Berikut
ini adalah ide-ide untuk membentuk sebuah
program
pendidikan baru untuk mengatasi masalah tawuran siswa antar sekolah. Diharapkan
guru dan siswa bisa menjalankan sebagian dari ide ini secara mandiri tanpa
perlu latihan atau bantuan dari pihak lain.
Semua ide dalam
program ini tidak perlu dijalankan secara bersamaan, tapi sekolah bisa memilih
satu ide dulu dan jalankan, lalu mencoba ide kedua, dan seterusnya. Program ini
boleh disebarkan secara bebas untuk umum, dan akan di-update sewaktu-waktu.
Kalau ada orang yang mempunyai ide baru yang ingin dimasukkan ke program ini,
terutama ide yang berbasis program pendidikan, silahkan hubungi saya di email: genenetto@gmail.com.
Semoga bermanfaat,
-Gene Netto
1.
Gelang
Karet Anti-Tawuran dan Anti-Bullying
Banyak anak suka
pakai gelang karet yang lebar dengan berbagai macam logo dan pesan. Gelang
karet ini bisa dijual atau dibagikan kepada semua siswa (harga hanya beberapa
ribu saja, bisa dicari sponsor supaya gratis). Kepala sekolah bisa memberikan
izin untuk gelang itu dipakai di sekolah setiap hari, dan bahkan bisa
diwajibkan untuk sementara.
Di pinggir gelang, ditulis pesan: Stop Tawuran. Stop Bullying. Menggunakan
bahasa Inggris agar lebih menarik bagi siswa. Kalau bahasa terlalu formal,
mungkin mereka tidak tertarik menggunakannya. Pesan yang mau ditulis juga bisa
ditanyakan kepada siswa dulu, sebelum dibuat, agar mereka memilih kata-kata
yang penting bagi mereka.
TUJUAN: Dengan pemakaian gelang ini, siswa bisa
menunjukkan secara visual bahwa mereka tidak mendukung tawuran dan bullying,
dan siswa yang melakukan hal-hal itu bisa melihat bahwa perbuatan mereka tidak
didukung oleh anak lain. Harga gelang karet seperti ini di bawah 5 ribu rupiah,
dan dengan pesan jumlah seribu atau lebih, bisa dengan harga 2-3 ribu rupiah
per gelang. (Bisa cek harga di internet, ada beberapa perusahaan yang
menjualnya).
2.
Keping/Gelang
Dengan Hitungan Hari, Minggu Atau Bulan
Siswa yang tawuran
mungkin bisa dianggap “kecanduan”, setara dengan orang yang kecanduan alkohol
atau narkoba. Di negara barat, ada organisasi bernama “Alcoholics Anonymous”
(AA) untuk memberikan terapi kepada orang yang kecanduan alkohol, dan dinilai
cukup berhasil. Mungkin sebagian dari program terapi mereka bisa digunakan juga
untuk anak yang tawuran. Siswa dianggap “kecanduan tawuran”.
Dalam organisasi AA,
member diberikan sebuah keping, dengan hitungan sekian hari, minggu, bulan atau
tahun di atasnya. Ditukar setiap minggu/bulan oleh member pada saat bertemu
pembina dalam kelompok diskusinya. Sistem yang sama bisa digunakan sebagai
tanda yang jelas untuk setiap anak yang sudah tinggalkan tawuran untuk sekian
hari dan minggu.
Setiap hari atau
minggu, keping/gelang lama bisa ditukar dengan guru pembina. Di atas keping ada
tulisan “1 hari”, “2 hari” dan sebagainya. Setelah 30 hari tanpa tawuran,
diganti dengan keping/gelang mingguan. Misalnya, 4 minggu, 5 minggu tanpa
tawuran. Kalau sudah mencapai 3 bulan, bisa pindah ke bulanan sistem bulanan.
Kalau seandainya ada anak
yang mencapai 10 minggu, lalu ketahuan atau mengaku ikut tawuran lagi, maka di
depan kelas atau seluruh sekolah, keping 10 minggu harus ditukar dengan keping
baru “1 hari”, dan siswa itu harus mulai lagi dari bawah. Ditekankan bahwa
semua usaha kemarin (10 minggu tanpa tawuran) sudah hilang, dan anak harus
mulai berjuang lagi. Disemangatkan untuk melewati 10 minggu pada kesempatan
baru ini.
