereka mendirikan resto mereka di negara yang mayoritas penduduknya beragama islam yang punya aturan halal haram berarti mereka mencari konsumen /pelanggan kalau mereka tidak mau mengikuti aturan setempat ya ngga usah buka ditempat itu atau mereka menuliskan peringatan bahwa resto ini khusus NON MUSLIM tapi pada kenyataannya mereka tidak mau kehilangan pelanggannya yang muslim ini artinya mereka telah berbuat "CURANG". dan bagi kita umat islam yang penting adalah berhati-hati dengan menjauhi keragu raguan seperti sabda Nabi" Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju pada yang tidak meragukanmu" dan " siapa yang menjauhi Syubhat berarti telah membersihkan agama dan kehormatannya". (HR. Muslim)semoga umat islam tersadar akan bahaya pembodohan ini karena musuh musuh islam bergerak tanpa henti ... bukan hanya makanan yang dicampur bahan yang diharamkan sekarang ada sepatu, tas hp, ikat pinggang tali hp yang terbuat dari kulit BABI..!! Astagfirulloh ada apa ini kok sesuatu yang diharamkan itu begitu dipaksakan apa haya sekedar alasan ekonomi.. ? atau ada hal lain????

    ReplyDelete
  13. Assalamu’alaykum Wr. Wb.

    Hi Rahma, itu dia masalahnya di negara kita. Saat ini di Indonesia, soal sertifikat kehalalan masih bersifat sukarela, sangat tergantung dari niat baik dan keinginan para pengusahanya untuk diperiksa/dilakukan proses audit terhadap kehalalan produknya untuk kemudian diterbitkan sertifikat halal. Jadi kalo ada yang menipu, berbohong soal halal haramnya makanan/obat/dsb tidak dapat dikenakan sanksi karena tidak ada undang2 yang dilanggar. Sedih ya. Jadi sama sekali tidak ada perlindungan atas konsumen muslim di negara yang dikenal sebagai negara mayoritas muslim ini.

    Secara pribadi, hingga saat ini saya juga masih lebih yakin dan merasa aman dengan produk makanan/tempat/restaurant yang bersertifikasi halal MUI. Sayangnya memang karena didukung oleh masih kurangnya atensi ummat muslim yang mungkin menyebabkan para pengusaha (khususnya pengusaha restaurant) juga tidak terlalu peduli untuk mengusahakan keberadaan sertifikat halal. Toh tanpa sertifikasi halal juga para pengunjung tetap akan banyak dan antri. Jadi faktanya hanya segelintir pengusaha makanan yang mengurus sertifikasi halal dari produknya. Yang memiliki sertifikat halal dan rutin meng-update sertifikatnya saat jatuh tempo paling itu2 juga, berkisar di KFC, Pizza Hut, McDonalds ama Dunkin. Beda banget dengan negara tetangga yang minoritas muslim dimana justru mencari restaurant bersertifikasi halal itu merupakan hal yang sangat mudah. Miris deh kalo nge-download list restaurant bersertifikat halal di negeri kita. Kalah jauuuuuhhhh bangettt.

    Salah satu hal yang sangat saya syukuri adalah saya pernah menjadi anggota milis H-B-E saat dulu pak Anton Apriyantono masih aktif. Beliau yang menularkan semangat untuk istiqomah mencari tau dan mengkonsumsi makanan halal thoyyib. Walaupun ujung-ujungnya setelah tahu menjadi sedikit 'parno' terhadap berbagai makanan tetapi tidak mengapa. Dan kebetulan juga punya banyak kawan yang sangat curious terhadap halal thoyyibnya makanan jadi makin terbawa juga. Dimanapun berada, teman-teman saya tidak akan segan-segan dan malu untuk menanyakan detail campuran makanan apabila memang meragukan. Dan pada dasarnya memang jadi tidak bisa cuek lagi karena sudah mengetahui kemungkinan-kemungkinan lemahnya kehalalan makanan.

