Senin, 26/07/2010 08:06 WIB
Catatan Agus Pambagio
Agus Pambagio – detikNews
Jakarta - Awal minggu ini saya bincang-bincang dengan beberapa pengunjung dan pelayan “Warteg” langganan yang berlokasi di belakang kantor Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), mengenai persoalan hidup di negeri tercinta ini yang menurut saya semakin hari semakin absurd. Mereka antara lain terdiri dari sopir taksi Blue Bird, kuli bangunan, penyapu jalan, pegawai kasar kediaman Wakil Presiden, supir bajaj dan mahasiswa yang sama-sama sedang mengisi perut.
Dalam perbincangan pagi menjelang siang itu, semua sepakat bahwa hidup di zaman Orde Baru lebih enak (?). Pemerintah masih memikirkan nasib mereka. Minyak tanah, bensin, beras masih terjangkau. Tidak ada tabung LPG yang meledak. Jalanan juga tidak semacet sekarang sehingga kendaraan umum sulit mencari penumpang. Listrik tidak semahal sekarang dan tidak sering mati bergiliran. Sementara itu berbulan-bulan media membahas kasus-kasus yang tidak ada hubungan langsung sama sekali dengan mereka, seperti kasus Bank Century, turunnya IHSG, mahalnya biaya Pilkada, kesepakatan G20 dsb.
“Apa hubungannya kasus Century dengan saya, Mas? Saya tidak punya rekening di Bank Century”, ucap Mursid si sopir taksi.
“Boro-boro nyimpen Mas, buat dibawa pulang untuk anak istri saja sudah tidak tentu kecilnya”, ujarnya pula.
“Belum lagi sudah beberapa minggu ini saya dikerjain dengan bensin yang buruk kualitasnya, sehingga saya harus libur nyetir karena pompa bahan bakar rusak dan mobil pegangan saya di kandangkan”, kata Mursid lagi.
Anak muda yang meladeni saya (lupa namanya) juga mengatakan: “Mas, beberapa tahun yang lalu Pemerintah memaksa kita pakai gas LPG, terus ketika sekarang banyak menimbulkan ledakan, kok Pemerintah tidak melakukan apa apa ya ? Mereka hanya rapat melulu kerjanya”.
Anto si mahasiswa menimpali, “Emang tuh, Pemerintah no action talk only”.
“Rapaaaaat terus sampai pagi, tetapi tak jelas apa yang akan dilakukan oleh para Menteri terkait”, ujarnya.
“Padahal tanpa disadari, tabung gas LPG 3 kg saat ini sudah menjadi pengganti alat pembunuh massal yang lebih mengerikan dari kelompok teroris Noerdin M Top”, masih kata Anto lagi.
Pengunjung lain, Pak Muin, seorang penyapu jalan mengatakan: “Istri saya sekarang bingung kalau mau masak. Tadinya kalau sedang tidak punya uang saya hanya menanak nasi dengan lauk tahu atau tempe kukus dan sambal terasi”.
“Namun saat ini saya sudah tidak sanggup lagi untuk membeli cabe karena harganya naik kelangit, sekilo sampai Rp 60 ribu”, ujarnya.
Dalam hati saya miris mendengar celoteh mereka karena ternyata Pemerintah kita semakin jauh dari rakyat. Rakyat dibiarkan menjalani hidupnya sendiri tanpa difasilitasi dengan baik oleh para birokrat. Pertanyaan saya, apa masih perlu Negara menggaji begitu banyak pejabat tinggi tetapi tidak bisa mengurus keperluan rakyatnya ?
Kebijakan Pemerintah Tanpa Niat
Sebagai orang yang berada di luar sistem kekuasaan, saya bebas meneropong dan memberikan masukan. Persoalan konversi minyak tanah ke gas yang telah berhasil membunuh puluhan orang bahkan akan lebih ini, sudah pernah saya sampaikan di awal program tahun 2009 ke berbagai pihak, termasuk biaya sosial yang tinggi jika sampai terjadi bencana. Ledakan demi ledakan yang saat ini terus berlangsung merupakan bukti atas kekhawatiran saya sejak awal program ini diluncurkan.
Persoalan perubahan kebiasaan dari memasak dengan menggunakan kompor minyak tanah bersumbu ke kompor gas dengan regulator merupakan persoalan utama yang tidak diperhatikan oleh Pemerintah. Tidak pernah dijelaskan bagaimana penggunaan kompor gas ini dengan baik kepada rakyat dan hal-hal apa saja yang wajib diperhatikan sebelum menyulut kompor gas dsb.
