Search This Blog

Labels

alam (8) amal (100) anak (299) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (8) dakwah (87) dhuafa (18) for fun (12) Gene (222) guru (61) hadiths (9) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (52) indonesia (570) islam (557) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (357) kesehatan (97) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (52) my books (2) orang tua (8) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (503) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (11) pesantren (34) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (179) Sejarah (5) sekolah (79) shalat (9) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

14 May, 2008

Pelanggaran HAM, SMA 68 Diadukan ke Komnas HAM

Selasa, 13 Mei 2008 | 14:46 WIB

JAKARTA, SELASA - SMA Negeri 68, salah satu sekolah negeri terbaik di DKI Jakarta, diadukan ke Komnas HAM karena dugaan pelanggaran HAM terhadap siswa didik.

Selain dugaan pelanggaran HAM, Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan, Koalisi Pendidikan, dan Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mengadukan dugaan korupsi di sekolah yang berada di kawasan Salemba tersebut. Selain SMA 68, SD Negeri Percontohan IKIP Jakarta pun diadukan untuk kasus serupa.

"ICW sebagai fasilitator yang menghubungkan antara aliansi orangtua peduli pendidikan dan koalisi pendidikan untuk menyelesaikan permasalahan ini," ujar peneliti pendidikan ICW, Febri Hendri, di Komnas HAM, Selasa (13/5).

Salah satu orangtua murid, Alex Yuswar, mengatakan, terjadi intimidasi kepada siswa, yang orangtuanya vokal dalam memeriksa laporan keuangan sekolah. "Apabila tidak bisa menjawab pertanyaan dari guru, dikatakan bego, bodoh. Dan, gurunya ngomong, pantas anaknya bego, orangtuanya banyak omong," kata Alex. Selain itu, lanjut Alex, siswa yang belum membayar uang sekolah diumumkan melalui pengeras suara sehingga membuat siswa bersangkutan malu.

Sementara itu, perwakilan orangtua murid dari SD Percontohan IKIP, Handaru, mengatakan, siswa yang orangtuanya dianggap kritis terhadap laporan Anggaran Perencanaan Belanja Sekolah (APBS) rapornya dikosongkan. Rangkingnya pun diturunkan dan tidak diikutsertakan dalam tes susulan.

Hingga berita ini diturunkan, Komnas HAM yang diwakili oleh komisioner pemantauan penyelidikan, Nurcholis, masih mendengarkan runtutan laporan tersebut. (C5-08)

Sumber: Kompas.com

> Mau ngomong apa lagi? Selamat datang di dunia pendidikan Indonesia! Selamat deh!

Wassalam,

Gene

12 May, 2008

Kita Harus Cari Lebih Banyak Pejabat Negara Seperti Ini:


Assalamu’alaikum wr.wb.,

Akhirnya ada pejabat negara yang bisa memberikan contoh yang baik. (Sayangnya, baru satu orang). Ini pertama kali saya baca berita di mana ada seorang pejabat yang dapat makanan enak di sebuah acara, tetapi dia juga sempat berfikir tentang anak yatim yang lapar. Alhamdulillah ada satu orang seperti ini. Silahkan baca.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

*****

Jakarta - Pasangan Hidayat Nur Wahid dan Diana Abbas Thalib, sangat sadar pernikahannya akan dihadiri banyak tamu. Maka disediakan waktu hampir 8 jam bagi para tamu untuk hadir dan menyampaikan ucapan selamat.

Prosesi pernikahan diawali pada pukul 08.30 WIB, Minggu (11/5/2008). Yaitu upacara penyerahan mempelai pria pada keluarga mempelai wanita di resepsi di Sasono Langen Budoyo, TMII, Jakarta.

Dilanjutkan langsung prosesi akad nilkah. Presiden SBY dan Wapres JK menyaksikan dua rangkaian acara ini dan baru kemudian meninggalkan tempat tanpa mengikuti acara resepsi.

Secara resmi resepsi baru dimulai pada pukul 10.00 WIB. Tapi para tamu sudah hadir di lokasi acara sejak satu jam sebelumnya dengan harapan dapat mengikuti acara ijab kabul.

Semakin mendekati tengah hari, makin banyak tamu yang hadir. Bukan hanya kader PKS dan sejawat dari dr Diana, tapi juga para tokoh politik, pemuka agama, menteri, dan pimpinan lembaga tinggi negara kolega Hidayat Nur Wahid.

Hadir pula perwakilan negara-negara sahabat dan mantan wakil PM Timor Leste, Marie Al Katiri. Sebanyak 350 anak yatim piatu dari Jakarta dan Bakasi, berbaur bersama mereka.

Keputusan menyediakan waktu resepsi sedemikian panjang, ternyata tepat. Cukup banyak tamu undangan yang baru tiba selepas tengah hari. Dua di antaranya adalah Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dan artis Irfan Hakim.

Tapi kebijakan bukan tanpa risiko. Tentu bukan harga sewa gedung yang jadi masalah, tapi kelelahan fisik Si Pengantin Baru karena berarti harus lama pula duduk dan berdiri untuk menerima jabat tangan dari tamu yang terus mengalir.

"Mohon maaf, mempelai sementara akan menerima jabat tangan sambil duduk," ujar penyanyi nasyid Agus Idwar Jumhadi yang bertindak sebagai MC di tengah acara. ( lh / nrl )

Sumber: Detik.com

Uang sebesar 1 juta dollar AS akan segera dikirim ke Myanmar


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta menyampaikan belasungkawa atas korban topan Nargis. Dua pesawat Hercules TNI berisi bantuan makanan dan obat-obatan bersama uang sebesar 1 juta dollar AS akan segera dikirim. (Kompas)

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Saya ingin bertanya kalau tindakan ini adalah tindakan yang benar. Indonesia akan mengirim 1 juta dolar AS serta bantuan makanan dan obat-obatan ke Myanmar. Kemarin saya nonton berita. Katanya, Amerika akan kirim 3 juta dolar, Australia siap kirim 3 juta dolar, Indonesia 1 juta dolar, tapi Perancis hanya mau kirim 300.000 dolar. Kenapa? Menteri Luar Negeri Perancis menjelaskan: mereka tidak percaya bahwa para jenderal di Myanmar, yang terkenal sebagai koruptor dan diktator militer, akan menggunakan uang tersebut dengan benar.

Jangankan uang, bantuan berupa makanan dan obat-obatan yang tiba di bandara Yangon, langsung disita oleh militer Myanmar. Katanya, mereka ingin bagikan sendiri tanpa bantuan dari siapapun. Anehnya, laporan dari dalam Myanmar menyatakan rakyat lebih banyak dibantu oleh para biksu dan anggota militer justru tidak kelihatan di jalan!

Berbagi juru bicara dari berbagi LSM sudah bicara di media massa. Katanya, untuk memindahkan bantuan yang besar dalam kondisi yang buruk butuh keahlian khusus. Sebagai LSM yang terbiasa membantu setelah bencana, mereka punya keahlian tersebut, dan siap masuk Myanmar untuk bantu-bantu, seperti yang dilakukan setelah tsunami di Indonesia.

Tetapi jenderal Myanmar tidak mau tahu dan tidak mau memberikan visa dengan cepat bagi para pekerja LSM tersebut.

Setelah mereka antarkan bantuan ke Yangon, semuanya langsung disita oleh tentara, dan setelah itu, tidak jelas dibagikan ke mana. Pekerja LSM harus langsung ke luar negeri lagi, dan tidak boleh turun dari pesawat untuk membantu.

Di dalam kondisi ini, di mana beberapa negara yang jauh lebih kaya dari kita tidak percaya pada jenderal Myanmar, apakah wajar kalau negara berkembang seperti Indonesia bertindak dengan cepat untuk membagikan makanan, obat-obatan dan juga membagikan 1 juta dolar kepada para koruptor yang berkuasa di Myanmar?

Ini ide siapa? Kenapa rakyat Indonesia terima?

Bukannya saya tidak ingin membantu orang malang di Myanmar yang kena musibah, tetapi saya berfikir “Kalau sebagian negara barat tidak mau memberikan uang atau bantuan yang banyak kepada para jenderal di Myanmar karena tidak jelas akan dibawa ke mana, kenapa Indonesia siap melakukannya?

Bagi saya, ini terasa aneh.

