Search This Blog

Labels

alam (8) amal (100) anak (299) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (8) dakwah (87) dhuafa (18) for fun (12) Gene (222) guru (61) hadiths (9) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (52) indonesia (570) islam (556) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (357) kesehatan (97) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (52) my books (2) orang tua (8) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (503) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (11) pesantren (34) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (178) Sejarah (5) sekolah (79) shalat (9) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

11 August, 2010

Susunan ayat Al Qur’an


Selasa, 15 Juni 2010 13:41

Pertanyaan
Assalamualaikum Wr Wb
Ustadz, saya ingin bertanya mengenai susunan ayat2 dalam al Quran. Setahu saya al Quran diturunkan secara acak, kadang sesuai kondisi, keadaan dll. kemudian saya mendengar bahwa susunan al Quran yang sekarang (utsmani) didasarkan pada hadits yang mengatakan bahwa "..ayat ini disimpan setelah ayat itu..dalam surat anu..urutan ke anu.." (atau hadits sejenisnya)
tapi masalahnya, saya belum pernah menemukan satupun hadits yang seperti itu. Saya menjadi gelisah mengenai hal ini.. karena hal ini sangat mendasar sekali dalam keyakinan dalam berislam.
Bisakah ustadz memeberi alasan yang logis mengenai hal ini dan akan lebih baik kalau ada contoh riwayat yang menyebutkan tentang susunan2 ayat tersebut.
terimakasih sebelumnya
wassalam

Jawaban

Assalamu alaikum wr.wb
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah Rabbil alamin. Washshalatu wassalamu ala Asyrafil Anbiya wal Mursalin. Wa ba’du:

Perlu diketahui bahwa al-Quran sebelum diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, ia telah ada di lauhil Mahfudz berupa satu kitab utuh, dimana Allah menjelaskan bahwa al-Quran yang ada dilauhil mahfudz itu tidak bisa disentuh kecuali oleh hamba-hamba Allah yang dimuliakan (para Malaikat). Dalam surat al-Waqi’ah: 77-79 : dan (ini) sesungguhnya al-Quran yang sangat mulia, dalam kitab yang terpelihara (lauh mahfudz), tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan). Artinya al-Quran telah ada dilauhid mahfudz berupa satu kitab yang utuh, lengkap dengan susunan surat dan ayatnya.


Dari lauh mahfudz, al-Quran diturunkan ke langit dunia (baitul izzah) berupa satu kitab utuh, pada bulan Ramadhan di malam yang penuh berkah atau malam lailatul Qadar, sebagaimana dalam firman Allah:
-Bulan Ramadhan adalah bulan dimana di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan penjelasan-penjelasan bagi petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang bathil) (QS.2:185)
-Sesungguhnya Kami turunkan al-Quran pada malam lailatul qadar (QS.al-Qadr:1)
- Sesungguhnya Kami turunkan al-Quran pada malam yang penuh berkah (QS. Ad-Dukhan:3)

Kemudian dari langit dunia, diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantara malaikat Jibril secara berangsur, selama kurang lebih 23 th, sesuai dengan kondisi, keadaan yang menyertainya, atau yang biasa disebut sebagai asbab nuzul (sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya ayat). Bisa dikatakan, turunnya ayat atau surat al-Quran kepada Nabi Muhammad dengan adanya asbab nuzul, itu adalah teknis yang digunakan oleh Allah Swt untuk bisa lebih dipahami oleh manusia. Jika seandainya tidak ada asbab nuzul yang menyertainya, sungguh al-Quran sudah ada dalam bentuk satu kitab yang utuh, lengkap dengan urutan surat dan ayatnya. Akan tetapi, Karena turunnya ayat berdasarkan sebab yang menyertainya, maka turunnya ayat tidak berurutan.

Kemudian yang menjadi pertanyaan, bagaimana ayat-ayat tersebut bisa tersusun seperti yang ada dalam mushaf sekarang ini?