Pemerintah tidak pernah memberitahukan pada penerima program konversi ini bagaimana memperlakukan kompor gas, termasuk mengantisipasi kebocoran karet sekat tabung dan regulator, kebocoran selang dan tabungnya sendiri. Artinya program ini diluncurkan tanpa sosialisasi.
Bagaimana bisa sebuah kebijakan strategis diluncurkan tanpa anggaran untuk pendidikan masyarakatnya atau sosialisasi ? Jadilah kebijakan konversi gas ini menjadi kebijakan pemusnahan penggunanya. Sudah saatnya pengguna tabung gas bersubsidi menuntut Pemerintah karena melakukan pembiaran. Jadi jangan salahkan masyarakat jika kelak program ini gagal karena rakyat takut terpanggang.
Begitu pula persoalan buruknya kualitas bensin premium yang telah merusak ribuan angkutan taksi dan kendaraan pribadi lainnya. Kalau Dirut Pertamina berani mengatakan bahwa Pertamina tidak melakukan perbuatan yang merugikan ini, patut diduga ada pihak-pihak lain yang merasa khawatir jika subsidi BBM dicabut jadi jatuh miskin. Merekalah yang patut diduga melakukan tindakan yang cenderung subversif ini tanpa Negara sebagai pelindung rakyat mampu berbuat sesuatu.
Sama halnya dengan kemacetan lalu lintas di perkotaan Indonesia yang semakin hari semakin parah tanpa ada upaya Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menanggulanginya dengan cepat dan tepat. Begitu pula dengan harga cabai. Rasanya tidak pantas ketika wartawan menanyakan persoalan tingginya harga cabai ini ke Menteri Koordinator Perekonomian dan dijawab dengan: “ya , kalau cabai mahal jangan makan cabai”. Begitu pula ketika Menteri Perdagangan ditanya, ia juga mengatakan :” cabai mahal karena faktor cuaca”. Kalau seperti itu komentarnya, saya rasa Pak Muin si penyapu jalan pun bisa menjawabnya.
Intinya Pemerintah dalam hal ini para Menteri yang menjadi pembantu Presiden memang tidak bekerja sungguh-sungguh. Kebijakan yang dikeluarkan patut diduga dikeluarkan tanpa landasan untuk menyejahterakan masyarakat tetap hanya untuk menyenangkan atasan saja, supaya tampak bekerja keras demi rakyat.
Tunjukkan pada publik apa kerja Menteri ESDM terkait dengan kebijakan alokasi energi primer murah (untuk PLN dan industri), pencabutan subsidi BBM, konversi minyak tanah ke gas serta buruknya kualitas Premium. Menteri Perindustrian dan Perdagangan harus dapat menunjukkan tindakan nyata untuk mengatasi ledakan tabung gas, misalnya tarik dan ganti semua kompor beserta perangkatnya. Jangan hanya menyalahkan Pertamina.
Menteri Sosial dan Menteri Kesehatan segera tangani korban ledakan karena ini program Pemerintah yang gagal, maka Pemerintah harus menanggung seluruh biaya yang diderita rakyat. Kalau tidak bisa ya, kalian para Menteri mundur saja.
AGUS PAMBAGIO (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen)
Sumber: detiknews.com
Search This Blog
Labels
alam
(8)
amal
(100)
anak
(299)
anak yatim
(118)
bilingual
(22)
bisnis dan pelayanan
(6)
budaya
(8)
dakwah
(87)
dhuafa
(18)
for fun
(12)
Gene
(222)
guru
(61)
hadiths
(9)
halal-haram
(24)
Hoax dan Rekayasa
(34)
hukum
(68)
hukum islam
(52)
indonesia
(570)
islam
(557)
jakarta
(34)
kekerasan terhadap anak
(357)
kesehatan
(97)
Kisah Dakwah
(10)
Kisah Sedekah
(11)
konsultasi
(11)
kontroversi
(5)
korupsi
(27)
KPK
(16)
Kristen
(14)
lingkungan
(19)
mohon bantuan
(40)
muallaf
(52)
my books
(2)
orang tua
(8)
palestina
(34)
pemerintah
(136)
Pemilu 2009
(63)
pendidikan
(503)
pengumuman
(27)
perang
(10)
perbandingan agama
(11)
pernikahan
(11)
pesantren
(34)
politik
(127)
Politik Indonesia
(53)
Progam Sosial
(60)
puasa
(38)
renungan
(179)
Sejarah
(5)
sekolah
(79)
shalat
(9)
sosial
(321)
tanya-jawab
(15)
taubat
(6)
umum
(13)
Virus Corona
(24)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment