Ada liputan media dari Kanada, dan Australia, ttg kasus
sodomi di JIS (yg mulai tahun 2014). Tujuh orang dipenjarakan smp 11 tahun.
Satu guru Kanada, satu guru Indonesia, dan 5 petugas kebersihan (satu orang
lagi wafat dalam tahanan polisi). Saya melihat bbrp hal yang menarik dari sisi
"pendidikan" dalam kasus ini.
Polisi dituduh menyiksa 6 petugas kebersihan, agar mereka
mengaku. Satu orang mati, dan polisi mengatakan dia "bunuh diri" tapi
di foto mayatnya ada lebam di muka. Empat pria berikan "pengakuan" ke
polisi, tapi di pengadilan mereka membantah dan mengatakan mengaku karena
disiksa. Satu perempuan tidak disiksa, tidak mengaku, tapi dipenjarakan juga. Polisi
terkesan tidak profesional. Hanya hasil yang penting. Kebenaran tidak penting.
Anak TK yang menjadi korban dikatakan kena penyakit herpes, setelah
disodomi. Tapi dalam tes yg lain, hasilnya negatif. Dokter penyakit menular
mengatakan tes yang digunakan di Indonesia sering berikan hasil "positif"
yang tidak benar. Tes yang lebih mahal di Eropa lebih dipercayai, dan berikan
hasil negatif. Di tangan jaksa, bukti yang bertentangan itu diabaikan. Hanya
bukti yang diinginkan yang diterima. Jaksa terkesan tidak profesional. Hanya
hasil yang penting. Kebenaran tidak penting.
Hakim menolak semua bukti yang diberikan oleh pengacara
tersangka. Seorang polisi ahli dari Australia diminta melakukan penyelidikan
independen. Dia menyatakan mustahil anak disodomi berkali2 di lokasi itu. Kantor
guru Kanada Neil Bantleman punya 4 tembok yang dibuat dari kaca. Semua koridor
pakai CCTV. Tidak ada bukti sama sekali anak pernah masuk kantor itu, apalagi
disodomi. Jadi tuduhan tidak masuk akal. Kesaksian polisi ahli itu ditolak oleh
hakim. Hakim terkesan tidak profesional. Hanya hasil yang penting. Kebenaran tidak
penting.
Dan ada banyak hal lain yang membuat kasus ini terkesan
ganjil sekali. Kesimpulannya? Polisi, Jaksa dan Hakim terkesan tidak
profesional. Dan 10-20 tahun yang lalu, semua orang itu adalah SISWA SEKOLAH.
Mereka duduk di depan guru Indonesia, yang banyak juga tidak peduli pada tata cara
menjalankan profesinya. Yang penting hasil saja. Melakukan hal yang
bertentangan dengan aturan profesi, seperti memukul siswa, bukan masalah. Guru
selalu benar, siswa selalu salah. Guru berkuasa, siswa lemah. Kebenaran dan
keadilan tidak penting. Pelajaran dari banyak guru itu diberikan kepada semua
siswa.
Sekarang semua mantan siswa itu telah menjadi dewasa, dan
punya profesi sendiri. Cara berpikir mereka dibentuk 10-20 tahun yang lalu,
oleh guru sekolah yang mengajarkan mereka tentang bagaimana orang yang kuat
(guru, polisi, jaksa, hakim) tidak perlu peduli pada orang yang lemah (siswa,
tersangka, anggota masyarakat). Buat apa harus peduli pada kebenaran dan
keadilan? Apa guru Indonesia memberikan contoh yang baik, yang bisa diikuti
oleh siswa yg juga punya profesi sendiri setelah dewasa? Atau apakah banyak guru
memberikan contoh buruk yang ikut merusak profesi2 yang lain? Semoga bermanfaat
sebagai renungan.
-Gene Netto
No comments:
Post a Comment