    Ada teman saya yang pada saat pertama kali mau mencoba Burger King, dia bertanya tentang halalnya dengan detail sekali dan entah bagaimana caranya dia bertanya yang menyebabkan petugas counter Burger King itu sampe membawakan keluar dan memperlihatkan sample bahan2 campurannya yang mereka gunakan untuk menunjukkan sertifikat halalnya. Kebetulan memang hampir semua counter Burger King di Singapore sudah bersertifikat halal jadi ada alasan besar untuk meyakinkan apakah BK di Indonesia sama dengan di Singapore.

    O iya, saya ingin share satu informasi tentang Tamani Cafe. Kebetulan kantor saya pernah mengadakan uji kelayakan higienis dan sanitasi terhadap beberapa restaurant (tergantung kalo mereka bersedia) untuk yang akan digunakan dalam event formal di kantor. Nah Tamani ini termasuk didalam restaurant yang bersedia diuji dan lulus tes. Tapi kemudian ada satu fakta yang kemudian ketahuan dan 'kurang menyenangkan'.

    >>> maaf, bersambung dikit lagi yaaaa...

    ReplyDelete
  14. Kalo diperhatikan, hampir setiap menu di tempat ini selalu dilengkapi dengan onion ring sebagai complimentary-nya. Ternyata onion ring ini direndam dalam arak terlebih dulu sebelum digoreng. Hal ini bisa diketahui karena kebetulan seorang teman saya yang sekretaris diminta untuk memesan lunch box di Tamani. Berhubung dia seorang muslimah maka saat itu dia menanyakan secara detail dan kemudian si petugas beritahu hal tersebut. Dia tidak jadi pesan dan Alhamdulillah pimpinannya bisa paham. Sejak mengetahui fakta ini, kalo ada training atau event dikantor yang menggunakan Tamani sebagai penyedia makanan, aku dan teman yang merasa ragu (kalo menurut pihak Tamani, menu yang lainnya sih aman) tidak mau lagi mengkonsumsi lunch box yang disediakan walaupun itu free alias makan gratis. Kami lebih memilih untuk beli makanan lain walaupun harus mengeluarkan uang sendiri. Karena dalam hal ini, sudah ada fakta yang meragukan yang diketahui dan kita jelas tidak berada dalam kondisi darurat. Ada pilihan dan jalan keluar untuk memperoleh makanan lain. Maaf ya kalo saya jadi mengemukakan pendapat dan keyakinan pribadi, sama sekali tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak lain. Pada dasarnya kembali pada keyakinan masing-masing karena ada juga kok teman muslim yang tidak ragu dan tetap mengkonsumsi Tamani walaupun mengetahui fakta tersebut.

    Demikianlah fenomena seperti ini yang banyak terjadi. Bukan cuman resto dan cafe saja yang jadi cenderung meragukan. Kapan-kapan coba deh perhatikan pedagang-pedagang makanan sea food atau nasi goreng di pinggir jalan atau warung bakmi ayam atau warung masakan jepang yang di kaki lima, kan biasanya botol-botol bumbu di letakkan di tempat yang umum keliatan. Nah ada aja tuh yang jelas menggunakan angciu, arak/khamr, mirin, dsb. Menjadi hal yang lumrah dan dianggap biasa. Karena umumnya pemaknaan 100% HALAL hanya berkonotasi tidak menggunakan babi, minyak babi, dan teman-temannya babi. Tapi sayangnya 100% halal tidak berarti terbebas dari pemakaian arak, angciu, rhum/alcohol, mirin, dan lainnya. Demikian juga dengan cake, roti, keju, coklat, cookies, es cream (buat yang suka es cream impor, kalo ragu dengan baskin robbins atau hagendaaz, beli Magnolia aja... enak kok dan udah bersertifikat halal heheh) kalo dicermati makanan2 ini dapat saja mengandung campuran non-halal.

