Labels

alam (8) amal (101) anak (294) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (20) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (563) islam (544) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (98) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (41) muallaf (48) my books (2) orang tua (6) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (61) puasa (38) renungan (170) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (323) tanya-jawab (14) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

07 May, 2008

MUI tak Benarkan Kekerasan terhadap Ahmadiyah

Rabu, 07 Mei 2008 19:36:00

Jakarta-RoL -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyeru masyarakat, khususnya kaum muslim, supaya tidak melakukan kekerasan dalam bentuk apa pun terhadap anggota Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI).

"Kami selalu menyatakan kepada publik baik secara lisan maupun tertulis bahwa MUI sama sekali tidak membenarkan tindak kekerasan dilakukan terhadap jemaah Ahmadiyah," kata Amidhan, salah satu Ketua MUI, di Jakarta, Rabu (7/5).

MUI, kata dia, berpegang pada dalil Alquran dan Hadis Nabi yang menyatakan bahwa siapa saja yang menganiaya atau membunuh seseorang yang tidak berdosa tanpa alasan maka ia telah membunuh manusia seluruhnya.

Bahkan, ia melanjutkan, ada sebuah hadis yang menyatakan bahwa dalam keadaan perang sekalipun tidak diperbolehkan merusak atau membakar tempat ibadah umat agama lain dan menganiaya atau membunuh perempuan, anak dan penduduk lanjut usia.

"Berdasarkan dalil tersebut maka kami menyatakan bahwa tidak boleh ada kekerasan atau tindakan anarkis yang dilakukan atas nama agama," katanya.

Ia juga menyesalkan, akhir-akhir ini ada pihak tertentu yang melakukan tindak kekerasan dan mengaitkannya dengan fatwa MUI tentang kesesatan jemaah Ahmadiyah.

"Padahal fatwa MUI adalah satu hal, dan tindak kekerasan adalah hal yang lain," katanya.

Ia mencontohkan, dalam kasus perusakan aset jemaah Ahmadiyah di Sukabumi, Jawa Barat pada 28 April 2008 ada pihak tertentu yang menuding bahwa hal itu terkait dengan fatwa MUI.

Untuk menjernihkan masalah itu, kata dia, MUI kemudian membentuk Tim Pencari Fakta dan menurunkannya ke lokasi kejadian untuk mengumpulkan data dan fakta tentang peristiwa tersebut.

"Kami tidak membenarkan kejadian itu dan kami ikut mencari aktor intelektual di balik kejadian itu dengan menurunkan Tim Pencari Fakta yang diketuai pak Achmad Cholil Ridwan," kata Amidhan.

Pihaknya, kata Amidhan, juga meminta aparat yang berwajib untuk memeriksa kasus itu dengan sungguh-sungguh dan menyampaikan hasilnya kepada masyarakat.

"Kepada yang terbukti melanggar, hukum juga harus ditegakkan supaya tidak ada individu atau pihak tertentu yang berusaha memanfaatkan peluang untuk menyusup dan melakukan provokasi yang memicu kerusuhan," katanya.

Kejadian di Parakan Salak

Pada 28 April 2008, masjid dan madrasah Al Furqon milik jemaah Ahmadiyah di Kampung Parakan Salak RT 02/RW 02, Desa/Kecamatan Parakan Salak, Kabupaten Sukabumi dirusak sekelompok warga yang diduga datang dari Kecamatan Cicurug, Cibadak, dan Parung Kuda.

Akibatnya, bangunan masjid berukuran sekitar 7X8 meter milik jemaah Ahmadiyah yang selama kekacauan terbakar tinggal dinding-dinding tembok yang runtuh pada beberapa bagian dan tidak lagi beratap. Jendela bangunan madrasahnya juga banyak yang pecah karena dilempari batu oleh massa yang marah.

Kejadian itu menimbulkan ketegangan antara jemaah Ahmadiyah dan masyarakat muslim sehingga MUI menurunkan Tim Pencari Fakta untuk mengetahui detil kejadian yang sebenarnya.

"Selama seharian kami menemui banyak pihak, termasuk aparat kepolisian, masyarakat setempat dan kalangan pesantren untuk mencari tahu kejadian yang sebenarnya," kata Ketua Tim Pencari Fakta MUI Achmad Cholil Ridwan.

Menurut data dan fakta yang dikumpulkan, Achmad menjelaskan, sebelum peristiwa itu terjadi, di Masjid At-Taqwa yang letaknya tidak jauh dari pemukiman komunitas Ahmadiyah di Parakan Salak, Forum Komunikasi Jamiatul Mubalighin (FKJM) melakukan istigotsah dan melalui Muspika setempat menyerahkan surat pernyataan sikap kepada jemaah Ahmadiyah.

Surat itu antara lain berisi permintaan kepada jemaah Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatan dan menurunkan papan nama dengan tulisan Ahmadiyah, meminta jemaah Ahmadiyah menutup tempat peribadatannya dan melakukan ibadah bersama dengan umat Islam yang lain.

"Dalam surat itu juga disebutkan, 'jika dalam waktu dua hari surat itu tidak diindahkan maka kami tidak bertanggungjawab bila sesuatu terjadi'," kata Achmad.

Surat itu, kata dia, selanjutnya diserahkan kepada pimpinan jemaah Ahmadiyah dan jawabannya diserahkan kepada aparat berwenang namun tidak disampaikan kepada FKJM karena dikhawatirkan dapat memicu konflik.

"Menurut Kapolsek, isinya, jemaah Ahmadiyah tidak bisa memenuhi permintaan tersebut sampai waktu yang tidak ditentukan," katanya.

Meski surat itu tidak diserahkan kepada FKJM, namun ia melanjutkan, warga setempat menyaksikan pada pukul 23.00 WIB-24.00 WIB massa yang diangkut dengan satu hingga dua truk melewati jalanan menuju Parakan Salak.

Sebanyak 10 aparat kepolisian yang berjaga di beberapa lokasi untuk mengantisipasi terjadinya kekacauan tidak mampu membendung massa sehingga kemudian mereka masuk dan melakukan perusakan, kata Achmad.

"Tetapi tidak ada yang tahu secara pasti dari mana dan siapa massa yang datang itu. Ketua FKJM pun menyatakan tidak mengenali orang-orang tersebut," demikian Achmad Cholil Ridwan. antara/is

Sumber: Republika.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...