Jumat, 28 September 2012 | 09:04 WIB
KOMPAS.com - Seorang kawan bercerita kepada kami bahwa
masyarakat di daerahnya punya anggapan unik. Apabila ada seorang lelaki yang
sudah berhaji dua kali, ia akan mudah mendapatkan istri yang kedua.
Anggapan ini berasal dari persepsi masyarakat setempat bahwa
orang yang sudah berhaji ulang itu adalah orang yang baik ibadahnya dan baik
pula kantongnya. Maka, dari persepsi itu, status sosial seorang yang sudah
berhaji ulang jadi semakin tinggi. Oleh karena itu, di lingkungan masyarakat ia
jadi rebutan para wanita yang siap jadi istri kedua.
Apabila persepsi seperti itu benar menurut ajaran agama,
Nabi Muhammad SAW bukanlah orang yang baik. Karena selama hidupnya, beliau
hanya berhaji satu kali. Padahal, beliau punya kesempatan tiga kali untuk
berhaji. Beliau juga punya kesempatan berumrah sunah ratusan, bahkan ribuan
kali, tetapi beliau hanya berumrah sunah dua kali. Bandingkan dengan kita,
masyarakat Muslim di Indonesia, yang rata-rata ingin berhaji setiap tahun dan
berumrah setiap bulan.
Mengapa Nabi Muhammad SAW berhaji hanya sekali dan berumrah
sunah hanya dua kali? Apakah beliau tak punya uang? Apabila beliau tak punya
uang, bukankah beliau tinggal berkata saja kepada sejumlah sahabat yang kaya
raya, seperti Abdurahman bin Auf dan Abu Ayyub al-Anshari. Tentu kedua sahabat
akan segera menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan Nabi. Namun, Nabi tak
pernah meminta-minta untuk kepentingan pribadi beliau seperti itu.
Setelah Nabi menetap di Madinah, sekurang-kurangnya terjadi
tiga hal penting. Pertama, Nabi menghadapi orang-orang yang memusuhi dan
memerangi beliau, maka Nabi menginfakkan hartanya untuk kepentingan jihad
fisabilillah melawan orang-orang itu. Kedua, akibat perang atau jihad
fisabilillah gugurlah para syuhada yang kemudian menimbulkan janda-janda dan
anak-anak yatim. Maka, harta Nabi diinfakkan untuk menyantuni para janda,
orang-orang miskin, dan anak-anak yatim.
Ketiga, banyaknya pelajar yang menuntut ilmu dari Nabi
Muhammad SAW sementara mereka tidak punya apa-apa di Madinah, baik harta maupun
keluarga. Mereka tinggal di satu ruangan di Masjid Nabawi yang disebut al-Shuffah.
Sementara untuk keperluan makan, Nabi menganjurkan kepada para sahabat untuk
menjamin pemberian makan kepada mereka. Nabi sendiri setiap hari memberikan
makan kepada 70 pelajar Shuffah.
Keutamaan ibadah sosial
Seandainya berhaji ulang itu lebih utama daripada menyantuni
janda-janda, orang miskin, anak-anak yatim, dan para pelajar yang tidak mampu,
maka Nabi tentu sudah melakukan haji ulang dan atau umrah berkali- kali. Namun,
Nabi tak melakukannya. Nabi justru menegaskan bahwa penyantun anak yatim akan
tinggal di surga bersama Nabi dan tidak terpisahkan, ibarat jari tengah dan
telunjuk.
Nabi juga menegaskan, orang yang menyantuni para janda dan
orang-orang miskin tak ubahnya seperti orang berjihad fisabilillah. Sementara
ibadah haji, apabila memenuhi syarat-syarat sehingga dapat disebut haji mabrur,
Nabi hanya menjanjikan surga saja kepada pelakunya, tanpa menyebutkan bersama
beliau.
Dari sini dapat dipahami bahwa menyantuni anak-anak yatim,
para janda, orang-orang miskin, dan para pelajar yang tak mampu jauh lebih
unggul nilai pahalanya daripada berhaji ulang. Dengan kata lain, ibadah sosial
jauh lebih utama daripada ibadah individual. Begitulah kaidah hukum Islam
menyebutkan. Bagaimanapun, Nabi tak pernah mencontohkan untuk berhaji ulang atau
berulang-ulang berumrah.
Ketika keadaan masyarakat kita sedang sangat terpuruk,
potret kemiskinan di mana-mana. Para pakar ekonomi mengatakan, sampai akhir
2011, di Indonesia masih terdapat 117 juta orang miskin. Tempat ibadah banyak
yang terbengkalai. Apabila keadaan negeri kita masih seperti itu, pantaskah
lalu kita berkali- kali berhaji dan berumrah? Ayat Al Quran mana yang menyuruh
kita melakukan itu? Hadis manakah yang menganjurkan kita untuk berbuat seperti
itu?
Inilah penyakit sosial yang menimpa masyarakat kita dan
perlu segera diobati. Obatnya adalah mengikuti perilaku Nabi dalam beribadah,
yaitu berhaji cukup sekali dan berinfak ribuan kali. Pertanyaan berikutnya,
maukah kita mengobati diri kita dari penyakit sosial yang menimpa kita itu? Atau
kita justru ingin memperparah penyakit yang sedang kita derita itu?
Ali Mustafa Yaqub Imam Besar Masjid Istiqlal
Editor : Hindra
nice sharing pak ustadz...
ReplyDelete