Assalamu’alaikum wr.wb.,
Teman-teman, ada kabar baru bahwa tahun depan
kurikulum nasional akan diubah lagi. Dari dulu saya punya pendapat bahwa
kurikulum di Indonesia perlu diubah, tapi mungkin tidak dengan cara yang
dipikirkan kebanyakan orang. Masih menjadi kenyataan bahwa mayoritas dari warga
Indonesia putus sekolah pada tingkat SD. Jadi karena itu masih sebuah
kenyataan, fungsi SD sebaiknya diubah. Perlu dipikirkan skil dan ciri-ciri yang
paling dasar dan paling penting yang perlu dimiliki orang dewasa yang harus
mencari pekerjaan dan menjadi anggota masyarakat di sini. Setelah ditentukan
skil dan ciri-ciri itu (life skills), harus diberikan sebanyak mungkin terhadap
siswa SD dengan perkiraan mereka akan mulai kerja setelah lulus SD dan tidak
akan kembali untuk belajar lagi.
Kalau ternyata kembali, bisa dianggap sebagai
“bonus” dan hal yang sama terulang lagi di tingkat SMP. Kalau putus sekolah
setelah SMP, maka skil dan cara berpikir yang penting sudah diberikan, dan
mereka bisa kerja dan menjadi anggota masyarakat yang baik dan berkualitas.
Kalau mereka kembali lagi untuk SMA, maka itu adalah bonus kedua. Jadi di
tingkat SMA, hal yang sama terulang lagi, dengan asumsi mereka akan cari kerja
setelah lulus SMA. (Sistem ini perlu diteruskan sampai menjadi kenyataan bahwa
mayoritas dari penduduk Indonesia lulus SMA, dan saat itu, kurikulum bisa
diubah lagi kalau perlu).
Di kelas 2 dan 3 SMA, perlu disortir semua
siswa, dan ditentukan mana yang akan kuliah, dan mana yang akan kerja. Diutamakan
skil untuk kerja, dan ditekankan ciri-ciri seorang anggota masyarakat yang berakhlak
baik dan bermanfaat. Untuk anak yang diperkirakan akan bisa kuliah, karena
orang tua sanggup bayar, atau karena mau cari beasiswa, bisa diberikan kelas2
tambahan atau bahan tambahan yang akan menyiapkan mereka untuk kuliah. Anak
yang tidak akan kuliah tidak perlu kelas dan bahan tambahan itu. Jumlah anak
yang kuliah di Indonesia masih sekitar 7% saja, jadi sebuah program pendidikan
yang mengarah ke program universitas dan memberikan ilmu teori saja, sangat
merugikan 93% dari anak bangsa yang perlu mencari pekerjaan setelah keluar dari
SMA.
Untuk anak2 SMA yang mayoritas, program
pendidikan yang mengarah ke dunia nyata, akan diutamakan (seperti di SD dan
SMP). Ini akan menjadikan mereka anggota masyarakat yang baik dan berkualitas,
yang sanggup mencari pekerjaan, atau bahkan menciptakan lapangan kerja baru
secara kreatif, bukan asal menjadi karyawan.
Semua skil yang perlu diberikan sejak SD bisa
dibahas secara luas dulu, dan dibutuhkan penelitian untuk menentukan apa yang
paling penting. Sebagai contoh saja, anak yang diperkirakan tidak akan kembali setelah SD harus dipastikan bisa
membaca dan menulis dengan lancar dan punya kemampuan untuk mengurus diri
sendiri, misalnya dengan mengerti cara isi formulir, bisa daftar untuk suatu
program, mampu menganalisa dan membedakan antara program dan ide yang
bermanfaat dan yang tidak, dan sebagainya.
Yang paling penting dari semuanya adalah
kemampuan untuk belajar dan berpikir secara mandiri. Siswa harus diajarkan
caranya untuk menuntut suatu ilmu baru, tanpa selalu bisa bertanya kepada orang
lain (misalnya, cara menamam jamur organik). Siswa harus mengerti di mana ilmu
bisa dicari (buku, internet, departemen pemerintah atau pemda, seminar dan
workshop, eksperimen sendiri, orang yang kerja di bidang itu), dan harus
mengerti cara mempelajari dan mencatat ilmu baru itu sampai mendapatkan
keahlian sendiri.
Mereka harus bisa berpikir secara kreatif,
dengan diajarkan untuk menganalisa suatu masalah, dan mencari solusi baru yang
kreatif, bukan asal memberikan jawaban yang diinginkan guru dalam ujian pilihan
ganda. Lebih baik semua ujian diubah agar siswa selalu bisa menulis jawaban
sendiri, dan bukan memilih dari jawaban2 yang sudah ditentukan guru. (Memang
makan waktu lebih lama untuk periksa ujian, tapi di jangka panjang lebih baik
bagi siswa dan masyarakat).