Saat kita baca tentang orang yang mati kelaparan di berbagi pelosok di Indonesia, kok tidak ada pesawat TNI yang diperintahkan terbang ke sana secara cepat untuk membagikan makanan dan dolar AS? Tapi untuk diktator Myanmar, ada! (Siapa bilang dolar itu akan digunakan untuk korban setelah disita oleh jenderal Myanmar?)

Dan pada saat kita baca tentang korban Lapindo yang akan dihentikan jatah makanan yang membantu mereka bertahan hidup setelah rumah dan bisnis mereka tenggelam di bawah lumpur panas (tanpa ada yang mau bertanggung-jawab), kok tidak ada pesawat TNI yang berangkat secara cepat ke Sidoarjo untuk membagikan makanan dan dolar AS kepada mereka? Tetapi untuk koruptor Myanmar, ada!

Mohon maaf kepada korban di Myanmar, tetapi ada warga Indonesia yang juga membutuhkan bantuan berupa makanan gratis, obat-obatan gratis, dan banyak sekali anak yatim yang lapar di Indonesia yang selalu siap terima dolar AS kalau SBY ingin membagikan (mungkin bisa diambil dari uang saku Aburizal Bakrie).

Kok orang asing yang tidak dikenal bisa dapat bantuan dengan cepat? Tetapi di lain sisi, ada anak yatim dan orang miskin, yang beriman kepada Allah, yang juga tidak punya kesalahan, yang merupakan warga negara Indonesia yang sah, tetapi tidak dapat bantuan dari pemerintah. Orang miskin yang sudah dewasa ikut dalam pemilu dan karena itu memberikan gaji kepada para pejabat negara. Sayangnya, pada saat mereka menderita dan perlu bantuan secara cepat supaya tidak mati kelaparan atau supaya tidak jatuh sakit, ternyata tidak ada pesawat TNI bagi mereka. Tidak ada makanan gratis bagi mereka. Tidak ada obat-obatan bagi mereka. Dan tentu saja tidak ada orang yang membagikan dolar AS buat mereka.

Tetapi untuk jenderal yang korup di Myanmar, ternyata ada! Dan bisa diadakan dengan cepat juga!

Kapan negara ini akan mendapat pemerintah yang peduli pada rakyatnya sendiri daripada mengejar gengsi internasional?

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene Netto

WFP spokesman Paul Risley said two flights of "critically-needed food aid" - including 38 tonnes of high-energy biscuits - arrived in Burma on Friday but was confiscated [= disita]. One aid official told him the Burmese government was "murdering their own people by letting them die".

The UN's World Food Programme says two more plane-loads have been impounded [=disita] by the authorities, who say they welcome aid but want to control distribution.

One aid worker said the agencies are having to work under the strict parameters set by the government. "The government wants total control of the situation although they can't provide much and they have no experience in relief efforts," he told the Associated Press, but did not want to be named.

State TV said the death toll had increased to 28,458, while 33,416 were still missing after the cyclone. Aid agencies, however, estimate that 100,000 have died and warn that this figure could rise to 1.5 million without provision of clean water and sanitation.

09 May, 2008

Situs Porno Indonesia Mulai Dihajar Depkominfo

Kamis, 8 Mei 2008 | 10:30 WIB

JAKARTA, KAMIS - Ancaman pemerintah menutup situs-situs porno di Indonesia bukan omong kosong. Sejak UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disahkan 25 Maret lalu, Departemen Komunikasi dan Informatika mulai memburu situs-situs lokal yang memuat konten asusila.

Salah satu situs porno yang "dibredel" Depkominfo belum lama ini adalah dewasapass.com. Situs yang menyediakan layanan berbayar untuk mendapatkan kata sandi (password) layanan situs porno luar negeri itu tidak beroperasi lagi. Di halaman situsnya terpampang pengumuman:

This website is Closed by Depkominfo.go.id

Berkaitan dengan UU ITE yang diberlakukan sejak 01 April 2008, Dewasapass.com ditutup.

Due to local authorities restrictions, based on ITE Record Statement which issued April 1st, 2008,

Dewasapass.com is close down all services.

Memang, sejak pemerintah mengeluarkan ultimatum Maret lalu, beberapa situs lokal yang menampilkan aktivitas asusila tidak beroperasi lagi. Sebuah situs komunitas terbesar di Indonesia bahkan hingga hari ini tetap konsisten menutup kanal yang memuat pornografi. Sementara itu, situs-situs lain yang sempat tidak beroperasi kini ada yang mulai membandel lagi menayangkan muatan terlarang itu.

Sumber: Kompas.com

Penyedap Rasa Hambat Pertumbuhan Anak


Jumat, 09 Mei 2008

Makan tanpa penyedap? Hmm rasanya kurang pas. Tapi tahukah Anda? penggunaan penyedap berlebihan justru menghambat pertumbuhan anak

Hidayatullah.com--Vetsin atau monosodium glutamate (MSG) dan dikenal sebagai penyedap rasa saat memasak diyakini membahayakan dan akan menghambat pertumbuhan anak.

Vetsin, atau monosodium glutamate (MSG) terkandung asam sodium glutanik (glutanic acid sodium), yang dapat menguraikan asam glutanik selama proses pencernaan. Asam ini dalam jaringan otak atas dorongan asam glutanik yang dibantu oleh vitamin B6 bisa berubah menjadi δ (delta) - asam amino butyric, yaitu semacam zat pengekang syaraf penyalur. Bila kekurangan zat ini, akan mudah menyebabkan sistem kontrol syaraf menjadi terlalu tegang, misalnya timbul gejala kepanasan atau kejang-kejang. Karena itu, mengkonsumsi vetsin harusnya sedikit dan sewajarnya, sebab zat ini juga berguna untuk mempertahankan sistem syaraf.

Namun jika mengkonsumsi vetsin terlalu banyak, juga berbahaya bagi tubuh manusia. Banyak orang mempunyai pengalaman, setelah mereka makan terlalu banyak masakan yang enak, lalu timbul gejala sakit kepala dan pusing, tubuh bagian atas mati rasa, hati berdebar dan nafas menjadi pendek dan lain-lainnya, ini yang disebut “mabuk makan”. Penyebab utamanya juga karena terlalu banyak kandungan asam glutanik dalam daging dan vetsin yang dikonsumsi.

Konsumsi asam glutanik setelah dicerna oleh lambung dan usus dan masuk ke otak besar, maka pada bagian tertentu di jaringan otak akan dihasilkan δ (delta) – asam amino butyric yang bersifat menghambat syaraf , dapat menyelaraskan kemampuan kerja otak besar yang normal, tetapi asam glutanik yang berlebihan akan menjadikan δ (delta) – asam amino butyric juga jadi berlimpah. Jika penghambat saluran syaraf dalam otak banyak, berbagai fungsi syaraf akan berada dalam posisi terkekang.

Penelitian Tim Riset di Amerika terbaru menyebutkan, setelah menyuntikkan vetsin yang overdosis ke dalam tubuh tikus, mereka lalu menemukan bahwa selang beberapa waktu, pada retina tikus dan beberapa bagian sistem syaraf utama terlihat gejala kerusakan. Fungsi alamiahnya menurun, juga nampak penyakit kegemukan. Karena jumlah sel darah merah dan putih dalam tulang berkurang, di mana garam kalsium yang masuk ke sel mengalami kerusakan, jadi akan mempengaruhi sintesa sel-sel, sehingga pertumbuhan tulang juga ikut terhambat.

Riset selanjutnya menunjukkan bahwa seorang anak yang terlalu banyak mengkonsumsi vetsin atau makanan yang mengandung asam glutanik, maka bagian otak besar yang memproduksi δ (delta), akan dapat menghambat pengeluaran hypothalamic untuk menekan thyroxin melepaskan hormon dan menekan hormon parathyroid untuk membiarkan pelepasan hormon, akhirnya akan menyebabkan thyroxin dan parathyroid pengeluaran hormonnya berkurang.

Kurangnya pengeluaran thyroxin akan berdampak negatif bagi pertumbuhan tubuh manusia, akan tetapi hormon parathyroid adalah hormon penting untuk mengatur kalsium darah dan fosfor darah.

Hormon tersebut dapat mencegah hilangnya kalsium melalui air seni, serta membantu daya serap usus terhadap kalsium dan fosfor. Jika pengeluarannya tidak mencukupi, kalsium dan fosfor yang hilang akan sangat banyak, maka pertumbuhan tulang dan perkembangan tubuh manusia akan terhambat.

Untuk itu, anak yang dalam masa pertumbuhan selain harus diperhatikan jumlah konsumsi vetsinnya, yaitu setiap hari tidak boleh lebih dari 5 gram. Juga harus mencegah mereka makan dan minum terlalu banyak, khususnya dalam mengkonsumsi masakan yang enak. [chinesefood.net/ebr/www.hidayatullah.com]

Sumber: Hidayatullah.com

07 May, 2008

MUI tak Benarkan Kekerasan terhadap Ahmadiyah

Rabu, 07 Mei 2008 19:36:00

Jakarta-RoL -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyeru masyarakat, khususnya kaum muslim, supaya tidak melakukan kekerasan dalam bentuk apa pun terhadap anggota Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI).

"Kami selalu menyatakan kepada publik baik secara lisan maupun tertulis bahwa MUI sama sekali tidak membenarkan tindak kekerasan dilakukan terhadap jemaah Ahmadiyah," kata Amidhan, salah satu Ketua MUI, di Jakarta, Rabu (7/5).

MUI, kata dia, berpegang pada dalil Alquran dan Hadis Nabi yang menyatakan bahwa siapa saja yang menganiaya atau membunuh seseorang yang tidak berdosa tanpa alasan maka ia telah membunuh manusia seluruhnya.

Bahkan, ia melanjutkan, ada sebuah hadis yang menyatakan bahwa dalam keadaan perang sekalipun tidak diperbolehkan merusak atau membakar tempat ibadah umat agama lain dan menganiaya atau membunuh perempuan, anak dan penduduk lanjut usia.

"Berdasarkan dalil tersebut maka kami menyatakan bahwa tidak boleh ada kekerasan atau tindakan anarkis yang dilakukan atas nama agama," katanya.

Ia juga menyesalkan, akhir-akhir ini ada pihak tertentu yang melakukan tindak kekerasan dan mengaitkannya dengan fatwa MUI tentang kesesatan jemaah Ahmadiyah.

"Padahal fatwa MUI adalah satu hal, dan tindak kekerasan adalah hal yang lain," katanya.

Ia mencontohkan, dalam kasus perusakan aset jemaah Ahmadiyah di Sukabumi, Jawa Barat pada 28 April 2008 ada pihak tertentu yang menuding bahwa hal itu terkait dengan fatwa MUI.

Untuk menjernihkan masalah itu, kata dia, MUI kemudian membentuk Tim Pencari Fakta dan menurunkannya ke lokasi kejadian untuk mengumpulkan data dan fakta tentang peristiwa tersebut.

"Kami tidak membenarkan kejadian itu dan kami ikut mencari aktor intelektual di balik kejadian itu dengan menurunkan Tim Pencari Fakta yang diketuai pak Achmad Cholil Ridwan," kata Amidhan.

Pihaknya, kata Amidhan, juga meminta aparat yang berwajib untuk memeriksa kasus itu dengan sungguh-sungguh dan menyampaikan hasilnya kepada masyarakat.

"Kepada yang terbukti melanggar, hukum juga harus ditegakkan supaya tidak ada individu atau pihak tertentu yang berusaha memanfaatkan peluang untuk menyusup dan melakukan provokasi yang memicu kerusuhan," katanya.

Kejadian di Parakan Salak

Pada 28 April 2008, masjid dan madrasah Al Furqon milik jemaah Ahmadiyah di Kampung Parakan Salak RT 02/RW 02, Desa/Kecamatan Parakan Salak, Kabupaten Sukabumi dirusak sekelompok warga yang diduga datang dari Kecamatan Cicurug, Cibadak, dan Parung Kuda.

Akibatnya, bangunan masjid berukuran sekitar 7X8 meter milik jemaah Ahmadiyah yang selama kekacauan terbakar tinggal dinding-dinding tembok yang runtuh pada beberapa bagian dan tidak lagi beratap. Jendela bangunan madrasahnya juga banyak yang pecah karena dilempari batu oleh massa yang marah.

Kejadian itu menimbulkan ketegangan antara jemaah Ahmadiyah dan masyarakat muslim sehingga MUI menurunkan Tim Pencari Fakta untuk mengetahui detil kejadian yang sebenarnya.

"Selama seharian kami menemui banyak pihak, termasuk aparat kepolisian, masyarakat setempat dan kalangan pesantren untuk mencari tahu kejadian yang sebenarnya," kata Ketua Tim Pencari Fakta MUI Achmad Cholil Ridwan.

Menurut data dan fakta yang dikumpulkan, Achmad menjelaskan, sebelum peristiwa itu terjadi, di Masjid At-Taqwa yang letaknya tidak jauh dari pemukiman komunitas Ahmadiyah di Parakan Salak, Forum Komunikasi Jamiatul Mubalighin (FKJM) melakukan istigotsah dan melalui Muspika setempat menyerahkan surat pernyataan sikap kepada jemaah Ahmadiyah.

Surat itu antara lain berisi permintaan kepada jemaah Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatan dan menurunkan papan nama dengan tulisan Ahmadiyah, meminta jemaah Ahmadiyah menutup tempat peribadatannya dan melakukan ibadah bersama dengan umat Islam yang lain.

"Dalam surat itu juga disebutkan, 'jika dalam waktu dua hari surat itu tidak diindahkan maka kami tidak bertanggungjawab bila sesuatu terjadi'," kata Achmad.

Surat itu, kata dia, selanjutnya diserahkan kepada pimpinan jemaah Ahmadiyah dan jawabannya diserahkan kepada aparat berwenang namun tidak disampaikan kepada FKJM karena dikhawatirkan dapat memicu konflik.

"Menurut Kapolsek, isinya, jemaah Ahmadiyah tidak bisa memenuhi permintaan tersebut sampai waktu yang tidak ditentukan," katanya.

Meski surat itu tidak diserahkan kepada FKJM, namun ia melanjutkan, warga setempat menyaksikan pada pukul 23.00 WIB-24.00 WIB massa yang diangkut dengan satu hingga dua truk melewati jalanan menuju Parakan Salak.

Sebanyak 10 aparat kepolisian yang berjaga di beberapa lokasi untuk mengantisipasi terjadinya kekacauan tidak mampu membendung massa sehingga kemudian mereka masuk dan melakukan perusakan, kata Achmad.

"Tetapi tidak ada yang tahu secara pasti dari mana dan siapa massa yang datang itu. Ketua FKJM pun menyatakan tidak mengenali orang-orang tersebut," demikian Achmad Cholil Ridwan. antara/is

Sumber: Republika.com

Dosen IAIN Buktikan Nilai Unversal Islam di Australia

Rabu, 07 Mei 2008 20:04:00

Brisbane-RoL-- Dosen IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi, Fridiyanto, mengatakan, ia membuktikan kebenaran dari apa yang pernah dikatakan mantan Mufti Besar Mesir, Muhammad Abduh (1849-1905), tentang kehadiran nilai-nilai universal Islam di dunia Barat dalam kunjungannya ke Australia.

"Apa yang pernah dikatakan Muhammad Abduh bahwa dia tidak menemukan Islam di negara-negara Islam tapi justru menemukannya di negara-negara Eropa kini saya alami di Australia. Saya juga menemukan Islam hadir di Australia," katanya kepada antara yang menghubunginya dari Brisbane, Selasa malam.

Fridiyanto yang juga kepala peneliti di Yayasan GURU Jambi itu adalah salah satu dari tiga tokoh muda Muslim Indonesia yang mengikuti program Pertukaran Pemimpin Muslim Australia-Indonesia (AIME). Saat diwawancarai, dia dan kedua orang rekannya sesama peserta AIME sedang berada di Canberra.

Fridiyanto mengatakan, tertib berlalu lintas, mematuhi hukum, toleran, menghormati pejalan kaki, serta ketertiban dan kebersihan kota adalah beberapa nilai-nilai dalam ajaran Islam yang justru kental kehadirannya di dua kota yang telah dikunjunginya dalam rangka program AIME, yakni Melbourne dan Canberra.

Ia mengatakan, mengalami sendiri keindahan berlalu lintas yang tertib dan taat hukum itu ketika Koordinator Program AIME Canberra, Dr.Teddy Mantoro mengantarkan para peserta AIME untuk bertemu berbagai pihak dengan mobilnya. Teddy berusaha mencari tempat parkir yang sesuai dengan aturan sekalipun tidak mudah.

"Sebenarnya yang diinginkan Islam adalah terbangunnya masyarakat yang menyadari dan menghormati hukum seperti di Australia ini," kata dosen pendidikan bahasa Inggris dan agama Islam di IAIN Jambi itu.

