Search This Blog

Labels

alam (8) amal (100) anak (299) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (8) dakwah (87) dhuafa (18) for fun (12) Gene (222) guru (61) hadiths (9) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (52) indonesia (570) islam (556) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (357) kesehatan (97) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (52) my books (2) orang tua (8) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (503) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (11) pesantren (34) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (178) Sejarah (5) sekolah (79) shalat (9) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

25 August, 2008

Hukum Mematikan Handphone Berdering Ketika Shalat Berjamaah


Assalamu’alaikum wr.wb.,

Saya baca ini di milis tentangga. Isinya cukup menarik.

Intinya, boleh bergerak untuk mematikan handphone kalau bunyi, karena ring tersebut akan mengganggu kekhusyuan orang lain yang sedang shalat. (Tapi matikan saja ya, jangan balas sms sekaligus! Haha)

Saya carikan artikel aslinya di internet supaya bisa memberikan link ke sumbernya, tetapi tidak bisa ketemu.

Semoga bermanfaat,

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

#####

Hukum Mematikan Handphone Berdering Ketika Shalat Berjamaah

Oleh H. Hasanuddin Hasibuan, Lc

Sebelum memulai shalat berjamaah, seringkali kita lupa menonaktifkan telefon seluler (HP). Lantas, di tengah-tengah pelaksanaan salat, Handphone tersebut berdering-dering. Karena sang penelefon tidak tahu kalau saat itu kita sedang salat, dia pun terus menerus menekan nomor kita, sehingga ponsel tersebut tidak berhenti berdering. Sebagai pemilik ponsel, kita tentu akan terganggu sekaligus terbebani, karena kita yakin bahwa orang lain pasti juga terganggu dengan bunyi ponsel yang terus berdering itu. Karena suasana terganggu, pastilah banyak orang yang tidak khusu’ dalam salatnya.

Padahal suasana yang khusu’ sesuatu yang sangat penting dalam salat. Kalau saja khusu’ merupakan pekerjaan zahir (yang dapat dilihat), tentulah ia telah menjadi salah satu rukun salat. Demikian pentingnya khusu’ dalam salat. Nah, langkah apa yang harus kita ambil jika hal tersebut terjadi pada diri kita? Bolehkah kita mengambil ponsel tersebut dari saku atau tas untuk menonaktifkannya agar tidak berbunyi lagi sehingga salat kita dan jamaah lain tidak terganggu? Bagaimana pula dengan keyakinan mayoritas kita yang selama ini berpegang pada pendapat yang mengatakan bahwa bergerak-gerak dengan gerakan yang tidak ringan sampai tiga kali berturut-turut dapat membatalkan shalat? Sedangkan mengambil ponsel dari saku atau malah dari tas, kemudian menekan tombol-tombol tertentu untuk menonaktifkannya tentu membutuhkan gerakan yang banyak.

Inilah yang ingin coba menjelaskannya dalam tulisan ini. Semoga menjadi solusi bagi anda yang terlanjur tidak me-nonaktifkan ponsel sebelum menunaikan shalat terutama shalat berjamaah. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa suara ponsel sangat mengganggu ketenangan jamaah yang melakukan shalat, meskipun suara kenderaan di luar masjid jauh lebih keras dari suara ponsel yang berbunyi di dalam masjid. Akan tetapi, biasanya, suara ponsel lebih mengganggu kekhusyu’an salat jamaah.

Barangkali, hal ini karena dipengaruhi pikirian, “Mengapa pemilik ponsel tidak me-nonaktifkan ponselnya sebelum memulai shalat?, sehingga timbul rasa kesal di hati para jemaah salat dan menggerutu. Rasa kesal tersebutlah barangkali yang membedakan suara mobil dan suara-suara lainnya yang ada di luar mesjid. Untuk itu, maka melalui tulisan ini perlu rasanya diberikan penjelasan dan solusi bagi orang yang ponselnya terlanjur tidak diaktifkan sebelum salat berjamaah.

