Hidup, tak selamanya bisa memilih. Itulah yang dirasakan Mahmud, seorang guru, bahkan kini menjadi kepala sekolah salah satu sekolah agama di Cengkareng, Jakarta Barat. Ia seperti hidup di antara dua dunia yang sangat berbeda, menjadi guru di satu saat, dan karena alasan ekonomi menjadi pemulung sampah di saat lain. Inilah potret nyata kehidupan guru di tanah air.
***
Matahari perlahan mulai menampakan sinarnya, dan pagi kembali datang. Akupun kembali membuka lembaran hidup dari gubukku yang sederhana ini. Namaku Mahmud. seperti hari-hari sebelumnya, di pagi buta, aku sudah melangkahkan kaki pergi mengajar di sekolah Madrasah Sanawiyah Safinatul Husnah, tak jauh dari tempatku tinggalku di Jalan Bambu Larangan RT 03 RW 05 Cengkareng Barat, Jakarta Barat, jadi aku cukup berjalan kaki untuk ke sana.
Sudah 32 tahun aku menekuni profesi ini, persisnya sejak aku berusia 14 tahun. Ya, sejak muda, aku memang bercita-cita menjadi guru, profesi yang pekerjaannya sangat mulia menurutku. Apalagi kini aku dipercaya menjadi kepala sekolah. Aku senang, pengabdianku telah berbuah manis.
Menjadi guru, bukanlah pekerjaan mudah, apalagi menjadi kepala sekolah. Tanggungjawabnya sangat besar, tak hanya harus mampu menjadi teladan tapi juga harus menyiapkan bekal mutu dan moral bagi murid-murid kami, generasi penerus bangsa ini. Karena itu hampir setiap upacara sekolah, saat menjadi inspektur upacara, aku coba tanamkan nilai-nilai luhur itu.
Meski menjadi kepala sekolah, aku tetap mengajar, matematika dan ppkn, pendidikan pancasila dan kewarganegaraan. jujur, Ada dua alasan mengapa aku tetap melakukannya. Pertama karena aku memang senang mengajar. Aku juga tak ingin ilmu matematika yang kudapat dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta menjadi tak terpakai. Dan kedua, karena alasan ekonomi. Aku masih membutuhkannya sebagai sumber tambahan.
Menjadi guru, sekali lagi, memang sangat berat, setidaknya sampai saat ini. Penghasilan yang didapatkan, sangat tak sebanding dengan karya kami untuk bangsa ini. Tapi aku, dan juga mereka yang telah memilih pekerjaan ini tak boleh mundur. Ada tanggung jawab besar di pundak kami.
Berkumpul dengan keluarga adalah saat terindah dalam hidupku. Bersama mereka aku bisa melupakan semua persoalan yang membebaniku, terutama setiap kali melihat senyum di wajah Jumiati, isteriku. Maklum, sudah dua tahun terakhir ini dia sakit-sakitan, dan aku terus memikirkannya.
Sebagai kepala rumah tangga, beban di pundakku sebenarnya sangat berat. Ibarat bangunan, aku tak ubahnya seperti tiang yang harus berdiri kokoh, jika tak ingin seluruh bangunan roboh. Bukan maksudku berkeluh kesah, tapi penghasilanku sebagai guru, meski kini telah menjadi kepala sekolah, sangatlah kecil. Aku buka saja, penghasilanku dari sekolah sekitar 500 ribu rupiah. Bisa apa dengan uang itu dengan harga kebutuhan yang terus naik sekarang ini. Belum lagi aku harus membiayai sekolah anak-anakku.
Itulah sebabnya, di luar profesi guru, diam-diam aku menjadi pemulung, mengais rezeki di antara tumpukan sampah di belakang rumahku. Saat menjadi pemulung, yang terbayang hanya wajah anak isteriku. Mereka membutuhkan kehidupan dariku. Rasa lelah, lapar, coba aku singkirkan. Tak ada gunanya pula aku mengeluh, karena inilah jalan hidupku. Hasilnya juga lumayan buat memenuhi kebutuhan hidup kami sekeluarga.
Aku sadar, keputusanku ini tidak semua menyukainya, terutama dari mereka yang merasa pekerjaan ini tak pantas dilakukan seorang guru sepertiku. Bahkan tak jarang aku menerima cibiran. Mereka seperti tak mau mengerti, isteriku sudah dua tahun menderita sakit kanker otak, dan aku belum juga mampu membiayai operasi untuknya.