Keping/gelang ini
diberikan secara gratis oleh sekolah (hanya bisa didapatkan dari guru pembina)
dan wajib dibawa ke sekolah setiap hari. Bisa dibuat dalam bentuk keping yang
lepas (simpan di kantong), pin, gelang karet, kalung, atau yang lain.
TUJUAN: Sistem ini
memberikan tanda yang jelas bagi setiap anak bahwa mereka merugikan diri
sendiri dan akan kehilangan hasil dari usaha menahan diri kalau ikut tawuran 1
kali. Sistem ini perlu dijalankan sekaligus dengan pembinaan secara langsung
agar siswa memahami arti dari perjuangan mereka meninggalkan tawuran.
3.
Psikolog
Sekolah Fulltime
Setiap sekolah yang
mengalami masalah tawuran secara serius (sudah bertahun-tahun) harus mempunyai
psikolog profesional secara fulltime yang kerja di sekolah, dan bertemu dengan
anak2 yang ketahuan ikut tawuran. Mungkin sebagian dari anak ini punya masalah
sosial atau masalah keluarga yang sangat serius, dan perlu ditangani secara profesional.
Tugas ini mungkin terlalu berat untuk seorang guru BK. Gaji untuk psikolog
harus disediakan dari sekolah, pemda, pemerintah atau mungkin dari sponsor,
atau mungkin juga dibebankan sebagian biayanya kepada orang tua.
Anak yang mengalami
masalah di rumah dan datang ke sekolah dalam keadaan trauma dan stres tidak
akan bisa menjadi tenang kalau ditekan lagi oleh pihak sekolah untuk
“memperbaiki diri” tanpa ada yang memahami akar dari masalah yang dialami siswa
itu. Siswa yang ketahuan ikut tawuran wajib ketemu psikolog 2-3 kali per
minggu, dan setelah bulan pertama, psikolog bisa mengatur jadwal yang tepat
sesuai kebutuhan.
TUJUAN: Psikolog
fulltime bisa melakukan analisis profesional terhadap setiap siswa, dan
menentukan alasan mereka ikut tawuran. Kalau ada masalah sosial yang dialami,
bisa ditangani secara profesional.
4.
Kelas
Parenting Yang Wajib Bagi Orang Tua
Mungkin sebagian dari
siswa punya masalah yang cukup serius di rumah, dengan orang tua yang bersikap
keras dan kejam terhadap anaknya. Oleh karena itu, siswa tidak menghargai diri
sendiri, dan tidak bisa menghargai orang lain. Pemeriksaan terhadap orang tua
perlu dilakukan oleh psikolog sekolah dan bila ada indikasi orang tua
bermasalah, maka psikolog bisa memberikan rekomendasi terhadap Pemda atau
sekolah agar orang tua itu diwajibkan mengikuti kelas “parenting” Ini bisa
diwajibkan oleh pengadilan, pemda, atau kepala sekolah khusus untuk anak yang
pernah ditangkap dan dipastikan pernah ikut tawuran. Kelas parenting bisa
ditawarkan kepada orang tua untuk ikut secara sukarela, dan kalau mereka
menolak, baru diwajibkan dengan sangsi bagi orang tua yang menolak (misalnya
anak mereka tidak akan diterima di semua sekolah dalam wilayah yang sama, atau
yang lain).
TUJUAN: Agar orang
tua yang bermasalah paham bahwa perbuatan mereka di rumah mengganggu
perkembangan psikologis anak, dan perlu diperbaiki agar anak bisa tinggalkan
kebiasaan tawuran.
5.
Poster
Anti-Tawuran Yang Dibuat Oleh Siswa
Sekolah bisa
menyediakan beberapa foto/gambar dan siswa akan menggunakannya untuk membuat
poster sendiri (bisa ditempel saja). Siswa juga boleh membuat gambar sendiri
kalau sanggup. Sekolah juga perlu menyediakan kertas, pencil berwarna, lem,
kertas berwarna, dan hal-hal lain yang biasanya digunakan dalam kelas seni
untuk membuat poster. Gambar memberikan dua skenario yang jelas, dan siswa
harus tempelkan gambar dan membuat teks sendiri di poster
Gambar 1: sekelompok orang sedang tawuran.