Fridiyanto lebih lanjut mengatakan, ia pun menemukan keberhasilan internalisasi nilai-nilai Islam di ISIK College, sebuah lembaga pendidikan Islam yang sempat dikunjunginya bersama dua peserta AIME di Melbourne.

"Di sekolah itu, internalisasi nilai-nilai Islam sudah baik sekali. Kepala sekolahnya mewajibkan para guru untuk mempraktikkan nilai-nilai Islami. Nah kelemahan pendidikan kita di Indonesia justru pada internalisasi nilai-nilai ini karena kita cenderung hanya mempelajari saja isi kitab (buku) tapi tidak diamalkan," katanya.

Apa yang dikatakan Fridiyanto bahwa nilai-nilai universal Islam justru hadir di negara-negara Barat yang maju juga pernah diungkapkan Intelektual Muslim Indonesia, Dr.Eggi Sudjana,SH,MSi. Dalam konteks sistem, Eggi menilai Australia justru lebih Islami dari Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim karena keadilan, kebersihan, kemakmuran dan kedamaian justru hadir di negara benua itu.

"Dalam konteks sistem, Australia tampak sekali Islaminya. Artinya Islam secara fungsional terjadi di negara yang berpenduduk mayoritas bukan Muslim ini, sedangkan di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, nilai-nilai Islami justru tidak tampak," katanya kepada antara seusai berceramah tentang "Islam Fungsional" di forum pengajian bulanan Perhimpunan Masyarakat Muslim Indonesia di Brisbane (IISB) Februari lalu.

Intelektual yang juga pelopor perjuangan buruh Muslim, politisi, peneliti, dan pengacara itu mengatakan, Australia berhasil mengfungsionalisasikan nilai-nilai Islami ke dalam sistem kehidupannya adalah satu kenyataan sehingga para penganggur sekalipun diberikan jaminan sosial di Australia.

Di Indonesia, kehidupan sebagian besar rakyatnya justru susah, angka pengangguran dan kriminalitas tinggi, pendidikan bermutu belum berpihak kepada rakyat kecil, dan bahkan penerapan upah minimum regional bagi para buruh pun berbeda-beda di setiap daerah padahal harga minyak sama dimana-mana, katanya.

Kondisi demikian tidak terjadi di Australia. Dalam kondisi kehidupan yang semakin berat di Indonesia itu, aksi perampokan dan pencurian semakin tampak biasa di negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia itu. Kondisi demikian tidak dapat dilepaskan dari tanggungjawab pemerintah, katanya.

Selain Fridiyanto, dua orang tokoh muda Muslim Indonesia lain yang ikut dalam program AIME gelombang kedua tahun 2008 itu adalah Ayi Yunus Rusyana asal Bandung (Jawa Barat), dan Amika Wardana (Yogyakarta).

Ayi Yunus Rusyana adalah dosen hukum Islam di IAIN Sunan Gunung Djati serta Sekretaris Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Jawa Barat, sedangkan Amika Wardana adalah dosen sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta dan aktivis Muhammadiyah di kota itu. antara/mim

Sumber: Republika.com

Penelitian: ASI Meningkatkan IQ Anak

Rabu, 07 Mei 2008

Peneliti Universitas McGill menemukan bahwa bayi yang mendapat ASI memiliki hasil lebih baik pada tes IQ. Al-Quran telah memerintahkan Ibu menyusui ASI cukup lama

Hidayatullah.com--Pemerintah Inggris menyarankan ibu menyusui anaknya sampai enam bulan Bukti baru diungkapkan oleh para ilmuwan bahwa bayi yang mendapat air susu ibu (ASI) ketika besar akan lebih cerdas dari bayi yang diberikan susu formula.

Tim peneliti di Universitas McGill, Kanada, menemukan bahwa bayi yang mendapat ASI memiliki hasil lebih baik pada tes IQ pada usia enam tahun.

Tetapi para peneliti tidak yakin apakah hal itu disebabkan oleh air susu ibu itu sendiri atau dari kedekatan hubungan ibu dengan bayinya ketika menyusui.

Penelitian terhadap hampir 14.000 anak ini adalah yang terbaru dari serangkaian laporan yang menemukan kaitan positif ASI dan kecerdasan.

Tetapi, satu masalah yang dihadapi adalah sebagian penelitian kesulitan dalam menemukan apakah hasil itu terkait dengan kebiasaan menyusui di kalangan ibu dari keluarga yang lebih makmur dan apakah keadaan sebuah keluarga menjadi faktor sebenarnya yang menentukan pembentukan kecerdasan anak.

Namun studi terbaru ini memasukkan faktor tadi dengan mengikuti perkembangan anak-anak yang lahir sejumlah rumah sakit di Belarus, yang meluncurkan kampanye ASI.

Mereka menemukan bayi-bayi yang diberi ASI saja selama tiga bulan pertama - banyak diantaranya juga mendapat ASI sampai 12 bulan - mencapai angka rata-rata 5,9 [lebhi tinggi] dalam tes IQ.

Para guru juga menilai anak-anak itu memiliki kemampuan akademik lebih tinggi dalam membaca dan menulis, dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mendapat ASI, menurut laporan Archives of General Psychiatry.

Kepala penelitian itu Profesor Michael Kramer mengatakan, "Memberi ASI secara eksklusif dalam jangka panjang tampaknya mempertajam pengembangan daya pikir anak."

Tetapi dia menambahkan: "Meski perbedaan itu terlihat, masih belum jelas apakah keuntungan yang kami amati dari ASI itu disebabkan oleh zat yang terdapat di dalam air susu ibu atau terkait dengan kedekatan hubungan fisik dan sosial antara ibu dan bayi dalam proses menyusui."

Kecerdasan

Kandungan asam lemak (fatty acid) di dalam ASI diduga meningkatkan kecerdasan, tetapi laporan itu mengatakan aspek kedekatan fisik dan batin dalam proses menyusui mungkin mendorong perubahan permanen pada otak bayi yang sedang berkembang.

Para peneliti juga mengatakan menyusui bayi mungkin meningkatkan interaksi dengan kata-kata dari ibu ke anak, yang bisa membantu pengembangan kemampuan otak bayi.

Namun Profesor Kramer mengatakan pemberian ASI harus terus digiatkan.

Di Inggris, pemerintah merekomendasikan ibu untuk menyusui bayinya selama enam bulan pertama.

Tetapi penelitian itu memperlihatkan meski tiga perempat ibu pada awalnya memberikan ASI kepada bayinya, hanya satu dari empat ibu yang tetapi memberi ASI hingga enam bulan.

Rosie Dodds, dari organisasi kesehatan anak dan bayi, National Childbirth Trust, mengatakan, "Penelitian ini sudah jelas menambah bukti positif dari air susu ibu."

"Dan menurut saya, yang dibutuhkan sekarang adalah upaya lebih besar untuk mendukungnya."

Sebelumnya, Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) tahun 1990 di mana pasal 6 dan pasal 24 pernah menetapkan upaya pemberian makanan yang terbaik terhadap anak, termasuk susu.

Sementara WHO, peneliti dan pegiat HAM baru mengusulkan dan mendesak memberikan ASI kepada anak, Islam telah menyatakan ini lebih dari 1400 tahun. Setidaknya ini tertulis dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah: 233 yang berbunyi, "Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf….” [cha, berbagai sumber

Sumber: hidayatullah.com

Lihat juga: BBC News - Breastfeeding 'helps to boost IQ'

05 May, 2008

Para Guru di Inggris Menuntut Pekerjaan Rumah (PR) Dihapus

Para guru menuntut agar PR untuk anak SD dihilangkan.

Sebuah usulan dari Asosiasi Guru dan Dosen minta dibentuk sebuah Komisi Kerajaan (Royal Commission) untuk mencaritahu alasan kenapa anak begitu tidak bahagia di sekolah pada zaman ini.

Ketua asosiasi guru, Dr. Mary Bousted, mengatakan anak dari keluarga yang kurang mampu mengalami kesulitan untuk menyelesaikan PR dan hal itu menjadi lingkaran setan bagi mereka.

Kata pemerintah, PR tidak wajib, tetapi dianjurkan saja sebagai bagian dari proses pelajaran sekolah. Dalam petunjuknya, dianjurkan 1 jam perminggu untuk anak berumur 5 tahun, meningkat secara bertahap sampai mencapai 90-150 minit per hari untuk anak pada umur 16 tahun. Anak dari umur 10-11 sebaiknya mengerjakan 30 minit per hari, katanya.