Siswa harus diajarkan skil untuk bekerja secara
mandiri dan juga bekerja sama dengan baik dalam kelompok. Dalam kelompok, siswa
harus dapat giliran menjadi pemimpin dan belajar dasar2 kepemimpinan, dan juga
dapat giliran menjadi anggota tim (atau pengikut) dan menjalankan pentunjuk
dari pemimpin. Mereka harus diajarkan untuk berdiskusi dan bernegosiasi secara
baik, dan sanggup berbeda pendapat tanpa ribut atau selalu mau benar sendiri.
Mereka harus bisa berpikir secara logis, dan sanggup menganalisa suatu masalah
secara logis untuk mencari akar permasalahannya. Contoh2 soal yang bisa
membangun pemikiran seperti itu sudah ada, dan tinggal dijadikan bahan dasar di
tingkat SD.
Siswa harus belajar untuk berdemokrasi, dan
memutuskan perkara secara bersama, sehingga nanti sebagai anggota masyarakat
mereka sanggup ikuti diskusi urusan penting di tingkat RT, kecamatan,
kabupaten, dalam organisasi kerja dsb. dan bisa bersuara secara sehat dan logis
dalam menentukan kebijakaan yang bermanfaat bagi semua. Siswa harus mengerti
bahwa suara mereka juga penting, dan asal mengikuti kemauan orang lain tanpa
berpikir sendiri adalah hal yang seringkali tidak baik di masa depan.
Siswa harus sanggup melihat kesempatan kerja
yang baru, dan membangun suatu usaha dari nol dengan mengerti caranya
mendapatkan modal yang minimal untuk menjalankan bisnis itu. Intinya, siswa SD
harus bisa menjadi pengusaha atau entrepreneur tingkat kecil, agar mengerti
cara membangun suatu usaha dan bantu orang tuanya dalam membangun bisnis kecil.
Mereka harus mengerti dasar ekonomi mikro seperti konsep supply and demand
(permintaan dan ketersediaan) agar tahu caranya membangun suatu usaha kecil
yang sehat dan menghasilkan profit. Anak bisa belajar untuk langsung membuat
makanan ringan dan minuman (misalnya), dan menjualnya di luar sekolah. Bisa
dikerjakan secara kelompok dulu, lalu secara mandiri pada tingkat Kelas 6.
Mereka harus mengerti tentang pengurusan stok
barang, jangka waktu yang perlu ditunggu sampai modal kembali, bagaimana
memutar uang ke dalam usaha untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi
dan sebagainya. Juga perlu belajar dasar2 akutansi seperti pembukuan untuk
mencatat pemasukan dan pengeluaran. Kalau orang tua sudah memiliki suatu usaha
(seperti warung) siswa bisa langsung praktekkan di rumah dan membantu orang tua
mencatat profit atau kerugian.
Sebagai anggota masyarakat (siswa harus
dianggap “calon orang dewasa”), mereka harus bisa menerima pendapat orang lain,
walaupun tidak selalu setuju, dengan lapang dada, dan tanpa menjadi emosi.
Harus bisa kerja dengan orang yang tidak disukai secara pribadi. Harus bisa
hidup secara rukun dengan orang dari agama dan budaya yang lain. Harus bisa
memperhatikan tetangga, dan tidak semata-mata utamakan diri sendiri dalam semua
urusan. Harus bisa memperhatikan dan memperdulikan jompo, janda dan anak miskin
di lingkungan mereka. Harus bisa memikirkan lingkungan yang sehat, dan tidak
membuang sampah secara sembarangan. Harus bisa berhenti merokok, atau tidak
mulai, atau minimal tidak merokok di dekat orang lain yang mungkin terganggu.
Harus bisa sabar untuk antrian di semua lokasi yang memerlukannya, dan sabar
untuk tidak melewati lampu merah. Harus bisa bicara secara jujur, dengan
kata-kata yang baik dan mulia. Harus bisa menahan diri dari melanggar hukum
pada skala besar dan kecil, dan membentuk masyarakat yang taat hukum. Harus
menjadi terbiasa membaca sebanyak mungkin setiap minggu, dengan membentuk rumah
baca di komunitas masing2, dan utamakan hobi membaca di atas hobi nonton
sinetron. Dan seterusnya.