    Memang benar kalo kita tidak mengetahui apa-apa atau kita dibohongi/ditipu bahwa sesuatu yang haram dibilang halal jelas tidak akan terhitung dosa. Cuman masalahnya Allah SWT telah menganugerahi kita dengan kemampuan untuk berpikir dan belajar, jadi mau bersikap tidak peduli atau tidak mau tahu terhadap halal thoyyib-nya sesuatu mungkin sebaiknya tidak terus-terusan kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Di hadapan kita, sebenarnya selalu ada pilihan-pilihan untuk mengkonsumsi makanan halal dan thoyyib. Insya Allah.

    Semoga akan segera lahir UU yang tegas mengatur kehalalan makanan/obat/dsb yang diproduksi dan diperjual belikan di negeri ini sehingga akan ada perlindungan terhadap konsumen muslim. Insya Allah. Amin.

    Mohon maaf kalo ada yang tidak berkenan.

    Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

    ReplyDelete
  15. thanks mb ir, atas saran infonya, kebetulan saya bukan penggemar makan2an mahal, tamani dsb:) seafood pun termasuk makanan yang engga saya sukai.Kalau sesekali dipaksa suruh nyoba itu pun pilih2 jadi terkadang suka ga mikir masaknya pake apa.

    Mungkin langkah pemerintah untuk mengeluarkan UU ttg kehalalan niatnya baik, melindungi konsumen,agar bisa kasih sanksi keras ke pelanggarnya.

    tapi kalau penentuan halal haram, kan sudah pekerjaannya MUI yang tahu seluk beluknya dari sisi agama, peraturan semoga engga tumpang tindih..*kan ini yang sedang diribut2kan di pemerintah**

    Semoga kita bisa lebih berhati-hati lagi...:)

    ReplyDelete
  16. Kalo menurut saya, sebaiknya kita tidak terpaku pada pemikiran bahwa makanan mahal lebih cenderung rentan kehalalannya daripada makanan yang lebih murah. Warung-warung pinggir jalan pasti lebih aman segi halalnya daripada resto dan café. Saya pribadi merasa sama sekali tidak dapat meyakini pemikiran seperti itu.

    Saat ini, dengan kondisi sekarang yang masih jauh lebih banyak pilihan abu2nya, menurut saya sebaiknya sikap berhati-hati harus selalu kita kedepankan dalam kondisi apa pun yang dihadapi. Apakah dihadapan kita adanya makanan murah atau mahal, kita berada di resto atau café ataupun warung kaki lima, mau beli sendiri ataukah sedang ditraktir teman, saya rasa tetap saja sikap berhati-hati harus kita utamakan. Jangan sampe karena sedang dapat rejeki akan ditraktir teman yang ultah misalnya, kita langsung udah lupa aja. Dalam segala hal dan dalam segala kondisi, kita harus tetap berhati-hati. Pilihan lebih baik selalu akan ada asal kita masih mau berpikir jernih dan mau aja berkorban. Insya Allah.

    Gitu deh. Wah saya jadi kebanyakan comment nih di post ini :P

    Maaf ya, sama sekali tidak ada maksud menggurui atau merasa lebih mengetahui. Hanya sekedar saling berbagi saja. Segala pengetahuan dan kebenaran hanya milik Allah SWT dan kalo ada yang keliru, itu merupakan kekhilafan saya semata.

    Wassalam.

    ReplyDelete
  17. Who knows where to download XRumer 5.0 Palladium?
    Help, please. All recommend this program to effectively advertise on the Internet, this is the best program!

    ReplyDelete
  18. Setuju pak Gene, yang paling penting adalah political will dari pemerintah dan kesadaran masyarakat muslim untuk menentukan standar yang ketat terhadap makanan seperti apa yang boleh masuk ke dalam perut mereka. Lihat artikel saya yang senada di http://mharywa.wordpress.com/2008/11/06/sertifikasi-halal-perlukah/

    ReplyDelete
  19. Kalau ragu-ragu, cari logo halal MUI, Kalau ga ada logo halal MUI ya ga usah beli, gitu aja koq repot

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...