Gambar 2: anak masuk penjara.
Dari dua gambar atau
foto ini, siswa harus membuat desain dengan pesan visual bahwa akibat dari
tawuran adalah penjara.
Gambar 3: siswa sedang belajar dan baca buku.
Gambar 4: orang dewasa yang menjadi pilot (atau profesi lain,
seperti dokter, pengacara, prajurit, pembalap mobil, penyanyi, dsb.).
(atau) Gambar 5: orang dewasa yang punya isteri, anak, dan
berdiri depan rumah dengan motor/mobil di sebelah (seperti iklan perumahan).
Dari dua/tiga
gambar ini, siswa harus membuat desain dengan pesan visual bahwa belajar punya
akibat positif, bisa punya karir dan keluarga.
Di bagian atas atau
bawah dari poster ini, siswa bisa menulis pesan sendiri, misalnya: PILIH
SENDIRI MASA DEPAN KAMU! Dan poster menampilkan semua gambar sekaligus, agar
kelihatan dua jalan yang jelas. Bisa ikut tawuran dan masuk penjara, atau
belajar dan dapat masa depan yang baik. Pesan-pesan tambahan boleh diberikan
oleh setiap siswa, dan dihias sesuai selera masing-masing. Siswa boleh membuat
poster sendiri, atau berkelompok. Semua poster akan dipajang di sekitar kelas
dan sekolah.
TUJUAN: Ini akan
menjadi pesan visual terhadap semua siswa bahwa tawuran tidak didukung oleh
komunitas sekolah.
6.
Program
“Mentoring” (Guru Pembina Pribadi)
Setiap anak yang
ketahuan pernah ikut tawuran, harus punya seorang “mentor” yaitu seorang guru
pembina pribadi yang bertemu dengan siswa setiap hari, dan sangat mengenal
siswa tersebut, menjadi lebih mirip dengan seorang abang daripada guru saja.
Yang terpenting adalah pembinaan dilakukan setiap hari. Sebelum pulang sekolah,
siswa wajib lapor kepada pembina/mentor. Siswa ditanyakan tentang rencananya
untuk hari itu, mau ke mana, sama siapa, untuk apa, dan sebagainya. Ditanyakan apa
mau tawuran pada hari itu atau tidak. Kalau ada orang lain yang mulai tawuran,
apa dia mau ikut, atau kembali ke sekolah, atau masuk toko sebagai tempat
perlindungan, dan sebagainya. Pembina harus menanam konsep bahwa tawuran adalah
sebuah pilihan, yang semua akibatnya negatif. Kalau program keping/gelang
dengan hitungan harian dijalankan, maka pembina bisa cek tentang jumlah
hari/minggu siswa tidak mengikuti tawuran, dan bisa meyakinkan dia untuk
mempertahankan prestasi yang baik itu.
Kalau jumlah siswa
terlalu banyak, setiap guru pembina/mentor bisa diberikan 2 siswa untuk dibina.
Kalau jumlah guru kurang, sekolah bisa minta tolong dari para orang tua,
tetangga sekolah, para tokoh agama setempat yang punya waktu kosong di sore
hari untuk menjadi pembina sukarelawan. Mereka bisa datang ke sekolah, atau
siswa diwajibkan mampir ke rumah/tempat kerja mereka, dan dapat pembinaan
sebelum pulang (cukup mengirim sms antara kepala sekolah dan orang dewasa itu
untuk memastikan siswa langsung datang ke rumahnya setelah sekolah selesai).
TUJUAN: Setiap anak
yang suka tawuran akan dapat satu orang dewasa yang sangat akrab dengan mereka,
dan membuat mereka berfikir dua kali agar tidak mengecewakan orang dewasa itu
yang memperhatikan mereka secara khusus.
7.