Tetapi riset baru meragukan efektivitas dari PR, dan malah mengatakan bertentangan dengan tujuannya. Sebagian sekolah swasta sudah hilangkan PR sama sekali.

Sia-sia

Dr. Bousted mengatakan bahwa di dalam sekolah negeri, semua orang menganggap bahwa PR itu harus dikerjakan (dan oleh karena itu, diadakan). “Tetapi saya kira banyak dari PR itu hanya sia-sia saja. Guru harus memberikannya, jadi dia memberikan PR yang asal “menyibukkan” anak,” katanya.

Tetapi anak dari keluarga kurang mampu tidak punya fasilitas dan tidak dapat dukungan yang didapatkan oleh anak dari keluarga yang lebih mampu, dan ini menjadi lingkaran setan karena anak itu kena masalah di sekolah bila PR tidak diselesaikan.

Usulan dari para guru juga mengatakan bahwa banyak anak tampak “tidak bahagia dan cemas” sekarang ini.

“Anak seharusnya boleh berfikir bebas, bereksperimen dan menikmati proses belajarnya tanpa merasakan tekanan,” katanya. “PR telah menjadi suatu tekanan yang dibebankan kepada anak SD, dan juga anak SMP-SMA.

Usulan dari para guru itu minta para menteri “menghapuskan PR yang wajib bagi anak SD, dan membatasi jumlah/waktunya bagi anak pada tingkat SMA.”

Seorang juru bicara dari Department for Children, Schools and Families mengatakan bahwa PR memang tidak wajib, tetapi guru dianjurkan memberikan PR kepada semua anak.

Pemerintah juga punya rencana baru, disebut Children's Plan for England yang dibentuk karena ada survei dari para orang tua yang mengatakan mereka punya kesan ada suatu masalah yang sangat mendasar dengan keadaan para anak di zaman modern ini.

Read the full article here:

Teachers call for ban on homework

Story from BBC NEWS:

Published: 2008/03/10 15:07:18 GMT
© BBC MMVIII

Pornografi paling utama di HP remaja Saudi

Sebanyak 70% dari file yang ditukar antara anak muda di Saudi adalah file pornografi, menurut sebuah studi baru. Studi tersebut, yang dikutip di Arab News, berfokus pada HP yang diambil dari remaja yang ditahan polisi dengan tuduhan menganggu perempuan.

Kata periset, 88% dari remaja perempuan mengaku telah diganggu orang lain dengan menggunakan fasilitas Bluetooth di HP.

Kartu memori yang diambil dari HP para remaja menunjukkan bahwa 69,7% dari 1,470 file di dalamnya berisi gambar pronografi, dan 8,6% berkaitan dengan kekerasan, kata penulis laporan Profesor Abdullah al-Rasheed.

**************

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Kalau ini keadaan di Saudi, bagaimana di sini? Di Saudi ada “polisi moralitas”. Bagaimana keadaannya dengan anak remaja di Indonesia? Apakah sama, lebih baik, atau lebih parah?

Di sini, banyak anak punya HP tapi tidak diperiksa oleh orang tuanya. Bisa saja ada isi yang berupa gambar pornografi yang diambil dari internet, disimpan di HP dan dibawa ke sekolah.

Apakah ada orang tua atau guru yang pernah tahu tentang kasus di sekolah yang melibatkan anak remaja dan HPnya berisi gambar pornografi?

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

Read the full story here:

Porn dominates Saudi mobile use

Story from BBC NEWS:
Published: 2007/04/25 13:09:51 GMT
© BBC MMVIII

02 May, 2008

Ahli Fikih Himbau Pengecam MUI untuk Tahu Diri

Jumat, 02 Mei 2008

Kalangan ahli fikih (hukum Islam) meminta tokoh Islam dan pengecam fatwa MUI harus tahu diri. “Mohon tahu dirilah kalau bukan bidangnya,” ujar Prof Dr. Huzaemah

Hidayatullah.com—Kalangan ahli fikih dan hukum Islam beramai-ramai meminta para intelektual untuk lebih tahu diri terhadap segala komentar dan pernyataannya menyangkut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap Ahmadiyah.

Seruan kalangan ahli fikih dan hukum Islam ini datang dari Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Prof Dr Huzaemah Tahido Yanggo, pakar hukum syariah dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr Muinudinillah, MA serta ahli fikih Dr. Zain an-Najah.

Ketika dihubungi oleh www.hidayatullah.com secara terpisah, mereka meminta agar kalangan intelektual dan tokoh Islam yang tak mengerti lebih jauh tentang hukum Islam untuk tak memberikan pernyataan, ucapan atau statemen yang membingungkan masyarakat, apalagi mengecam fatwa MUI menyangkut Ahmadiyah.

Prof Dr Huzaemah yang juga Ketua MUI bidang Komisi Remaja dan Perempuan kepada www.hidayatullah.com mengatakan, beberapa hari ini dirinya merasa sedih melihat media massa dan TV memuat pernyataan tokoh yang disebut intelektual dan bahkan tokoh-tokoh Islam menyangkut keputusan fatwa MUI tentang Ahmadiyah.

“Masyarakat harus tahu siapa-siapa yang berkomentar itu. Dan saya meminta, yang tak paham hukum Islam jangan bicara seenaknya,” ujarnya.

Menurut ahli fikih lulusan Universitas Al-Azhar Mesir ini, dalam prinsip hukum Islam, setelah Al-Quran dan Al-Hadits, sandaran hukum berikutnya adalah ijma’ ulama. Sebab 'Al ulama-u waratsatu al anbiya' (ulama adalah pewaris para Nabi), katanya.

“Kalau tidak kepada ulama, kita akan bertanya kepada siapa lagi menyangkut masalah berkaitan dengan hukum Islam ini,” ujarnya. Karena itu, tambah Huzaimah, apa yang telah dilakukan oleh MUI dalam kasus fatwa tentang Ahmadiyah adalah sudah benar.

Hal senada juga diungkapkan oleh Muinudinillah. Pakar hukum Syariah lulusan Riyad ini mengatakan, jika ada perdebatan terhadap suatu masalah dalam masyarakat, maka, yang harus dijadikan sandaran adalah orang-orang yang lebih ahli. Baginya, sangat tidak sopan jika orang-orang diluar ahli, khususnya masalah yang berkaitan dengan hukum Islam tiba-tiba memberikan pernyataan seenaknya.

“Jika saya ditanya masalah ilmu sejarah atau soal yang tak ada kaitannya dengan hukum Islam saya juga akan tahu diri, “ tambahnya.

Direktur Pascasarjana Studi Islam UMS ini mengatakan, selama ini, para intelekual membela Ahmadiyah dengan alasan mereka ‘dizolimi’. “Lantas bagaimana dengan sikap Ahmadiyah yang “mendzolimi” akidah Islam soal kenabian Muhammad?” tambahnya.

Lebih jauh, Muinudinillah mempertanyakan sikap tokoh-tokoh Islam yang justru mengecam fatwa MUI. “Seharusnya mereka itu ber wala’ (loyalitas) kepada Islam. Mengapa justru sebaliknya?”.

Sebagaimana diketahui, menyusul pernyataan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) yang menyatakan aliran Ahmadiyah menyimpang dari ajaran Islam dan harus dihentikan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) ikut dituduh menjadi penyebab utama terjadinya aksi kekerasan.

Yang cukup mengagetkan, komentar dan pernyataan yang bernada serangan justru datang dari tokoh-tokoh Islam yang sesungguhnya tak punya latar belakang hukum Islam. Termasuk diantaranya Adnan Buyung Nasution dan Prof. Dr. Ahmad Syafii Ma’arif yang lebih dikenal pengamat sejarah.

Pelecehan Ulama

Menyangkut kecaman-kecaman terhadap fatwa MUI terhadap Ahmadiyah, Adian Husaini dari Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) mengatakan, sudah tepat jika MUI mengeluarkan soal fatwa keagamaan dalam Islam. Lain halnya jika MUI mengeluarkan fatwa diluar bidangnya.

“Sudah benar jika MUI mengeluarkan fatwa. Apalagi masalah Ahmadiyah. Masa MUI mengeluarkan resep. Itu kan tugas dokter, “ jawabnya pandek.