Hukum me-nonaktifkan ponsel di saat shalat berjamaah adalah boleh dan tidak membatalkan shalat, dengan argumentasi sebagai berikut :

Pertama, Dalam kitab fikih yang berjudul Kitâb al-Fiqh ‘Alâ al-Mazâhib Al-Arba’ah, jilid I, karangan Abdurrahman bin Muhammad ‘Awadh Al-Jaziri, halaman 297 disebutkan bahwa pendapat ulama mazhab Syafi’iah tentang perbuatan yang banyak (al-‘amal al-katisr) itu dapat membatalkan shalat apabila dilakukan tanpa uzur (alasan yang dapat diterima). Dalam buku itu dicontohkan: orang sakit yang anggota tubuhnya tidak tahan diam dalam waktu lama, boleh menggerak-gerakkan badannya sekedar yang ia butuhkan. Berdasarkan ini, jika karena darurat, maka melakukan gerakan yang banyak dalam shalat tidak batal.

Kita memandang bahwa menghilangkan kebisingan yang muncul dari seseorang dengan suara ponsel atau apa saja yang ia bawa di saat shalat adalah sesuatu yang darurat (sangat penting). Oleh karenanya, maka seseorang boleh me-nonaktifkan ponselnya yang berdering di saat shalat, baik itu dengan mengambil terlebih dahulu dari sakunya atau dari dalam tas yang terletak di hadapannya, lalu kemudian me-nonaktifkannya, meskipun pekerjaan tersebut membutuhkan gerakan yang banyak atau tiga gerakan besar yang dilakukan secara berturut-turut.

Kedua, Dalam kitab Fiqh As-Sunnah, Jilid I, hal. 323, syekh Sayyid Sabiq, pengarang kitab tersebut, menukil pendapat imam Nawawi (salah satu pembesar ulama mazhab Syafi’iah) yang menyatakan bahwa, seperti “memberi isyarat untuk menjawab salam, melepaskan sandal, mengangkat serban lalu meletakkannya, memakai pakaian yang ringan dan membukanya, mengangkat benda kecil dan meletakkannya, menghalau orang yang melintas di hadapannya, menampung ludahnya dengan pakaiannya, dan yang semisal dengan yang hal-hal tersebut”, tidak membatalkan shalat, karena dianggap perbuatan ringan. Gerakan menonaktifkan ponsel, barangkali tidaklah terlalu jauh berbeda dengan gerakan-gerakan perbuatan yang dicontohkan oleh imam Nawawi. Berdasarkan ini, maka gerakan me-nonaktifkan ponsel tidak membatalkan salat.

Ketiga, Logika yang dibangun dalam kaedah hukum Islam (Fikih) ialah mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau menghindarkan mudharat yang akan menimpa orang banyak lebih diutamakan daripada mudharat yang akan menimpa perseorangan, atau dalam bahasa kaedah hukum: Yutahammalu Adh-Dhararu Al-Khâsshu Li Daf’i Dhararin âmmin. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menjaga konsentrasi (kekhusu’an) orang banyak dalam salat lebih diutamakan ketimbang menjaga kemungkinan batal shalat si pemilik ponsel jika bergerak untuk me-nonaktifkan ponselnya.

Jika dalam kondisi terpaksa, jangankan bergerak untuk menonaktifkan ponsel, berlari pun dibolehkan, seperti dalam situasi perang. Oleh karena itu, prinsip utama harus dipegang bahwa menjaga konsentrasi orang banyak dalam salat dapat dianggap sesuatu yang darurat (sangat penting). Inilah alasan yang dapat diajukan sehubungan dengan solusi bagi orang yang terlanjur tidak me-nonaktifkan ponselnya sebelum salat berjamaah.

Untuk itu, dihimbau kepada setiap Muslim yang memasuki masjid, baik itu untuk salat atau sekedar berdiam di masjid, hendaklah terlebih dahulu me-nonaktifkan ponsel, terlebih-lebih sebelum memulai shalat berjamaah, agar tidak mengganggu konsentrasi diri sendiri dan orang lain. Dan jika ada hal penting yang memaksa anda untuk selalu mengaktifkan ponsel meskipun sedang berada di masjid, minimal anda berusaha untuk me-nonaktifkan dering dan getarnya, agar ketika ada panggilan untuk anda, tidak seorangpun yang mendengarnya.

Semoga tulisan singkat ini bermanfaat bagi kita semua. Amin. Sekian. Wallâhu A’lam bi ash-Shawâb

[Penulis adalah Alumnus universitas al-Azhar, Mesir, mahasiswa PPs IAIN-SU konsentrasi bidang Hukum Islam]

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...