Para ulama’ Islam, dari kalangan sahabat yang merupakan generasi pertama atau yang menyaksikan turunnya wahyu, dan para tabi’in serta ulama’ Islam berikutnya, sepakat bahwa peletakan urutan ayat adalah bersifat tauqify (hak mutlak Allah Swt), tidak ada campur tangan manusia disana. Rasulullah Saw memerintahkan kepada sekretarisnya untuk meletakkan ayat tertentu pada surat tertentu, atau setelah ayat tertentu, sesuai dengan arahan dari malaikat Jibril (sang penyampai wahyu). Hal itu berdasarkan sebuah hadits dari Usman bin Abi al-Ash berkata: suatu ketika aku duduk disisi Rasulullah Saw, tiba-tiba beliau mengarahkan pandangannya, setelah itu kemudian beliu berkata: Jibril telah datang kepadaku, dan memerintahkanku untuk meletakkan ayat ini dalam surat ini (Innallaha ya’muru bil’adli wal ihsaani wa iitaaidzil qurbaa (QS. An-Nahl:90)) sampai ayat selanjutnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang hasan.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam kitab shahihnya ”al-mustadrak”: bahwa Rasulullah Saw menyuruh kepada penulis wahyu untuk meletakkan ayat tertentu pada surat tertentu, atau ayat tertentu setelah ayat tertentu yang membicarakan tentang masalah tertentu.

Dan apa yang dilakukan oleh Usman bin Affan, adalah sebagai bentuk Ijtihad beliau yang bukan berdasarkan hawa nafsu atau faktor politik seperti yang di lontarkan oleh para orentalis dalam menyebarkan syubhat terhadap validitas al-Quran, melainkan berdasarkan apa yang datang dari Rasulullah Saw. Dimana beliau mengumpulkan sahabat-sahabat senior, para penghafal al-Quran, sehingga secara mutawatir tidak mungkin terjadi kesalahan, dan usaha Usman tersebut di dukung oleh semua sahabat yang ada kala itu, sehingga menjadi sebuah Ijma’ (konsensus). Tidak ada satu sahabatpun yang menentang. Tidak ada perubahan dalam susunan ayat, sampai ayat yang mansukh secara hukumpun tetap di tuliskan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Ibnu Zubair berkata kepada Usman: ayat ”walladziina yutawaffauna minkum wa yadzaruuna azwaajan” (QS.2:224) telah dihapus dengan ayat lain, kenapa engkau masih menuliskannya? Maka Usman menjawab: wahai anak saudaraku, aku tidak akan merubah apapun dari tempatnya -sebagaimana aslinya-. Hal ini menunjukkan bahwa susunan ayat adalah tauqify, bukan rekayasa manusia.

Adapun mengenai kesan bahwa ayat al-Quran tidak sistematis, karena susunan ayatnya acak-acakkan, dimana seolah-olah antara satu ayat dengan ayat lainnya tidak ada korelasi yang dengan alasan itu, kemudian membuat tuduhan bahwa Usman telah melakukan kesalahan dalam petelakan ayat, adalah sesuatu yang tidak bisa diterima. Hal itu terbantah dengan riwayat yang menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Usman dalam pengumpulan al-Quran sesuai dengan apa yang diterima oleh Rasulullah Saw, hal itu disaksikan oleh para sahabat senior, para penghafal al-Quran, lembaran-lembaran yang ada pada sahabat, sehingga secara mutawatir tidak mungkin terjadi kesalahan.

