Assalamu'alaikum wr.wb.,
Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan seorang teman lama. Dia pernah kerja untuk Kemendiknas (dulu dinamakan Depdiknas), jadi saat ketemu, kami membahas pendidikan karena kami berdua sangat peduli pada pendidikan di negara ini. Di depannya, saya mulai mengeluh tentang Ujian Nasional (UN) dan bertanya kenapa pemerintah harus mempertahankan ujian ini, padahal sangat buruk dan tidak adil terhadap anak bangsa yang belajar dalam kondisi yang tidak setara.
Dia langsung senyum. Dia bertanya apakah saya belum tahu? Itu hanya sebuah proyek, katanya.
Saya kaget. Proyek? Bagaimana caranya dijadikan proyek? Ini ujian sekolah, bukan jembatan antar pulau atau jalan tol.
Dia menjelaskan. Di Indonesia ada ratusan ribu sekolah, dan dalam setiap sekolah ada ratusan siswa yang diwajibkan pemerintah mengikuti Ujian Nasional setiap tahun. (Jumlah total untuk tahun ini sekitar 1,5 JUTA siswa.)
Lalu dia mengatakan, “SIAPA YANG MENCETAK KERTAS UJIANNYA? SIAPA YANG DIBAYAR UNTUK MENGANTARNYA?”
Saya baru mulai berfikir. Bukannya Kemendiknas yang mencetak ujian itu?
TIDAK, katanya! Mereka “outsourcing” yaitu bayar ke pihak lain untuk mencetaknya.
Dia tambahkan lagi bahwa Mendiknas sendiri sudah menyatakan bahwa proyek besar ini menghabiskan Rp 562 Milyar (dari uang orang tua, alias pajak) setiap tahun!
Ternyata ini sebuah proyek raksasa, yang menghabiskan ratusan milyar setiap tahun hanya untuk mencetak dan menyebarkan satu ujian! Yang dapat kontrak untuk mencetaknya siapa? Apakah perusahaan itu punya hubungan dengan pejabat Kemendiknas? Atau pejabat negara? Atau politikus dari partai politik tertentu? Kapan pernah diselediki? Kok pembicaraan tentang proyek besar ini tidak masuk koran?
Teman saya senyum saja. Mungkin wartawan juga tidak berani untuk membahas ini. Mungkin wartawan yang rajin datang ke Kemendiknas juga biasa dengan “permainan” seperti ini. Mereka tahu tidak bijaksana untuk buka mulut dan membahas informasi seperti itu.
Pernyataan dari teman saya sudah cukup mengagetkan. Saya kira sudah selesai, tetapi dia tambah lagi. “Emang semua petugas yang mengantar dan mengawal Ujian Nasional sampai ke sekolah masing-masing , dan menjaganya setelah itu, tidak diberikan bayaran? Dan bagaimana dengan guru dan dosen yang harus memeriksa hasilnya? Mereka semua juga terima amplop! Apakah polisi mau mengantar ujian ini ke sekolah, tanpa dibayar? Emang ada petugas yang mau menjaga kertas ujian sampai besok pagi, tanpa dibayar? Emang ada dosen yang mengawasi dan memeriksa ujian itu tanpa dibayar? Setahu saya, semuanya dibayar! Semuanya dapat amplop!”
Dia tambahkan lagi, bahwa bahkan tim independen yang datang ke sekolah untuk melakukan evaluasi juga diberi amplop saat mau pulang.
Ya Allah! Uangnya dari mana? Ya, tentu saja dari anggaran pendidikan nasional! Dari uang rakyat. Dari uang orang tua (pajak), yaitu orang tua yang sering mengeluh bahwa ujian ini tidak adil bagi anak mereka. Daripada uang itu digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran di seluruh negara (lewat pelatihan guru), atau tingkatkan kesejahteraan guru, malah dihabiskan untuk bisnis Ujian Nasional.
Saya kaget. Apakah segala sesuatu yang terjadi di negara ini harus ada amplop di belakangnya? Bagaimana bisa menghemat uang untuk kepentingan pendidikan kalau selalu harus bagikan amplop untuk semua tugas?
