Apakah bisa lewat satu minggu tanpa ada perempuan hubungi
saya untuk curhat, bahwa dia tidak bahagia dalam pernikahannya? Sepertinya ada
suatu masalah besar di negara ini, di antara para suami-isteri. Di dunia barat,
lebih mungkin mereka akan ribut dan cerai. Di sini, lebih mungkin mereka akan
pura-pura bahagia di depan umum, di depan keluarga dan teman, tapi di dalam
rumah ribut terus dan tidak bahagia. Tapi karena merasa harus “dirahasiakan”
supaya tidak “malu”, maka si perempuan menderita terus, tanpa bisa
berkomunikasi dengan banyak orang, termasuk keluarga kandungnya sendiri.
Ada suami yang selingkuh, tapi isteri tidak mau cerai. Ada suami
yang narkoba, tapi isteri tidak mau cerai. Ada suami yang mabuk-mabukan, tapi
isteri tidak mau cerai. Ada suami yang menikah lagi tanpa memberitahu isteri
pertama, lalu abaikan isteri pertama, tapi isteri tidak mau cerai. Ada suami
yang tinggalkan isteri bertahun2, lalu ditemukan kembali hidup dengan perempuan
baru di kota lain, tapi isteri tidak mau cerai. Ada suami yang berjudi, dan
uang keluarga habis terus, tapi isteri tidak mau cerai. Ada suami yang berubah
dan bersikap dingin, alias tidak mencintai isterinya lagi dan malas bicara, tapi
isteri tidak mau cerai. Ada suami yang mengancam dan memukuli isterinya secara
rutin, tapi isteri tidak mau cerai. Ada suami yang menghinakan dan mengancam isteri
secara psikologis terus, tapi isteri tidak mau cerai. Dan seterusnya.
Ada perempuan yang jatuh cinta sama pria bule yang tidak mau
masuk Islam, tapi si perempuan tidak mau tinggalkan dia karena masih “mencintai”
dia katanya. Ada perempuan yang suaminya muallaf, yang setelah menikah berhenti
shalat atau kembali ke agama lamanya, tapi si perempuan tidak mau tinggalkan
dia. Ada perempuan yang jatuh cinta, dan setelah itu baru tahu kekasihnya sudah
menikah, tapi si perempuan tidak mau tinggalkan dia. Ada perempuan yang punya
pacar di lain negara, dan hanya kenal lewat Facebook atau situs lain, dan tiba2
merasa siap kabur ke luar negeri untuk menikah dengan pria itu, dan berharap
akan baik-baik saja, karena takut tidak akan bisa dapat calon suami yang lain kalau
tidak menikah dengan dia. Ada perempuan yang dapat calon suami yang jauh dari
harapannya (agama tidak baik, akhlak tidak baik, dsb), tapi si perempuan tidak
mau tinggalkan dia karena takut tidak
bisa dapat yang lain. Dan seterusnya.
Non-stop ada perempuan yang berkonsultasi tentang pernikahan
kepada saya, dan teman2 saya yang ustadz juga dapat terus katanya. Kesan saya,
perempuan Muslim yang menikah, dan bahagia di dalam pernikahan, hanya sekian
persen. Mungkin tidak mencapai 50%. Semuanya pura-pura bahagia di depan umum
karena merasa “malu” di negara ini kalau pernikahannya tidak berhasil dan
bahagia. Jadi mereka menderita terus, sambil mencari tempat curhat dengan orang
yang tidak dikenal (seperti saya, hanya dikenal lewat internet) biar tidak
malu. Membahasnya dengan teman dan saudara tidak mau, karena malu. Cerai tidak
mau karena malu. Datang ke tempat konseling keluarga tidak mau karena malu. Lebih
hati-hati memilih calon suami juga tidak mau karena ada “cinta”, atau karena
takut tidak akan dapat lagi kalau tidak segera menikah, walaupun calon suami
yang satu itu dianggap kurang berkualitas. Diharapkan dia akan berubah nanti
dan menjadi lebih baik kalau sudah menikah. Ternyata…
Saya merasa kasihan sekali dengan ummat Islam di sini. Penuh
dengan pasangan suami isteri yang tidak bahagia, dan merasa terpaksa pura-pura
bahagia agar tidak malu. Tidak boleh jujur, karena jujur (mengakui ada masalah)
akan membuat mereka malu. Dan walaupun suami melakukan hal2 yang buruk yang
diharamkan di dalam Islam, sang isteri tetap merasa tidak bisa cerai karena
kasihan sama anak2 kalau orang tuanya cerai. Atau takut malu di antara tetangga
dan keluarga. Atau takut tidak ada nafkah hidup untuk anak2 nanti. Berkali2 ada
cerita dari perempuan yang berani cerai dan setelah itu hidup sengsara karena
tidak dapat nafkah hidup lagi untuk anak2nya dari mantan suami. Jadi hakim Islam
yang memberikan izin cerai tidak sekaligus mewajibkan nafkah hidup untuk anak2.
Artinya, kalau perempuan berani menikah, sama saja dengan berjudi: bisa menang
dan bahagia, bisa kalah dan menderita bertahun2, tanpa bisa bicara dengan orang
terdekat, karena akan malu kalau orang lain tahu.
Sikap “takut malu” itu membuat banyak sekali perempuan
menderita bertahun2 dan tidak banyak yang mau membela mereka, walaupun suami
mereka yang bermasalah. Kasihan para wanita Muslim di Indonesia. Jadi korban
terus. Berapa persen yang benar2 bahagia dalam pernikahan? Kenapa bukan ini
yang dibahas pada ustadz dan kyai dalam shalat jumat dan pengajian, untuk
memberikan petunjuk kepada para suami agar mereka menjaga diri dan menjaga
kualitas keluarganya, demi masa depan anak2nya? Kebanyakan ustadz dalam khutbah
jumat hanya mau bicarakan urusan umum, seperti keimanan kepada Allah dan Al Quran,
sorga dan neraka secara global saja. Dan mungkin di antara ribuan hadirin, yang
kebanyakan setengah tidur, ada banyak suami yang berakhlak tidak baik yang
membutuhkan petunjuk. Tapi mereka tidak akan dapat binaan dari siapapun, karena
masalah pernikahan mereka tidak akan dibahas sama teman dan saudara. Takut malu.
Berapa banyak keluarga dirugikan dan menjadi bermasalah karena suami-isteri “takut
malu” kalau harus mencari bantuan?
Kasihan para isteri Indonesia. Suatu kaum yang penuh dengan
korban tersembunyi. Seharusnya “parenting” diajarkan di dalam sekolah, dan
masuk ke kurikulum dari SMP ke atas. Seharusnya ada pengajian khusus di tivi
yang fokus ke masalah ini. Tapi kebanyakan orang sepertinya tidak mau membahas
masalah ini di tempat umum. Takut malu.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene
Assalamu'alaykum.. betul ustadz.. kalau menikah bukan karena Allah, karena siapa lagi? semoga ketika memilih pasangan, Allah membukakan hati kita agar dijauhkan dari alasan2 yang tidak syar'i.. amiin
ReplyDelete