Jumiati, isteri, adalah segalanya bagiku. Tak mampu kugambarkan bagaimana besar artinya dia buatku. 22 tahun ia dengan setia mendampingiku, tak ada bandingan, walau kini ia sedang tak berdaya karena sakit yang ia derita.
Sejak isteri divonis menderita kanker otak dua tahun lalu, fikiranku memang tak tenang. Permintaan beberapa murid untuk diajar les tambahan, terpaksa tak bisa dipenuhi, aku tak bisa konsentrasi, Jumiati begitu berarti buat kami. Selagi sempat aku selalu ingin berada dekatnya, menikmati kebersamaan dengannya. Aku tak sanggup membayangkan kehilangan dia.
Begitupun dengan ketiga anakku, mereka bak matahariku, sumber kekuatanku, karena mereka pula aku ikhlas menjalani kerasnya hidup ini. Si sulung, Hidayatul Aulia, telah lulus SMA, aku terharu ketika ia memutuskan tak kuliah, memberi jalan buat kedua adiknya meneruskan sekolahnya.
Yang kedua Ridwan Abimanyu, saat ini sedang kuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jurusan perbandingan agama, aku sangat bangga melihat semangat belajarnya. Lalu si bungsu Mirma Yunita, baru masuk pesantren dekat rumahku. Aku ingin kehidupan mereka kelak, lebih baik dari kami orang tuanya.
Lingkungan tempat tinggal kami, sebenarnya tidak mendukung. Kotor dan tak baik buat kesehatan, paling tidak itulah yang kami sekeluarga rasakan. Tak hanya isteriku yang sakit, ketiga anakkupun sebenarnya mengalami gangguan kesehatan. Tapi kami memang tak punya pilihan.
Hidup ini memang sebuah perjalanan, penuh liku dan terjal. Andai saja aku punya pilihan, ingin rasanya aku pindah ke lingkungan yang lebih baik. Kadang aku seperti berkhayal, membayangkan kehidupan yang lebih baik. Tinggal di lingkungan yang bersih, memiliki rumah yang memadai. Dan, ah..sudahlah, aku sudah melupakan impianku diangkat menjadi pegawai negeri, walau kadang obsesi itu masih saja kerap melintas di benakku.
Kini semua kupasrahkan kepada Tuhan. Bagiku, Tuhan telah berbuat yang terbaik untukku. Walau begitu, aku kerap mengadukan semua keluh kesahku kepadanya, aku menemukan kedamaian saat merasa dekat dengannya.(Ijs)
Reporter : Budi Sampurno
Cameraman : Iwan Agung
Ditulis ulang : Firdaus Masrun
Tayang : Jumat, 7 Desember 2007, Pukul 12:30 WIB
Sumber: Indosiar
Hidup pak Mahmud adalah CINTA.
ReplyDeleteSinar cintanya berwarna langit
Membuat semesta tersenyum lembut
karena luas hatinya menembus jiwa jiwa mungil memahami hakikat pengetahuan tentang kehidupan yang di berkahi.
Kurang lebih aku juga sama seperti pak mahmud. Guru honorer. Namun bedanya aku lebih muda daripada beliau. setidaknya aku masih punya harapan pada masa depan. ya dengan cara berdoa dan berusaha seperti beliau.
ReplyDeleteCuma bedanya aku tidak memulung. Aku memilih menjadi wirausahawan bidang teknologi informasi. Tak ada bedanya dengan beliau memang. Sama-sama harus mandiri dengan kaki sendiri. Bukan perkara apa profesinya. Karena yang terpenting halal dan barokah.
Nah dengan pengalaman dan ilmuku dalam bidang kewirausahaan, kutularkan juga pada anak didikku. Dengan sebuah harapan, masa depan menjadi lebih baik. Bagiku, bagi anak didikku dan bagi mereka yang mungkin terbantu dengan terbukanya lapangan usaha. Setidaknya mereka tidak menambah menjadi deretan pengangguran, karena memang lapangan kerja sekarang sulit. Kalaupun ada, siap-siaplah di PHK, karena banyak perusahaan yang bangkrut.
Ya, zaman lagi sulit, setidaknya masih ada harapan yang tersisa. Walau kini mungkin harapan itu belum nampak.
Harapan baru, rencana baru dan usaha baru di 2009. Insya Allah.