Apakah sudah selesai penjelasannya? Apakah keburukan ujian itu hanya seperti itu saja? Tidak. Masih ada banyak lagi, katanya! Masih ada banyak tambahan-tambahan yang berkaitan dengan bisnis Ujian Nasional ini, seperti bisnis bimbingan belajar atau bimbel yang makin marak di mana-mana. Dan itu karena yang paling penting dari waktu sekolah hanyalah lulus ujian. Mendapat ilmu yang bermanfaat jauh di bawahnya pada posisi nomor dua, jadi fungsi bimbel adalah untuk mengajarkan trik-trik untuk lulus ujian, bukan untuk menjadikan anak-anak lebih pintar, mandiri dan kreatif. Selanjutnya, juga ada buku-buku soal yang harus dibeli, biaya fotokopi untuk soal-soal yang dibagikan di sekolah sebagai latihan, dan seterusnya. Mungkin untuk bimbingan belajar nilainya secara nasional juga ratusan milyar, atau lebih! Dan untuk buku-bukunya, berapa ratus milyar lagi. Setiap tahun!
Mungkin, kalau bisa dihitung, semua binis ini akan mencapai jumlah lebih dari satu triliun rupiah. Hanya untuk satu ujian yang tidak adil! Kenapa bisa seperti ini terus?
Teman saya senyum lagi. Dia tanya apakah saya belum pernah dengar tentang cara kerja dan cara pikir petugas-petugas yang kerja di dalam Kemendiknas? Saya mengatakan belum tahu. Lalu, dia mulai menjelaskan apa yang dia lihat selama dia berada di Kemendiknas di Senayan beberapa tahun yang lalu (waktu itu masih disebut Depdiknas).
“Kalau PNS di Kemendiknas dipanggil untuk menghadiri rapat, mereka juga diberikan amplop. Disebut ‘uang rapat’. Mereka sebatas berdiri dari meja kerjanya, pindah ke ruang rapat di sebelah ruang kerja mereka, duduk di situ untuk sekian waktu, lalu sebelum kembali ke mejanya, mereka semua dapat amplop. Disebut uang rapat. Saya tahu, karena saya juga terima dulu saat kerja di sana. Untuk rapat biasa, hanya sekitar ratusan ribu, untuk setiap orang. Tetapi kalau rapat sama Menteri Pendidikan, bisa lebih besar lagi bayarannya! Setiap hari, setiap rapat. Selalu ada ‘uang rapat’.”
Saya begitu kaget saya tidak bisa berkata apa-apa. Mereka sudah digaji, sudah dapat sekian banyak tunjangan, dan masih mau melakukan hal-hal seperti itu! Mereka mau menghabiskan uang rakyat, uang yang mestinya digunakan untuk kepentingan anak bangsa, untuk diri mereka sendiri!
Betapa teganya mereka! Betapa dzholim mereka! Ditambahkan lagi dengan bisnis Ujian Nasional!
Siapa yang dapat proyek mencetak ujian ini? Siapa yang mendapat proyek untuk distribusinya sampai ke semua propinsi, kota, kecamatan, dan sekolah? Siapa yang mau menyelediki kalau semua orang yang terlibat memang menerima amplop?
Sekarang saya paham kenapa ujian yang buruk itu masih mau digunakan terus setiap tahun. Ada kepentingan bisnis besar dan banyak uang yang bisa dibagikan di belakang semuanya.
Kapan orang tua akan sadar, dan akan siap menuntut pendidikan yang layak bagi anak mereka? Orang tua membayar pajak, dan uang pajak itu diambil oleh para pejabat untuk kepentingan diri sendiri. Semua pejabat dan petugas, dari Presiden sampai kepala sekolah, seharusnya dianggap sebagai “pelayan” terhadap rakyat karena gaji mereka dibayar oleh rakyat. Tetapi rakyat malah takut sekali terhadap para “pelayan” itu dan selalu siap diam dan nurut pada saat anak mereka dijadikan korban ujian nasional yang tidak adil.
Kapan orang tua dan guru bisa bersatu untuk memboikot ujian yang buruk ini, dan menuntut pertanggung-jawaban yang benar dari Presiden, Mendiknas, dan semua pejabat di Departemen Pendidikan Nasional, sampai dengan para kepala sekolah yang juga tidak bertindak untuk menjaga anak bangsa?