Hal serupa juga dinyatakan Dr. Ahmad Zain An Najah. Mantan Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, PCIM Kairo Mesir ini mengatakan, fatwa itu adalah hak ulama, bukan perorangan. Dan yang mengerti urusan fatwa adalah mereka-mereka yang tahu dan mengerti secara baik hukum Islam. Karenanya, jika ada orang meskipun dikenal tokoh Islam, tapi bukan berlatar belakang hukum Islam atau fikih, mereka tak memiliki hak. Anehnya, menurut Zain, setiap ada fatwa MUI, semua media massa termasuk TV justru meminta komentar tokoh-tokoh yang tak ahli dalam hukum Islam.

“Nah, seharusnya media massa dan televisi mengerti. Ke mana seharusnya masalah fatwa ini ditanyakan. Tapi, kok, orang-orang yang tak paham hukum Islam diminta pendapat dan terus-menerus mendapatkan tempat. Ada apa ini?, “ujarnya.

Pria asal Klaten yang meraih predikat summa cumlaude dengan disertasi Al-Qadhi Husain wa Atsaruhu Al-Fiqhiyah ini cukup heran dengan kondisi di Indonesia.

Sekedar membandingkan, belum ada dalam sejarahnya fatwa ulama dikecam apalagi dilecehkan orang-orang awam dan bukan ahli dibidangnya kecuali di Indonesia. Ia mencontohkan, dalam kasus semua fatwa yang dikeluarkan Darul Ifta’ al-Mishriyyah (Lembaga Fatwa Mesir) atau Majma'ul Buhuts al-Islamiyyah di Al-Azhar, tak pernah masyarakat bahkan pihak pemerintah mempertanyakan atau mengotak-atik nya.

“Umumnya, semua masarakat Mesir paham dan menghormati, bahkan termasuk pihak pemerintah,” tambahnya. Berbeda dengan dengan di Indonesia di mana fatwa ulama ‘dilecehkan’ orang yang tak paham hukum Islam. [cha, berbagai sumber/ www.hidayatullah.com]

Sumber: Hidayatullah.com

01 May, 2008

Unraveling Iraq: Twelve Answers to Questions No One Is Bothering to Ask About Iraq

Maaf, terlalu panjang untuk membuat terjemahan. (Buat yang bisa bahasa Inggris saja) -Gene-

Go to Original

Unraveling Iraq: Twelve Answers to Questions No One Is Bothering to Ask About Iraq

By Tom Engelhardt, TomDispatch.com

Sunday 20 April 2008

Can there be any question that, since the invasion of 2003, Iraq has been unraveling? And here's the curious thing: Despite a lack of decent information and analysis on crucial aspects of the Iraqi catastrophe, despite the way much of the Iraq story fell off newspaper front pages and out of the TV news in the last year, despite so many reports on the "success" of the President's surge strategy, Americans sense this perfectly well. In the latest Washington Post/ABC News poll, 56% of Americans "say the United States should withdraw its military forces to avoid further casualties" and this has, as the Post notes, been a majority position since January 2007, the month that the surge was first announced. Imagine what might happen if the American public knew more about the actual state of affairs in Iraq - and of thinking in Washington. So, here, in an attempt to unravel the situation in ever-unraveling Iraq are twelve answers to questions which should be asked far more often in this country:

1. Yes, the war has morphed into the U.S. military's worst Iraq nightmare: Few now remember, but before George W. Bush launched the invasion of Iraq in March 2003, top administration and Pentagon officials had a single overriding nightmare - not chemical, but urban, warfare. Saddam Hussein, they feared, would lure American forces into "Fortress Baghdad," as Secretary of Defense Donald Rumsfeld labeled it. There, they would find themselves fighting block by block, especially in the warren of streets that make up the Iraqi capital's poorest districts.

When American forces actually entered Baghdad in early April 2003, however, even Saddam's vaunted Republican Guard units had put away their weapons and gone home. It took five years but, as of now, American troops are indeed fighting in the warren of streets in Sadr City, the Shiite slum of two and a half million in eastern Baghdad largely controlled by Muqtada al-Sadr's Mahdi Army militia. The U.S. military, in fact, recently experienced its worst week of 2008 in terms of casualties, mainly in and around Baghdad. So, mission accomplished - the worst fear of 2003 has now been realized.

2. No, there was never an exit strategy from Iraq because the Bush administration never intended to leave - and still doesn't: Critics of the war have regularly gone after the Bush administration for its lack of planning, including its lack of an "exit strategy." In this, they miss the point. The Bush administration arrived in Iraq with four mega-bases on the drawing boards. These were meant to undergird a future American garrisoning of that country and were to house at least 30,000 American troops, as well as U.S. air power, for the indefinite future. The term used for such places wasn't "permanent base," but the more charming and euphemistic "enduring camp." (In fact, as we learned recently, the Bush administration refuses to define any American base on foreign soil anywhere on the planet, including ones in Japan for over 60 years, as permanent.) Those four monster bases in Iraq (and many others) were soon being built at the cost of multibillions and are, even today, being significantly upgraded. In October 2007, for instance, National Public Radio's defense correspondent Guy Raz visited Balad Air Base, north of Baghdad, which houses about 40,000 American troops, contractors, and Defense Department civilian employees, and described it as "one giant construction project, with new roads, sidewalks, and structures going up across this 16-square-mile fortress in the center of Iraq, all with an eye toward the next few decades."

These mega-bases, like "Camp Cupcake" (al-Asad Air Base), nicknamed for its amenities, are small town-sized with massive facilities, including PXs, fast-food outlets, and the latest in communications. They have largely been ignored by the American media and so have played no part in the debate about Iraq in this country, but they are the most striking on-the-ground evidence of the plans of an administration that simply never expected to leave. To this day, despite the endless talk about drawdowns and withdrawals, that hasn't changed. In fact, the latest news about secret negotiations for a future Status of Forces Agreement on the American presence in that country indicates that U.S. officials are calling for "an open-ended military presence" and "no limits on numbers of U.S. forces, the weapons they are able to deploy, their legal status or powers over Iraqi citizens, going far beyond long-term U.S. security agreements with other countries."

3. Yes, the United States is still occupying Iraq (just not particularly effectively): In June 2004, the Coalition Provisional Authority (CPA), then ruling the country, officially turned over "sovereignty" to an Iraqi government largely housed in the American-controlled Green Zone in Baghdad and the occupation officially ended. However, the day before the head of the CPA, L. Paul Bremer III, slipped out of the country without fanfare, he signed, among other degrees, Order 17, which became (and, remarkably enough, remains) the law of the land. It is still a document worth reading as it essentially granted to all occupying forces and allied private companies what, in the era of colonialism, used to be called "extraterritoriality" - the freedom not to be in any way subject to Iraqi law or jurisdiction, ever. And so the occupation ended without ever actually ending. With 160,000 troops still in Iraq, not to speak of an unknown number of hired guns and private security contractors, the U.S. continues to occupy the country, whatever the legalities might be (including a UN mandate and the claim that we are part of a "coalition"). The only catch is this: As of now, the U.S. is simply the most technologically sophisticated and potentially destructive of Iraq's proliferating militias - and outside the fortified Green Zone in Baghdad, it is capable of controlling only the ground that its troops actually occupy at any moment.

4. Yes, the war was about oil: Oil was hardly mentioned in the mainstream media or by the administration before the invasion was launched. The President, when he spoke of Iraq's vast petroleum reserves at all, piously referred to them as the sacred "patrimony of the people of Iraq." But an administration of former energy execs - with a National Security Advisor who once sat on the board of Chevron and had a double-hulled oil tanker, the Condoleezza Rice, named after her (until she took office), and a Vice President who was especially aware of the globe's potentially limited energy supplies - certainly had oil reserves and energy flows on the brain. They knew, in Deputy Secretary of Defense Paul Wolfowitz's apt phrase, that Iraq was afloat on "a sea of oil" and that it sat strategically in the midst of the oil heartlands of the planet.

It wasn't a mistake that, in 2001, Vice President Dick Cheney's semi-secret Energy Task Force set itself the "task" of opening up the energy sectors of various Middle Eastern countries to "foreign investment"; or that it scrutinized "a detailed map of Iraq's oil fields, together with the (non-American) oil companies scheduled to develop them"; or that, according to the New Yorker's Jane Mayer, the National Security Council directed its staff "to cooperate fully with the Energy Task Force as it considered the 'melding' of two seemingly unrelated areas of policy: 'the review of operational policies towards rogue states,' such as Iraq, and 'actions regarding the capture of new and existing oil and gas fields'"; or that the only American troops ordered to guard buildings in Iraq, after Baghdad fell, were sent to the Oil Ministry (and the Interior Ministry, which housed Saddam Hussein's dreaded secret police); or that the first "reconstruction" contract was issued to Cheney's former firm, Halliburton, for "emergency repairs" to those patrimonial oil fields. Once in charge in Baghdad, as sociologist Michael Schwartz has made clear, the administration immediately began guiding recalcitrant Iraqis toward denationalizing and opening up their oil industry, as well as bringing in the big boys.

Though rampant insecurity has kept the Western oil giants on the sidelines, the American-shaped "Iraqi" oil law quickly became a "benchmark" of "progress" in Washington and remains a constant source of prodding and advice from American officials in Baghdad. Former Federal Reserve chief Alan Greenspan put the oil matter simply and straightforwardly in his memoir in 2007: "I am saddened," he wrote, "that it is politically inconvenient to acknowledge what everyone knows: the Iraq war is largely about oil." In other words, in a variation on the old Bill Clinton campaign mantra: It's the oil, stupid. Greenspan was, unsurprisingly, roundly assaulted for the obvious naiveté of his statement, from which, when it proved inconvenient, he quickly retreated. But if this administration hadn't had oil on the brain in 2002-2003, given the importance of Iraq's reserves, Congress should have impeached the President and Vice President for that.

5. No, our new embassy in Baghdad is not an "embassy": When, for more than three-quarters of a billion dollars, you construct a complex - regularly described as "Vatican-sized" - of at least 20 "blast-resistant" buildings on 104 acres of prime Baghdadi real estate, with "fortified working space" and a staff of at least 1,000 (plus several thousand guards, cooks, and general factotums), when you deeply embunker it, equip it with its own electricity and water systems, its own anti-missile defense system, its own PX, and its own indoor and outdoor basketball courts, volleyball court, and indoor Olympic-size swimming pool, among other things, you haven't built an "embassy" at all. What you've constructed in the heart of the heart of another country is more than a citadel, even if it falls short of a city-state. It is, at a minimum, a monument to Bush administration dreams of domination in Iraq and in what its adherents once liked to call "the Greater Middle East."

Just about ready to open, after the normal construction mishaps in Iraq, it will constitute the living definition of diplomatic overkill. It will, according to a Senate estimate, now cost Americans $1.2 billion a year just to be "represented" in Iraq. The "embassy" is, in fact, the largest headquarters on the planet for the running of an occupation. Functionally, it is also another well-fortified enduring camp with the amenities of home. Tell that to the Shiite militiamen now mortaring the Green Zone as if it were? enemy-occupied territory.

6. No, the Iraqi government is not a government: The government of Prime Minister Nouri al-Maliki has next to no presence in Iraq beyond the Green Zone; it delivers next to no services; it has next to no ability to spend its own oil money, reconstruct the country, or do much of anything else, and it most certainly does not hold a monopoly on the instruments of violence. It has no control over the provinces of northern Iraq which operate as a near-independent Kurdish state. Non-Kurdish Iraqi troops are not even allowed on its territory. Maliki's government cannot control the largely Sunni provinces of the country, where its officials are regularly termed "the Iranians" (a reference to the heavily Shiite government's closeness to neighboring Iran) and are considered the equivalent of representatives of a foreign occupying power; and it does not control the Shiite south, where power is fragmented among the militias of ISCI (the Badr Organization), Muqtada al-Sadr's Mahdi Army, and the armed adherents of the Fadila Party, a Sadrist offshoot, among others.

In Afghanistan, President Hamid Karzai has been derisively nicknamed "the mayor of Kabul" for his government's lack of control over much territory outside the national capital. It would be a step forward for Maliki if he were nicknamed "the mayor of Baghdad." Right now, his troops, heavily backed by American forces, are fighting for some modest control over Shiite cities (or parts of cities) from Basra to Baghdad.

7. No, the surge is not over: Two weeks ago, amid much hoopla, General David Petraeus and Ambassador Ryan Crocker spent two days before Congress discussing the President's surge strategy in Iraq and whether it has been a "success." But that surge - the ground one in which an extra 30,000-plus American troops were siphoned into Baghdad and, to a lesser extent, adjoining provinces - was by then already so over. In fact, all but about 10,000 of those troops will be home by the end of July, not because the President has had any urge for a drawdown, but, as Fred Kaplan of Slate wrote recently, "because of simple math. The five extra combat brigades, which were deployed to Iraq with the surge, each have 15-month tours of duty; the 15 months will be up in July? and the U.S. Army and Marines have no combat brigades ready to replace them."

On the other hand, in all those days of yak, neither the general with so much more "martial bling" on his chest than any victorious World War II commander, nor the white-haired ambassador uttered a word about the surge that is ongoing - the air surge that began in mid-2007 and has yet to end. Explain it as you will, but, with rare exceptions, American reporters in Iraq generally don't look up or more of them would have noticed that the extra air units surged into that country and the region in the last year are now being brought to bear over Iraq's cities. Today, as fighting goes on in Sadr City, American helicopters and Hellfire-missile armed Predator drones reportedly circle overhead almost constantly and air strikes of various kinds on city neighborhoods are on the rise. Yet the air surge in Iraq remains unacknowledged here and so is not a subject for discussion, debate, or consideration when it comes to our future in Iraq.

8. No, the Iraqi army will never "stand up": It can't. It's not a national army. It's not that Iraqis can't fight - or fight bravely. Ask the Sunni insurgents. Ask the Mahdi Army militia of Muqtada al-Sadr. It's not that Iraqis are incapable of functioning in a national army. In the bitter Iran-Iraq War of 1980-88, Iraqi Shiite as well as Sunni conscripts, led by a largely Sunni officer corps, fought Iranian troops fiercely in battle after pitched battle. But from Fallujah in 2004 to today, Iraqi army (and police) units, wheeled into battle (often at the behest of the Americans), have regularly broken and run, or abandoned their posts, or gone over to the other side, or, at the very least, fought poorly. In the recent offensive launched by the Maliki government in Basra, military and police units up against a single resistant militia, the Mahdi Army, deserted in sizeable numbers, while other units, when not backed by the Americans, gave poor showings. At least 1,300 troops and police (including 37 senior police officers) were recently "fired" by Maliki for dereliction of duty, while two top commanders were removed as well.

Though American training began in 2004 and, by 2005, the President was regularly talking about us "standing down" as soon as the Iraqi Army "stood up," as Charles Hanley of the Associated Press points out, "Year by year, the goal of deploying a capable, free-standing Iraqi army has seemed to always slip further into the future." He adds, "In the latest shift, the Pentagon's new quarterly status report quietly drops any prediction of when local units will take over security responsibility for Iraq. Last year's reports had forecast a transition in 2008." According to Hanley, the chief American trainer of Iraqi forces, Lt. Gen. James Dubik, now estimates that the military will not be able to guard the country's borders effectively until 2018.

No wonder. The "Iraqi military" is not in any real sense a national military at all. Its troops generally lack heavy weaponry, and it has neither a real air force nor a real navy. Its command structures are integrated into the command structure of the U.S. military, while the U.S. Air Force and the U.S. Navy are the real Iraqi air force and navy. It is reliant on the U.S. military for much of its logistics and resupply, even after an investment of $22 billion by the American taxpayer. It represents a non-government, is riddled with recruits from Shiite militias (especially the Badr brigades), and is riven about who its enemy is (or enemies are) and why. It cannot be a "national" army because it has, in essence, nothing to stand up for.

You can count on one thing, as long as we are "training" and "advising" the Iraqi military, however many years down the line, you will read comments like this one from an American platoon sergeant, after an Iraqi front-line unit abandoned its positions in the ongoing battle for control of parts of Sadr City: "It bugs the hell out of me. We don't see any progress being made at all. We hear these guys in firefights. We know if we are not up there helping these guys out we are making very little progress."

9. No, the U.S. military does not stand between Iraq and fragmentation: The U.S. invasion and the Bush administration's initial occupation policies decisively smashed Iraq's fragile "national" sense of self. Since then, the Bush administration, a motor for chaos and fragmentation, has destroyed the national (if dictatorial) government, allowed the capital and much of the country (as well as its true patrimony of ancient historical objects and sites) to be looted, disbanded the Iraqi military, and deconstructed the national economy. Ever since, whatever the administration rhetoric, the U.S. has only presided over the further fragmentation of the country. Its military, in fact, employs a specific policy of urban fragmentation in which it regularly builds enormous concrete walls around neighborhoods, supposedly for "security" and "reconstruction," that actually cut them off from their social and economic surroundings. And, of course, Iraq has in these years been fragmented in other staggering ways with an estimated four-plus million Iraqis driven into exile abroad or turned into internal refugees.