Sistem
Lapor Kepada Guru Dan Kepsek
Kalau ada siswa yang
mengalami bullying, atau diajak berantem, atau dipaksakan mengikuti tawuran,
bagaimana mereka bisa laporkan hal itu kepada guru dan kepala sekolah tanpa
harus datang dan bicara sendiri? Mungkin ada banyak informasi yang
disembunyikan dari para guru, karena siswa tidak percaya pada guru, atau tidak
percaya guru akan bertindak untuk melindungi mereka. Mungkin sebagian siswa
ingin lapor, tapi tidak mau ketahuan lapor oleh anak yang lain, karena takut
akan dihajar kalau lapor ke guru. Kalau bisa kirim informasi secara rahasia
lewat sms, telfon, twitter, atau email, mungkin para siswa akan menjadi lebih
berani melaporkan masalah kepada guru. Jadi perlu dibentuk suatu sistem
melaporkan informasi, bahkan secara anonymous (tanpa diketahui identitas), agar
siswa tidak ketahuan bertemu guru atau kepala sekolah, agar aman dari kemarahan
siswa lain.
TUJUAN: Memberikan
kemudahan kepada siswa untuk menyampaikan informasi kepada guru dan kepala
sekolah tanpa ketahuan siswa lain.
8.
Tatap
Muka Antara Pelaku Tawuran Dan Orang Tua “Musuh”
CATATAN PENTING:
Sangat penting untuk menyiapkan keamanan yang baik. Minta kehadiran polisi
(beberapa orang), satpam, guru bela diri, guru pembina, dan orang dewasa lain
yang mampu membantu menjaga keamanan. Karena semua anak ini kumpul di satu
lokasi, perlu dipastikan semua bisa datang dan pulang dalam keadaan aman.
Jumlah orang dewasa harus sama atau lebih dari jumlah anak yang hadir. Kalau
jumlah anak banyak, program yang sama bisa dilakukan 2-3 kali dengan undang
siswa yang berbeda pada setiap sesi.
Kumpulkan anak yang
pernah ikut tawuran, dan orang tuanya dalam satu aula. Perlu anak dan orang tua
dari 2 sekolah, sekolah A dan B. Dibuat dua baris. Anak dan orang tua dari
sekolah A di sebelah kiri, sekolah B di sebelah kanan. Semua duduk dengan kursi
masing-masing. Setiap pasangan orang tua dari sekolah A dikasih satu anak dari
sekolah B. Orang tua dari sekolah B dikasih satu anak dari sekolah A. (Dalam
kata lain, semua orang tua “tukar anak” untuk sementara).
Semua siswa harus
duduk di depan orang tua dari anak yang lain, yang dianggap “musuh”. Orang tua
bertanya kepada anak itu, “Tolong menjelaskan kenapa kamu ingin menganiaya anak
saya?” Orang tua harus dibekali dengan daftar pertanyaan dari guru
pembina/psikolog. Mereka bisa baca setiap pertanyaan, dan mendengarkan jawaban
dari siswa itu. Orang tua bisa menambahkan pertanyaan2 sendiri. Guru pembina dan
psikolog akan berjalan di antara mereka semua, ikut mendengar, dan memberikan
sedikit pengarahan bila perlu. Orang tua diminta membawa foto keluarga, dan
ditunjukkan kepada siswa itu, agar dia sadar bahwa anak yang diserang di jalan
punya keluarga juga, dan akan sangat menderita kalau anak/saudara itu terluka. Sesi
ini berlangsung untuk 1-2 jam. Bisa ditambahkan dengan sesi pembinaan secara
global oleh psikolog sekolah bagi semua siswa.
Contoh pertanyaan
yang diberikan kepada orang tua:
·
Tolong menjelaskan kenapa kamu ingin menganiaya anak saya?
·
Bagaimana perasaan kamu kalau seandainya teman kamu dianiaya di
jalan?
·
Bagaimana kira-kira perasaan KAMI kalau anak kami yang dianiaya
dan berdarah, karena dihajar oleh kamu?
·
Apa yang kamu inginkan dalam masa depan kamu? Mau jadi apa?
·
Kalau kamu punya cita-cita, bagaimana bisa tercapai kalau
kamu masuk penjara?