Selamat Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2010
Wassalamu'alaikum wr.wb.,
Gene Netto
Jakarta,
2 May, 2010
Search This Blog
Labels
alam
(8)
amal
(100)
anak
(299)
anak yatim
(118)
bilingual
(22)
bisnis dan pelayanan
(6)
budaya
(8)
dakwah
(87)
dhuafa
(18)
for fun
(12)
Gene
(222)
guru
(61)
hadiths
(9)
halal-haram
(24)
Hoax dan Rekayasa
(34)
hukum
(68)
hukum islam
(52)
indonesia
(570)
islam
(557)
jakarta
(34)
kekerasan terhadap anak
(357)
kesehatan
(97)
Kisah Dakwah
(10)
Kisah Sedekah
(11)
konsultasi
(11)
kontroversi
(5)
korupsi
(27)
KPK
(16)
Kristen
(14)
lingkungan
(19)
mohon bantuan
(40)
muallaf
(52)
my books
(2)
orang tua
(8)
palestina
(34)
pemerintah
(136)
Pemilu 2009
(63)
pendidikan
(503)
pengumuman
(27)
perang
(10)
perbandingan agama
(11)
pernikahan
(11)
pesantren
(34)
politik
(127)
Politik Indonesia
(53)
Progam Sosial
(60)
puasa
(38)
renungan
(179)
Sejarah
(5)
sekolah
(79)
shalat
(9)
sosial
(321)
tanya-jawab
(15)
taubat
(6)
umum
(13)
Virus Corona
(24)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
saya datang
ReplyDeletesaya lihat
saya (akan) mati
ITULAH INDONESIA ......
Setiap Generasi adalah cerminan guru dimasa lalunya.
ReplyDeletejika kejahatan para oknum macam ini tidak dihentikan maka sampai generasi hingga 20 tahun yang akan datang tidak akan lebih baik dari orang-orang macam ini.
(Dari milis)
ReplyDeletehehehe...alhamdulillah, ternyata muncul juga di milis ini. ICW sebenarnya juga menyelidiki masalah ini, cuma belum diungkap saja. semoha investigasinya gak kebentur-bentur dan bisa segera disingkap. ayo mas ade irawan, diungkap dong!!! kemarin kan baru mengungkap bobroknya BOS, DAK untuk pendidikan, semoga kini bisa nyasar ke bisnis ujian nasional ini.
saya tidak setuju hari berkabung pendiidkan nasional maaf. saya optimis bangsa ini akan menuju proses menjadi sehingga harus terus optimis. yang tega ngemplang uang rakyat, ya serahkan ke KPK. saya kira kalau wartawan tahu, bisa meledak nih!! ayo, siapa punya bukti, japri dong!!!
(dari milis)
ReplyDeleteSalam,
Tulisan Pak Gene terasa seperti merangkai fakta-fakta yang selama ini telah kita maklumi dan anggap wajar keseharian, menjadi cerita drama sinis. Kita maklum karena memang seperti itulah cara kita semua selama ini melaksanakan 'tugas' profesi. Di bidang apa saja, di jenjang apa saja. Bukankah, selama ini ketika kita melaksanakan tes akhir semester juga diproyekkan oleh sekolah (ada panitia dan ada honor setiap fungsi kepanitiaan?). Padahal, tes itu kan bagian dari tugas pokok profesi guru.
Bahkan, nanti kalau UN dievaluasi dan diganti ujian regional atau lokal atau bentuk lain, manajemennya pun tentu serupa (melibatkan amplop). Untuk mengubah tradisi ini di Indonesia rasanya susah. Apalagi itu dianggap sebagai 'cara halal' untuk meningkatkan kesejahteraan para PNS.
Yang panting bagi saya adalah perubahan esensi ujiannya: agar sesuai dengan prinisip dan tujuan evaluasi, adil, jujur, tidak banyak menimbulkan ekses negatif bagi proses pendidikan, dan bermanfaat.
Salam,
(dari milis)
ReplyDeleteSaya curiga bahwa para pemantau independen diberi amplop/ map uang. Saya sebagai pemantai tingkat propinsi yang datang hanya beberapa menit ke sekolah pun beberapa kali ditawari amplop/map serupa. Alhamdulilah saya tolak semuanya.
