Rabu, 07 Mei 2008 20:04:00
Brisbane-RoL-- Dosen IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi, Fridiyanto, mengatakan, ia membuktikan kebenaran dari apa yang pernah dikatakan mantan Mufti Besar Mesir, Muhammad Abduh (1849-1905), tentang kehadiran nilai-nilai universal Islam di dunia Barat dalam kunjungannya ke Australia.
"Apa yang pernah dikatakan Muhammad Abduh bahwa dia tidak menemukan Islam di negara-negara Islam tapi justru menemukannya di negara-negara Eropa kini saya alami di Australia. Saya juga menemukan Islam hadir di Australia," katanya kepada antara yang menghubunginya dari Brisbane, Selasa malam.
Fridiyanto yang juga kepala peneliti di Yayasan GURU Jambi itu adalah salah satu dari tiga tokoh muda Muslim Indonesia yang mengikuti program Pertukaran Pemimpin Muslim Australia-Indonesia (AIME). Saat diwawancarai, dia dan kedua orang rekannya sesama peserta AIME sedang berada di Canberra.
Fridiyanto mengatakan, tertib berlalu lintas, mematuhi hukum, toleran, menghormati pejalan kaki, serta ketertiban dan kebersihan kota adalah beberapa nilai-nilai dalam ajaran Islam yang justru kental kehadirannya di dua kota yang telah dikunjunginya dalam rangka program AIME, yakni Melbourne dan Canberra.
Ia mengatakan, mengalami sendiri keindahan berlalu lintas yang tertib dan taat hukum itu ketika Koordinator Program AIME Canberra, Dr.Teddy Mantoro mengantarkan para peserta AIME untuk bertemu berbagai pihak dengan mobilnya. Teddy berusaha mencari tempat parkir yang sesuai dengan aturan sekalipun tidak mudah.
"Sebenarnya yang diinginkan Islam adalah terbangunnya masyarakat yang menyadari dan menghormati hukum seperti di Australia ini," kata dosen pendidikan bahasa Inggris dan agama Islam di IAIN Jambi itu.
Fridiyanto lebih lanjut mengatakan, ia pun menemukan keberhasilan internalisasi nilai-nilai Islam di ISIK College, sebuah lembaga pendidikan Islam yang sempat dikunjunginya bersama dua peserta AIME di Melbourne.
"Di sekolah itu, internalisasi nilai-nilai Islam sudah baik sekali. Kepala sekolahnya mewajibkan para guru untuk mempraktikkan nilai-nilai Islami. Nah kelemahan pendidikan kita di Indonesia justru pada internalisasi nilai-nilai ini karena kita cenderung hanya mempelajari saja isi kitab (buku) tapi tidak diamalkan," katanya.
Apa yang dikatakan Fridiyanto bahwa nilai-nilai universal Islam justru hadir di negara-negara Barat yang maju juga pernah diungkapkan Intelektual Muslim Indonesia, Dr.Eggi Sudjana,SH,MSi. Dalam konteks sistem, Eggi menilai Australia justru lebih Islami dari Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim karena keadilan, kebersihan, kemakmuran dan kedamaian justru hadir di negara benua itu.
"Dalam konteks sistem, Australia tampak sekali Islaminya. Artinya Islam secara fungsional terjadi di negara yang berpenduduk mayoritas bukan Muslim ini, sedangkan di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, nilai-nilai Islami justru tidak tampak," katanya kepada antara seusai berceramah tentang "Islam Fungsional" di forum pengajian bulanan Perhimpunan Masyarakat Muslim Indonesia di Brisbane (IISB) Februari lalu.
Intelektual yang juga pelopor perjuangan buruh Muslim, politisi, peneliti, dan pengacara itu mengatakan, Australia berhasil mengfungsionalisasikan nilai-nilai Islami ke dalam sistem kehidupannya adalah satu kenyataan sehingga para penganggur sekalipun diberikan jaminan sosial di Australia.
Di Indonesia, kehidupan sebagian besar rakyatnya justru susah, angka pengangguran dan kriminalitas tinggi, pendidikan bermutu belum berpihak kepada rakyat kecil, dan bahkan penerapan upah minimum regional bagi para buruh pun berbeda-beda di setiap daerah padahal harga minyak sama dimana-mana, katanya.
Kondisi demikian tidak terjadi di Australia. Dalam kondisi kehidupan yang semakin berat di Indonesia itu, aksi perampokan dan pencurian semakin tampak biasa di negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia itu. Kondisi demikian tidak dapat dilepaskan dari tanggungjawab pemerintah, katanya.
Selain Fridiyanto, dua orang tokoh muda Muslim Indonesia lain yang ikut dalam program AIME gelombang kedua tahun 2008 itu adalah Ayi Yunus Rusyana asal Bandung (Jawa Barat), dan Amika Wardana (Yogyakarta).
Ayi Yunus Rusyana adalah dosen hukum Islam di IAIN Sunan Gunung Djati serta Sekretaris Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Jawa Barat, sedangkan Amika Wardana adalah dosen sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta dan aktivis Muhammadiyah di kota itu. antara/mim
Sumber: Republika.com
No comments:
Post a Comment