According to Pepe Escobar of the Asia Times, there are now at least 28 different militias in the country. The longer the U.S. remains even somewhat in control, the greater the possibility of further fragmentation. Initially, the fragmentation was sectarian - into Kurdish, Sunni, and Shia regions, but each of those regions has its own potentially hostile parts and so its points of future conflict and further fragmentation. If the U.S. military spent the early years of its occupation fighting a Sunni insurgency in the name of a largely Shiite (and Kurdish) government, it is now fighting a Shiite militia, while paying and arming former Sunni insurgents, relabeled "Sons of Iraq." Iran is also clearly sending arms into a country that is, in any case, awash in weaponry. Without a real national government, Iraq has descended into a welter of militia-controlled neighborhoods, city states, and provincial or regional semi-governments. Despite all the talk of American-supported "reconciliation," Juan Cole described the present situation well at his Informed Comment blog: "Maybe the US in Iraq is not the little boy with his finger in the dike. Maybe we are workers with jackhammers instructed to make the hole in the dike much more huge."

10. No, the U.S. military does not stand between Iraq and civil war: As with fragmentation, the U.S. military's presence has, in fact, been a motor for civil war in that country. The invasion and subsequent chaos, as well as punitive acts against the Sunni minority, allowed Sunni extremists, some of whom took the name "al-Qaeda in Mesopotamia," to establish themselves as a force in the country for the first time. Later, U.S. military operations in both Sunni and Shiite areas regularly repressed local militias - almost the only forces capable of bringing some semblance of security to urban neighborhoods - opening the way for the most extreme members of the other community (Sunni suicide or car bombers and Shiite death squads) to attack. It's worth remembering that it was in the surge months of 2007, when all those extra American troops hit Baghdad neighborhoods, that many of the city's mixed or Sunni neighborhoods were most definitively "cleansed" by death squads, producing a 75-80% Shiite capital. Iraq is now embroiled in what Juan Cole has termed "three civil wars," two of which (in the south and the north) are largely beyond the reach of limited American ground forces and all of which could become far worse. The still low-level struggle between Kurds and Arabs (with the Turks hovering nearby) for the oil-rich city of Kirkuk in the north may be the true explosion point to come. The U.S. military sits precariously atop this mess, at best putting off to the future aspects of the present civil-war landscape, but more likely intensifying it.

11. No, al-Qaeda will not control Iraq if we leave (and neither will Iran): The latest figures tell the story. Of 658 suicide bombings globally in 2007 (more than double those of any year in the last quarter century), 542, according to the Washington Post's Robin Wright, took place in occupied Iraq or Afghanistan, mainly Iraq. In other words, the American occupation of that land has been a motor for acts of terrorism (as occupations will be). There was no al-Qaeda in Mesopotamia before the invasion and Iraq was no Afghanistan. The occupation under whatever name will continue to create "terrorists," no matter how many times the administration claims that "al-Qaeda" is on the run. With the departure of U.S. troops, it's clear that homegrown Sunni extremists (and the small number of foreign jihadis who work with them), already a minority of a minority, will more than meet their match in facing the Sunni mainstream. The Sunni Awakening Movement came into existence, in part, to deal with such self-destructive extremism (and its fantasies of a Taliban-style society) before the Americans even noticed that it was happening. When the Americans leave, "al-Qaeda" (and whatever other groups the Bush administration subsumes under that catch-all title) will undoubtedly lose much of their raison d'être or simply be crushed.

As for Iran, the moment the Bush administration finally agreed to a popular democratic vote in occupied Iraq, it ensured one thing - that the Shiite majority would take control, which in practice meant religio-political parties that, throughout the Saddam Hussein years, had generally been close to, or in exile in, Iran. Everything the Bush administration has done since has only ensured the growth of Iranian influence among Shiite groups. This is surely meant by the Iranians as, in part, a threat/trump card, should the Bush administration launch an attack on that country. After all, crucial U.S. resupply lines from Kuwait run through areas near Iran and would assumedly be relatively easy to disrupt.

Without the U.S. military in Iraq, there can be no question that the Iranians would have real influence over the Shiite (and probably Kurdish) parts of the country. But that influence would have its distinct limits. If Iran overplayed its hand even in a rump Shiite Iraq, it would soon enough find itself facing some version of the situation that now confronts the Americans. As Robert Dreyfuss wrote in the Nation recently, "[D]espite Iran's enormous influence in Iraq, most Iraqis - even most Iraqi Shiites - are not pro-Iran. On the contrary, underneath the ruling alliance in Baghdad, there is a fierce undercurrent of Arab nationalism in Iraq that opposes both the U.S. occupation and Iran's support for religious parties in Iraq." The al-Qaedan and Iranian "threats" are, at one and the same time, bogeymen used by the Bush administration to scare Americans who might favor withdrawal and, paradoxically, realities that a continued military presence only encourages.

12. Yes, some Americans were right about Iraq from the beginning (and not the pundits either): One of the strangest aspects of the recent fifth anniversary (as of every other anniversary) of the invasion of Iraq was the newspaper print space reserved for those Bush administration officials and other war supporters who were dead wrong in 2002-2003 on an endless host of Iraq-related topics. Many of them were given ample opportunity to offer their views on past failures, the "success" of the surge, future withdrawals or drawdowns, and the responsibilities of a future U.S. president in Iraq.

Noticeably missing were representatives of the group of Americans who happened to have been right from the get-go. In our country, of course, it often doesn't pay to be right. (It's seen as a sign of weakness or plain dumb luck.) I'm speaking, in this case, of the millions of people who poured into the streets to demonstrate against the coming invasion with an efflorescence of placards that said things too simpleminded (as endless pundits assured American news readers at the time) to take seriously - like "No Blood for Oil," "Don't Trade Lives for Oil," or ""How did USA's oil get under Iraq's sand?" At the time, it seemed clear to most reporters, commentators, and op-ed writers that these sign-carriers represented a crew of well-meaning know-nothings and the fact that their collective fears proved all too prescient still can't save them from that conclusion. So, in their very rightness, they were largely forgotten.

Now, as has been true for some time, a majority of Americans, another obvious bunch of know-nothings, are deluded enough to favor bringing all U.S. troops out of Iraq at a reasonable pace and relatively soon. (More than 60% of them also believe "that the conflict is not integral to the success of U.S. anti-terrorism efforts.") If, on the other hand, a poll were taken of pundits and the inside-the-Beltway intelligentsia (not to speak of the officials of the Bush administration), the number of them who would want a total withdrawal from Iraq (or even see that as a reasonable goal) would undoubtedly descend near the vanishing point. When it comes to American imperial interests, most of them know better, just as so many of them did before the war began. Even advisors to candidates who theoretically want out of Iraq are hinting that a full-scale withdrawal is hardly the proper way to go.

So let me ask you a question (and you answer it): Given all of the above, given the record thus far, who is likely to be right?

--------

Tom Engelhardt, who runs the Nation Institute's Tomdispatch.com, is the co-founder of the American Empire Project. His book, "The End of Victory Culture" (University of Massachusetts Press), has been updated in a newly issued edition that deals with victory culture's crash-and-burn sequel in Iraq.

Tomdispatch recommendations: For another numbered piece on Iraq, check out Gary Kamiya's eminently sane reprise of the Ten Commandments as applied to the launching of the 2003 invasion - to be found at Salon.com. ("Commandment I, "Thou shalt not launch preventive wars?"; Commandment VI: "Do not allow neoconservatives anywhere near Middle East policy? Special Bill Kristol Sub-commandment VI a: Stop giving these buffoons prestigious jobs on newspaper-of-record Op-Ed pages, top magazines and television shows. They have been completely and consistently wrong about everything. Must we continue to be subjected to their pontifications?"). Also let me offer a Tomdispatch bow of thanks to Cursor.org's daily "Media Patrol" column. Someone at that site with a keen eye for the less noticed but newsworthy pieces of any day (and an always splendid set of links) makes my life so much easier, when gathering material for essays like this one.

Source: Truthout

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...