Di sebuah sekolah SMAN di pinggir kota Bandung saya ditawari map ketika sudah masuk mobil. Padahal saya berkunjung kurang dari setengah jam, tidak galak dan tidak menunjukkan kesalahan. Saya hanya memotret proses penutupan amplop yang tidak sesuai dengan SOP karena seharusnya dilakukan di kelas. Oleh guru yang menyodorkan map lewat jendela mobil saya dia bilang ini titipan dari pak haji (maksudnya Kepala Sekolah). Kata dia sudah menjadi kesepakatan diantara para kepala sekolah untuk memberi ini kepada setiap tamu. Saya jawab itu yang saya tidak sepakat.
Itu uang bukan dari dana pemerintah. Itu dana dari masyarakat yang dikumpulkan lewat Komite Sekolah. Memang tidak ada aturan penggunaan dana masyarakat di Komite Sekolah.
Saya beberapa kali usul diantaranya ke Wakil Menteri agar di kartu nama pemantau diberi catatan bahwa pemantau sudah didanai oleh dana pemerintah. Rupanya usulan saya tidak pernah ada sambutan
:-(
EP
Yang parah lagi, Gene.Katanya ada pihak bimbingan belahjar tertentu yang memberikan uang kepada dewan supaya ujian nasional tetap ada . ini sih baru kabar burung tapi kalu benar khan berrarti sudah parah sekali komersialisasi pendidikan kita
ReplyDeleteAstagfirullah, I didn't know kalau Ujian Nasional dibisniskan bagi kelompok/individu2. Mungkin inilah beda program (yang memang dirancang dan dipersiapkan demi kebaikan) dengan proyek yang hanya memikirkan keuntungan dan kali hanya sekali pakai. Thanks info dan beritanya.
ReplyDeleteSebelum ada UN juga emang ujian2 sebelumnya dah lama
ReplyDeletedibisnisin, gimana sih pada baru tahu...? ini mah info 25 tahun yg lalu...,
Mikir aja kenapa juga jadi berjamur tuh kursus bimbingan apalagi yang TOP mereka jelas bgt dah kerja sama tuh bisnisin soal2 ujian makanya bayarannya bisa sampai 10/15 jt.
Waktu zamannya saya kayak model-modelnya siki mulyono, teknos, ksm TOP bgt waktu itu rata2 yg masuk ork-(orang2 kaya), saya waktu itu gak masuk yg intensif-nya karena bayarannya ehmmmm... mahal bgt dan kursusnya dah mau deket2 ujian.
Coba... bisa di tebak kan mereka bisa dapat kisi2 soal dari mana...kalau bukan dah bisnisan dengan depdikbut. Promosinya waktu itu dijamin lulus dan kalau intensif umptn lain lagi bayarannya... dan dengan embel2 promosi dijamin masuk negeri... dan memang rata2 beneran mereka lulus dapat di UI, ITB, IPB, UGM dsb.
Gimana sih pada ketinggalan info bgt,selama ini analitiknya di gunakan donk...??? yang begini ini nih kadang orang tuh gak mau sih menggunakan analitik dan logikanya...
Kalau seluruh orang pada rajin mengamati, mengolah logika dan analitik... gak mustahil donk kalau Pendidikan INDONESIA BISA BERUBAH!!!.
Jangan system terus yang di koreksi karena system itu akan bisa berubah kalau setiap orang2 indonesia itu cara berpikirnya ITU sudah seharusnyalah digunakan...logikanya-analitiknya dan kristis...berani protes, jangan dah tahu DIAM aja mentang2 karena ikutan kebagian UANG juga.
betul, betul, betul (menirukan upin-ipin)...hihihi.
Semoga ada orang yang faham mengenai UN, membaca blog ini, dan mau menjelaskan bagaimana kebenaran tentang UN.
ReplyDeleteKita butuh pendapat yang obyektif dan bukti-bukti yang kongkret sehingga tidak menimbulkan dugaan-dugaan yang buruk.
Kepada semua pembaca blog ini kalau memang punya bukti penyimpangan atau penyalahgunaan dana Pemerintah yang berkaitan dengan UN sebaiknya laporkan ke pihak yang berwenang sehingga masalah ini bisa menjadi jelas.
Assalamu'alaikum wr.wb.,
ReplyDelete[kutip] “…kalau memang punya bukti penyimpangan atau penyalahgunaan dana Pemerintah yang berkaitan dengan UN sebaiknya laporkan ke pihak yang berwenang …”
Sikap seperti itu masih sulit di Indonesia. Saya kenal banyak sekali orang yang masih tidak berani untuk melaporkan hal-hal buruk yang mereka saksikan kepada “pemerintah” atau “polisi”.
Mereka takut akan dimusuhi dan akan menjadi korban juga. Yang berani ambil risiko sedikit sekali. Yang sudah punya isteri, anak dan cicilan rumah termasuk yang paling tidak berani ambil risiko.
Jenderal polisi saja bisa dijadikan tersangka dalah sekejap (Susno) dan polisi buru2 memeriksa dia sebagai pelapor, dan lebih lambat memeriksa apa yang dia laporkan!
Kita semua tahu apa yang terjadi pada Munir, dan orang yang bertanggungjawab atas kematiannya belum diungkapkan, apalagi ditangkap, apalagi disidangkan dan dipenjarakan.
Selama 15 tahun di sini, saya sudah dengar cerita miring berkali-kali. Saya suruh orang-orang itu lapor, dan jawaban yang umum adalah “takut”.
Ada orang yang menjadi pengurus sekolah. Dia ceritakan bahwa orang Depdiknas minta sekian persen dari uang BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sebelum mau dikirim.
Ada orang yang kerja di Direktorat Pajak. Dia ceritakan bagaimana laporan pajak bisa diubah oleh atasan dan dia dipaksakan memberikan tanda tangan pada jumlah baru (yang jauh lebih rendah daripada yang sebelumnya).
Ada orang yang menjadi dokter. Dia bercerita tentang bagaimana dia melihat pasien wafat karena kelalaian dokter lain. Mislanya dengan memberikan obat yang salah untuk jangka waktu yang terlalu lama. Setelah pasien wafat, keluarga tidak diberitahu penyebab kematian, jadi mereka menyangka karena penyakit, padahal dokter yang salah.
Ada orang yang menjadi staf IT di salah satu pilkada. Secara ilegal, dia masuk ke database dan cek hasil penghitungan suara (dia penasaran saja, dan ingin tahu kalau ada yang curang). Di situ, dia melihat bahwa jumlah suara2 itu diubah dengan sengaja untuk memenangkan partai tertentu di atas yang lain. Ketika ditanya kenapa tidak lapor kepada polisi dan KPUD, dia menjawab, “Saya takut dibunuh!”
Jadi, kalau memang ada unsur korupsi di dalam Ujian Nasional, dan ada pihak yang tahu dengan jelas, saya kira sangat naïf kalau kita sebatas menyuruh orang itu “lapor” daripada membahas di internet atau koran terlebih dahulu.
Ini Indonesia. Kalau kita laporkan kriminal kepada Polisi, dan si kriminal membalas dengan menuntut “pencemaran nama baik” maka pemeriksaan yang diutamakan oleh polisi adalah pencemaran nama baik (terhadap kriminal) dan si pelapor bisa saja masuk penjara sebelum si kriminal diperiksa oleh polisi. Ini Indonesia. Tidak ada perlindungan terhadap “whistle-blower”.
Kita membutuhkan wartawan yang independen, yang berani, yang bisa melakukan penyeledikan sendiri setelah dapat info atau laporan dari masyarakat, dan bisa laporkan kepada kita lewat media massa. Selama perkara-perkara seperti itu selalu ditangani secara internal, tanpa melibatkan media massa dan masyarakat, sangat mungkin bahwa kasus2 tersebut tidak akan dibuka, dan tidak akan diselesaikan.
Wassalamu'alaikum wr.wb.,
Gene
Koq bahasanya campur aduk ya...., aku paek basa jawa ja, ngeneki lho saikiki opo - opo iso kanggo uga dadi bisnis. Lha wong dadi wakil rakyat wae saiki didadekne bisnis koq kepiye... Nak apik lan mangpangat dinggo wong liyo we rapopo, lha nak mung dinggo awake dhewe hayo.... Kepiye kuwi.....
ReplyDeletePendidikan jadi lahan basah ya sekarang pantes aja teman-teman kantorku banyak yang keluar terus berburu jadi guru PNS,ternyata banyak yang bisa dibisnisin di dunia pendidikan.
ReplyDelete