Kesan bahwa ayat alquran acak-acakan, itu hanyalah kesan dan penilaian manusia belaka karena dalam melihat al-Quran menggunakan standar yang dipakai oleh umumnya manusia saat ini dalam menulis karya tulis, karya ilmiah dan yang serupa dengan itu. Sedangkan al-Quran bukanlah karya ilmiyah, ia bukan desertasi doktoral, ia bukan novel, akan tetapi ia adalah wahyu dan kalamullah, sehingga karakternya berbeda dengan karya-karya manusia. Al-Quran memang diturunkan untuk manusia, sehingga ia harus sesuai dengan kondisi manusia, bisa dicerna akal manusia, karena tidak mungkin Allah memerintahkan sesuatu kepada hambanya diluar dari kemampuannya. Kalaupun ada yang sulit diterima oleh akal dan logika manusia, bukan berarti Alquran tidak masuk akal dan tidak rasional. Akan tetapi, manusialah yang tidak mampu mencerna dan memahami maksud-maksud Alquran. Namun, bagi mereka yang mempelajari Alquran secara objektif, mendalam, dan dengan pikiran yang jernih, ia akan mampu menangkap rahasia dan hikmah di balik susunan ayat dan surat Alquran tersebut. Dalam hal ini, Anda bisa membaca misalnya kitab Nazhm al-Durar karya al-Biqâ’i. Dengan indah dan menakjubkan beliau menyingkap korelasi dan hubungan antara satu ayat dengan ayat lain serta satu surat dengan surat berikutnya.

Sementara, lontaran-lontaran bahwa ayat Alquran acak-acakan, adalah syubhat-syubhat yang di buat oleh para orientalis, liberalis, sama sekali tidak berdasar. Ia tidak lain hanya dimaksudkan untuk membuat ragu kaum muslimin terhadap validitas dan otentitas al-Quran. Sebenarnya tujuan besarnya bukan hanya menimbulkan keraguan dikalangan kaum muslimin dengan melontarkan syubhat-syubhat yang dibungkus dengan rasionalitas, liberalitas dalam berfikir, akan tetapi lebih dari itu, adalah mendustakan Rasulullah dan ajarannya yang datang dari Allah Swt.

Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Wassalamu alaikum wr.wb.

Sumber: syariahonline.com

6 comments:

  1. Subhanallah, jadi gitu ya... ane jadi lebih ngerti nih pa ustadz..

    pa ustadz saya punya teman yg telah murtad.. dia mempersoalkan mushaf2 al quran yg di bakar ketika penyusunan kitab al quran resmi disusun yaitu pada masa khalifah usman bin affan.

    apakah benar terjadi pembakaran mushaf2 ketika itu?

    teman saya berpikir bahwa kenapa harus di bakar, bukankah itu bukti sejarah... harusnya disimpan untuk dijadikan bukti sejarah bahwa sebelumnya ayat2 al quran tersebut di turunkan secara perlahan2. bagaimana ini pa ustadz? apakah benar terjadi pembakaran? atas dasar apa dilakukan hal itu? apa hikmahnya di balik peristiwa itu?

    terima kasih sebelumnya.

    ReplyDelete
  2. Al Qur’an adalah standard acuan umat Islam, dan sebagai acuan tidak boleh ada dualisme, jadi di seluruh dunia al Qur’an adalah sama hingga titik komanya, dan disertakan teks aslinya walaupun diartikan kedalam bahasa yang berbeda-beda, demkianlah janji Allah, bahwa Dia sendiri yang akan menjaganya hingga kiamat.
    Saya meyakini tindakan pembakaran itu untuk mencegah tindakan penyalahgunaaan keadaan mushaf yang terpecah-pecah, dan dengan Al Qur’an yang satu mushaf utuh seperti saat ini akan dengan mudah mengawasi dan mengontrol jika ada yang coba-coba memalsukan walaupun satu huruf apalagi satu ayat.
    Berbeda jika kitab suci tidak disertakan naskah aslinya, alih bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain jelas menimbulkan resiko perbedaan, dan perubahan arti tergantung kedalaman ilmu masing-masing penterjemah, bagaimana jika hasil terjemahan dari si A diterjemahkan oleh si B, hasil terjemah si B diterjemahkan oleh si D dst, maka perbedaan dengan naskah asli akan semakin jauh. Belum lagi jika ada niat mengubah isinya karena berlawanan dengan hawa nafsu orang yang menterjemahkan, wah bisa ada yang di hapus atau dikurangi. Jika sudah demikian, bagaimana lagi bisa dijadikan acuan untuk petunjuk kehidupan yang bisa dipercaya akurasinya.

    ReplyDelete
  3. terima kasih pa ustadz atas jawabannya, saya jadi lebih mengerti soal itu. cuma tetap aja berdiskusi tentang hal lainnya teman saya tetep kekeuh dengan agama barunya.seperti mendapat Kekasih Baru saja sehingga menjelek2an mantannya... semoga dia mendapat HidayahNya untuk kembali ke Agama Islam... Aamin!!

    ReplyDelete
  4. Kewajiban kita hanya menyampaikan (dakwah)bagi yang bertanya dan bagi yang belum tahu tentang Islam dengan cara santun dan benar, dan kita tidak punya hak untuk memaksakan Islam kepada seseorang, karena hidayah sepenuhnya dari Allah SWT. Bahkan orang yang lidahnya mengaku Islam tetapi hatinya tidak meyakini Islam tetap tidak akan diakui iman Islamnya oleh Allah SWT, karena Dia Maha Mengetahui isi hati. Hidayah Allah itu mahal tak tertandini oleh apapun, sekalipun seseorang memiliki uang berjuta trilyun atau emas sepenuh bumi atau sebesar matahari, kemudian dia mati dalam keadaan kafir, maka hartanya itu tidak dapat menyelamatkannya dari azab kekal di neraka, kekal itu bukan 100 atau 100 milyar tahun. Karena itu masalah akhirat bukan hal main-main, kita harus bersungguh-sungguh mencari/belajar dan menempuh kebenaran, serta berdoa kepada Allah Yang Maha Esa untuk diberi limpahan hidayah/petunjuk dan ketetapan hati untuk menempuh kebenaran.
    Jika kita tidak punya hak memaksa, kenapa bisa terjadi perang di jaman Rasulullah SAW, itu karena ketika orang berbondong-bondong masuk Islam setelah dakwah Rasulullah SAW, orang-orang kafir berusaha dengan segala cara menghentikan dakwah Nabi, dengan bujukan harta tahta dan wanita, tetapi Nabi tetap tidak bergeming, akhirnya mereka mengancam akan memusnahkan umat Islam jika tidak berhenti berdakwah, maka terjadilah perang. Jadi perang terjadi adalah karena orang kafir mencegah nabi menyampaikan Islam dengan ancaman perang dan ancaman keselamatan umat Islam. Perang adalah jalan terakhir demi keselamatan umat manusia di dunia hingga akhirat, karena itu etika perang dalam Islam sangat ketat, yaitu tidak boleh membunuh orang sipil; tidak boleh membunuh wanita, anak-anak dan orang tua; tidak boleh membunuh tawanan; tidak boleh merusak tanaman dan hewan; tidak boleh membunuh orang yang menyerah dan sebagainya, bahkan tidak boleh membunuh karena amarah, hanya boleh membunuh karena Allah, yaitu mereka yang mengancam dakwah dan umat Islam dengan ancaman perang.

    ReplyDelete
  5. [3.29] Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui." Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

    [3.91] Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorang di antara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong.

    ReplyDelete
  6. Buat anonymous,
    Ya, menurut sejarah, pembakaran itu benar2 terjadi.
    Pada saat itu, tidak ada pusat percetakan seperti sekarang. Jadi banyak sekali orang menulis Al Qur'an atau beberapa ayatnya secara sendiri2.
    Hasilnya, banyak dari tulisan pribadi itu menyimpang dan tidak merupakan bagian yang benar dari al Qur'an.
    Lalu, dibuat satu versi Al Qur'an yang resmi, dan yang itu disepakati oleh semua sahabat yang hafiz Qur'an. Setelah sudah jelas bahwa ada satu versi yang resmi dan benar itu, semua yang lain yang penuh dengan ayat2 yang salah dikumpulkan dan dibakar.
    Lalu dibuat larangan untuk menulis Al Qur'an sendiri, kecuali menyalin dari satu yang benar itu.
    Begitu caranya Al Qur'an dijaga kemurniannya.

    Tanya kepada teman kamu kalau dia mau bertemu dan diskusi dengan saya.

    Wassalam,
    Gene

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...