Siswa juga perlu diberikan dasar-dasar P3K agar
bisa membantu orang yang mengalami kecelakaan (dokter dan rumah sakit
seringkali jauh). Saya sering bertemu orang dewasa yang tidak mengerti bedanya
antara tangan yang keseleo atau patah. CPR (resusitasi jantung paru-paru) bisa
dipelajari di tingkat SD, untuk bantu orang yang tidak bernafas (serangan
jantung, tenggelam, jatuh, dsb). Cara tangani orang yang berdarah penting
sekali, dan banyak terjadi kesalahan fatal di sini, misalnya, suatu benda yang
menusuk ke dalam tubuh korban ditarik keluar, dan hasilnya adalah perdarahan
tambah parah dan pasien wafat sebelum sampai rumah sakit. (Seharusnya dibiarkan
di dalam badan, dan dokter yang mencabut dengan hati-hati). Banyak orang kena
penyakit menular seperti TBC dan menyebarkan lagi karena tidak paham (atau
tidak peduli) terhadap apa yang harus mereka lakukan untuk menjaga keluarga dan
tetangga dari penyakit.
Kalau kurikulum SD dan SMP diubah untuk
mengutamakan hal-hal seperti ini, maka kenyataan bahwa mayoritas warga
Indonesia masih putus sekolah pada tingkat SD tidak akan menjadi beban seumur
hidup bagi orang itu. Mereka akan sanggup mencari pekerjaan yang baik, dan
mungkin juga membuat pekerjaan sendiri karena sudah terlatih menjadi
entrepreneur di dalam sekolah. Mereka akan bisa menjadi anggota masyarakat yang
berakhlak baik dan produktif dan bisa menambahkan ilmu sendiri dengan cara baca
buku, dan banyak diskusi dengan orang lain.
Di tingkat SMA, jumlah pelajaran juga perlu
dikurangi. Pernah ada siswa saya di kelas 3 SMA yang menunjukkan daftar 23 mata
pelajaran kepada saya dan ternyata itu semua kelas dia di sekolah. Sedangkan di
Australia dan Selandia Baru, siswa di kelas 3 SMA hanya mengikuti 5-6 mata
pelajaran saja. Kenapa Indonesia bisa 23, dan semuanya berikan PR dan ujian
kepada siswa?
Di tingkat kuliah, juga perlu perubahan. Empat
tahun termasuk skripsi tidak perlu. Di banyak negara maju, tidak ada tahun
keempat dan tidak ada skripsi. Di universitas saya di Australia, kalau sudah
kumpulkan 24 SKS (1 SKS per mata kuliah) maka lulus secara automatis dengan
gelar Bachelor of Arts (atau yang lain) dan sudah cukup untuk lamar kerja.
Kalau diterapkan di sini, maka orang tua bisa hemat biaya satu tahun, mahasiswa
tidak akan dibuat pusing dengan belajar cara membuat skripsi, dan bisa lebih
cepat mencari pekerjaan (atau lebih baik menciptakan pekerjaan). Bagi saya
terkesan aneh bahwa syarat untuk lulus kuliah di tingkat paling rendah (S1)
lebih sulit di sini daripada di negara maju seperti Australia. Seharusnya
terbalik.
Sekian saja. Semoga bermanfaat bagi teman2 yang
peduli pada dunia pendidikan dan masa depan bangsa. Ini termasuk yang paling
minimal yang bisa dilaksanakan, dan saya tidak paham kenapa belum dilakukan
puluhan tahun yang lalu.
Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto
Ini sungguh menarik perhatian saya. Kegagalan implementasi kurikulum selama ini hanya dinilai dari 1 sisi, yaitu kurikulum itu sendiri. Padahal, seperti apapun kurikulum itu, pada tingkat implementasi setidaknya ia ditentukan oleh:
ReplyDelete1. Kesungguhan pemerintah mengawal, menstimulus, merespon, secara sigap, berani, tanpa motif UANG, apaun resikonya, dari tingkat pemerintah pusat (Presiden, DPR, DPD, Kemdikbud, dan Kem-kem terkait), provinsi (Gubernur,DPRD, Dinas Pend. Prop), kabupaten (Bupati, DPRD, Dinas Pend Kab), kecamatan (Camat, UPTD Dinas Pend.), bahkan pada level kepemimpinan kepala sekolah.
2. Kesadaran GURU sebagai ujung tombak untuk mengabdi kepada bangsa dan negara yang mestinya sampai pada level mengabaikan kepentingan pribadi, mendahulukan kepentingan anak bangsa. Tidak seenaknya sendiri, semaunya sendiri, meningkatkan kompetensinya secara sungguh-sungguh. Peningkatan kesadaran jiwa pengabdian guru dan kompetensinya menjadi syarat awal mutlak bagi implementasi kurikulum secara kaaffah (menyeluruh/holistik). Bila perlu guru yang pemalas, tidak berkompeten, tidak mau diatur, dll diberi sanksi yang tegas bila perlu diberhentikan, diganti dengan guru-guru muda yang siap terjun tanpa pamrih.
3. Kesadaran masyarakat ahli pendidikan (peneliti , dosen, widya iswara, dan lain-lain termasuk orang tua peserta didik supaya mendukung kurikulum melalui wadah yang telah ada misalnya: Dewan Pendidikan, Komite, Paguyuban Orang Tua atau Wali, dll).