·
Kalau kamu punya cita-cita dan ingin menjadi [X], apakah anak
kami tidak boleh punya cita-cita juga?
·
Bagaimana anak kami bisa menjadi [X] kalau dia kena bacok
dari kamu di jalan?
·
Apa kamu senang kalau dibuat takut oleh orang lain?
·
Kenapa anak kami tidak boleh hidup tanpa merasa takut akan
dibacok oleh kamu?
·
[Dan seterusnya.]
TUJUAN: Agar setiap
siswa menjadi sadar bahwa anak lain yang dia serang di jalan punya orang tua,
keluarga, cita-cita, dan sebagainya. Siswa harus berhenti melihat anak lain
sebagai musuh, dan melihat mereka sebagai manusia yang juga disayangi
keluarganya, yang punya hak untuk mendapatkan masa depan yang baik.
9.
Tempat
Menulis Pendapat Secara Bebas
Bisa ditaruh sebuah
papan hitam yang kosong di luar kelas, pada salah satu dinding. Disediakan
kapur dan siswa dipersilahkan menulis pendapatnya secara bebas. Guru bisa
mengarahkan siswa dengan minta komentar atas sebuah tema (misalnya, “Bagaimana
pendapat kamu tentang tawuran?”) atau memberikan kebebasan mutlak terhadap
siswa untuk menulis apa saja. Mungkin sebagian dari komentar akan tidak sopan,
atau menghinakan, tapi kalau diberikan kebebasan, guru akan tahu pemikiran
siswa yang sebenarnya. Mungkin mayoritas dari siswa merasa bahwa kelas mereka
membosankan, dan malas masuk kelas, malas belajar karena tidak ada pelajaran
yang menarik, dan oleh karena itu lebih senang mencari “hiburan” di jalan lewat
tawuran. Kalau mengetahui itu, kepala sekolah bisa mengatur pelatihan bagi para
guru agar mereka bisa membuat pelajaran yang lebih menarik. Mungkin ada terlalu
banyak PR, mata pelajaran dan ujian, yang membuat siswa stres dan jenuh. Kalau
hal itu diucapkan secara tertulis, maka sekolah bisa mencari suatu cara untuk
mengurangi frekuensi PR dan ujian bila memungkinkan.
TUJUAN: Memberikan
kesempatan kepada semua siswa untuk menulis pendapat secara bebas, dan
melihatnya diterima dan ditanggapi oleh guru dan siswa lain.
10.
Menulis
Kesan Pribadi (Jurnal)
Setiap siswa yang
mengikuti tawuran bisa diwajibkan menulis pendapat dan kesannya setiap malam di
dalam sebuah buku catatan (jurnal), dan harus diserahkan kepada guru pembina
atau psikolog setiap hari. Kegiatan ini akan memaksakan mereka berfikir dan
menulis tentang kehidupan mereka sehari-hari, dan menjelaskan apa yang menjadi
beban bagi mereka. Mereka bisa membicarakan apa saja yang mereka kerjakan, atau
alami, atau inginkan di masa depan. Guru pembina atau psikolog akan membalas
dengan komentar dan pertanyaan dan ini akan membentuk dialog tertulis antara
siswa dengan guru pembina. Kegiatan ini kalau dilakukan setiap hari akan
mendorong anak untuk memikirkan apa yang mereka lakukan, kenapa, dan apa yang
mereka inginkan. Karena dipaksa menulis, mereka akan perlu berfikir dan
merenung dulu, untuk memilih kata-kata yang akan ditulis. Diharapkan ini akan
meningkatkan kesadaran mereka terhadap kehidupan mereka dan masa depan. Juga
mungkin akan menjadi ketahuan kalau mereka mengalami masalah-masalah pribadi
yang perlu dibahas dengan psikolog.
TUJUAN: Membuat siswa
lebih menjelaskan dengan kata-kata sendiri kenapa mereka ikut tawuran, apa yang
menjadi beban dalam kehidupan mereka, dan apa yang mereka inginkan di masa
depan.
11.
Kelompok
Diskusi
Siswa yang ikut
tawuran diwajibkan kumpul dalam satu kelas dan bicara dengan guru pembina atau psikolog setiap
minggu, mungkin 1-2 kali. Mereka harus duduk bersama dan menjelaskan perasaan
dan pemikiran mereka. Guru atau psikolog akan mengarahkan diskusi agar mereka
menjadi terbuka untuk membahas kenapa mereka melakukan tawuran, dan apa yang
mereka harapkan dari tindakan itu. Siswa diberikan pengarahan untuk memikirkan
cara-cara lain untuk mencari tujuan yang sama. Kalau misalnya tawuran dianggap
bagian dari prestasi sekolah, maka diarahkan untuk memikirkan lomba olahraga
dan sebagainya yang juga bisa membawa prestasi buat sekolah, tapi dengan cara
yang positif, dan membawa pujian dari orang tua dan masyarakat tanpa ada risiko
mati atau masuk penjara.
TUJUAN: Kelompok
diskusi akan menjadi forum terbuka bagi siswa untuk menyampaikan pendapatnya
dan mendengarkan pendapat dari teman-teman yang lain. Belum tentu semuanya
punya pendapat yang sama tentang penyebab tawuran.
12.
Latihan
Menahan Diri Pada Saat Dihinakan
Mungkin sebagian
siswa cepat naik darah pada saat mereka berada di jalan dan diejek atau
dihinakan siswa dari sekolah lain. Dengan guru pembina, setiap anak bisa
diberikan latihan menahan diri pada saat dihinakan. (Saya pernah melakukan ini
dengan anak yang berantem di kelas setiap hari karena dihinakan teman kelas,
dan dia langsung berhenti).
Dibutuhkan guru
pembina yang sangat sanggup menahan diri dan dijamin tidak akan naik darah
kalau dihinakan siswa. Dimulai dulu secara perorangan dengan satu anak di kelas
kosong. Diberikan tantangan: Siswa akan dapat yang sekian banyak uang (misalnya
100.000 rupiah) kalau bisa membuat guru naik darah dan emosi. Dipersilahkan
menggunakan kata-kata yang paling kasar dan menghinakan, dengan jaminan tidak
akan kena sangsi apapun dan tidak akan dipukul oleh guru. Bisa juga membuat
perjanjian itu di depan guru lain sebagai saksi.
Lalu siswa itu
dipersilahkan menghinakan guru, dengan kata-kata kasar apapun, dan harus bisa
membuat guru naik darah untuk menang uangnya. Pada saat disebut “anjing”,
“bangsat”, “guru goblok” dan sebagainya, guru cukup senyum saja dan menunggu
siswa kehabisan kata. Kalau siswa sudah kehabisan ide, ditantang untuk teruskan
dengan penghinaan yang lain karena guru belum marah (guru masih senyum saja dan
tidak terpengaruh).
Setelah siswa
menyerah, guru pembina bisa menjelaskan bahwa kita tidak harus naik darah
secara automatis pada saat dihinakan orang lain. Kita MEMILIH untuk menjadi
marah, dan itu tidak wajib. Lalu guru dan siswa bisa ulangi aktivitas itu
sekali lagi, tapi secara bergantian. Siswa menghinakan guru, guru membalas
(dengan tetap senyum), siswa menghinakan lagi, guru menghinakan lagi, dan
seterusnya untuk 1-2 minit saja. Kondisi siswa perlu dipantau (mencari tanda
kemarahan di mukanya) dan kalau kelihatan mulai naik darah, langsung berhenti
dan suruh tenang dulu. Bisa diulangi lagi pada besok hari, sampai siswa
berhasil melakukan aktivitas itu tanpa naik darah.
Kalau setiap siswa
sudah berhasil secara perorangan dan tidak naik darah pada saat mendengarkan
kata-kata yang menghinakan, bisa dilakukan lagi dengan 2-3 siswa sekaligus.
Diberikan tantangan yang sama: membuat guru pembina naik darah dan menang
100.000. Lalu dilakukan secara bergantian dengan kelompok kecil itu.
Kalau dengan kelompok
kecil sudah bisa, dicoba lagi dengan 5-10 anak secara bersamaan dengan cara
yang sama. Dalam setiap pertemuan, ditekankan bahwa kita harus memilih untuk
naik darah kalau dihinakan orang lain. Kita juga bisa memilih untuk tidak
peduli pada ucapan orang itu. Orang yang bicara itu bukan teman kita, jadi buat
apa peduli pada pendapat dia? Abaikan saja, dan tinggalkan. Kita tahu bahwa
kita bukan orang “goblok” jadi kalau kita percaya diri, tidak perlu peduli
kalau orang lain mengatakan kita goblok. Itu hanya pendapat dia, padahal dia
tidak tahu apa-apa.
Juga diajarkan kepada
siswa bahwa orang yang menghinakan mereka itu justru ingin melihat mereka naik
darah dan perang di jalan. Anak itu berhasil “mengontrol perbuatan siswa” lewat
penghinaan, jadi kata-kata penghinaan itu sama dengan “perintah menyerang”.
Bisa ditanyakan apakah siswa mau nurut dengan kemauan anak dari sekolah lain?
Atau mau mengatur diri sendiri, tanpa bisa diperintahkan untuk melakukan apa
saja oleh anak lain? Kalau siswa dihinakan, lalu langsung naik darah dan
tawuran, berarti siswa berada di bahwa kendali anak itu. Mau seperti itu? Atau
lebih baik abaikan anak-anak itu saja?
TUJUAN: Membuat siswa
sadar bahwa mereka bisa mendengarkan kata-kata yang menghinakan dan tidak perlu
menjadi marah atau menyerang. Siswa yang sudah berhasil dalam latihan ini tidak
akan sensitif dan cepat marah kalau dihinakan orang lain, dan punya kemampuan
untuk mengendalikan diri.
13.
Poster/Video
Menolak Anak Tawuran Dalam Semua Tim
Poster/Video bisa
dibuat oleh siswa laki-laki, dari semua tim, kelompok olahraga, dan organisasi.
Kalau ikut tawuran, tidak akan diterima di tim futsal, tim basket, band, dll.
Menekankan bahwa tidak ada siswa yang lain yang mau berteman dengan anak yang
memilih untuk ikut tawuran. Bentuk pernyataan bisa bervariasi.
·
Poster. Anak laki tempelkan foto tim atau kelompok, dan
menulis pernyataan bahwa tidak akan terima siswa yang ikut tawuran. (Mungkin
ditambah dengan komentar anti-bullying and anti kekerasan sekaligus).
·
Video. Setiap tim dan kelompok siswa direkam membuat pesan
anti-tawuran. Cukup menggunakan kamera digital. Cari siswa atau guru IT yang
bisa editing film (ada programnya). Minta semua rekaman dijadikan satu video
singkat. Misalnya dengan 20-30 adegan singkat berdurasi puluhan detik saja,
yang isinya pernyataan “Tidak menerima siswa yang ikut tawuran di dalam semua
tim”. Film di-upload ke YouTube, dan disebarkan lewat email, Facebook dan
Twitter.
·
Lisan. Diumumkan di depan sekolah, atau di depan kelas. Semua
anggota dari setiap tim dan organisasi bisa diminta maju dan menjelaskan secara
lisan bahwa mereka tidak ingin terima siswa yang ikut tawuran dalam tim mereka,
karena anak tawuran bersikap kejam dan siap menganiaya anak lain di jalan. Jadi
kalau mau bergabung dengan tim atau organisasi, harus bersikap jantan dan
dewasa, dan tinggalkan tawuran, dsb.
TUJUAN: Membuat siswa
yang ikut tawuran memilih antara semua tim, organisasi, dan komunitas sekolah,
atau perang di jalan. Jadi kalau mereka mengatakan tawuran dilakukan untuk
menjaga kehormatan sekolah, maka siswa yang lain bisa menolak persepsi itu.
Kehormatan sekolah dijaga lewat prestasi di bidang akademik dan olahraga, bukan
lewat perang di jalan.
14.
Poster/Video
Menolak Anak Tawuran Sebagai Pacar
Program ini bukan
untuk promosikan pacaran, tapi kalau dinilai tidak cocok dengan budaya sekolah,
bisa ditinggalkan. Merupakan kenyataan bahwa sebagian dari siswa ingin punya
pacar atau sudah punya pacar. Keinginan ini mungkin bisa dimanfaatkan untuk
mengubah perilakunya. Kumpulkan para perempuan (dianggap “calon pacar”), dan
membantu mereka membuat pernyataan bahwa cowok yang ikut tawuran tidak layak
menjadi pacar mereka. Bentuk pernyataan bisa bervariasi.
Siswa bisa membuat
poster, atau merekam pesan visual, dijadikan video, upload ke YouTube, sebarkan
lewat email, Facebook, Twitter, dll. Juga bisa dilakukan secara lisan di depan
kelas, atau di depan sekolah. Perempuan yang sudah ketahuan pacaran dengan anak
yang ikut tawuran bisa diminta memberikan pilihan kepada pacarnya: tinggalkan
tawuran atau tinggalkan pacar, dan dibiarkan pilih sendiri. Mana yang lebih
diinginkan?
TUJUAN: Manfaatkan
keinginan siswa untuk dapat pacar, dan yakinkan mereka bahwa anak yang ikut
tawuran akan kesulitan dapat pacar karena sifat anak yang melakukan tawuran
tidak disenangi perempuan.
15.
Lukisan
Dinding (Mural)
Siswa yang ikut
tawuran bisa kerja sama untuk membuat sebuah lukisan dinding (mural) di tembok
sekolah, dengan tema anti-kekerasan. Siswa harus kerja kelompok, bisa dari satu
sekolah, atau dipadu antara dua sekolah, misalnya 2 anak dari sekolah A, 2 dari
sekolah B. Dibina oleh guru kesenian, dan guru pembina lain. Bisa minta bantuan
kepada seniman dari masyarakat setempat untuk datang dan bantu secara
sukarelawan untuk memberikan masukan dan ide kepada siswa, dan bantu mereka
membuat desain yang menarik. Setiap kelompok siswa diberikan lokasi yang
berbeda untuk membuat lukisannya. Setiap semester atau setiap tahun, bisa
dibuat lukisan yang baru.
TUJUAN: Agar siswa yang
ikut tawuran membuat pesan visual yang menolak tawuran dan kekerasan. Mereka
akan melihatnya setiap hari dan mengenalnya sebagai usaha mereka yang positif.
16.
Latihan
Bela Diri
Dalam latihan bela
diri seperti Silat, Karate, Tai Kwon Do dan lain-lain, semua murid diajarkan
untuk mengendalikan diri, percaya diri, membela kebenaran, melindungi orang lemah
yang tidak sanggup membela diri, menjadi sehat secara jasmani dan rohani, dan
sebagainya.
Murid bela diri diajarkan
untuk MELAWAN orang jahat (seperti preman, perampok), dan bukan untuk MENJADI orang
jahat. Kalau siswa sudah ketahuan ikut tawuran, bisa diwajibkan mengikuti kelas
bela diri di sekolah atau di wilayah terdekat, dan pelatihnya akan diberikan
permintaan dari pihak sekolah agar lebih memperhatikan perkembangan moral dan
akhlak murid-murid itu. Dengan mengikuti kelas bela diri, siswa akan belajar
untuk tanggung jawab, dan belajar bahwa orang kuat justru bisa menahan diri
ketika marah atau tersinggung.
Bisa dibuat
perjanjian khusus bahwa kalau siswa itu ketahuan ikut tawuran lagi, maka dalam
latihan bela diri yang berikut, dia harus fight dengan pelatihnya. Semua
pelatih bisa mengalahkan murid baru secara mudah, dan murid akan kena pukulan
dan tendangan dan akan cepat merasa capek (juga mungkin dia merasa takut fight
sama pelatihnya, jadi sudah gugup dari awalnya). Murid itu tidak akan punya
pilihan selain menyerah dan mengakui kelemahannya. Setelah itu pelatih dan juga
guru pembina di sekolah akan memberikan masukan bahwa sebenarnya dia bukan
orang jagoan, dan menyerang anak di jalan tidak akan membuatnya jagoan. Melawan
satu pelatih saja tidak bisa, jadi lempar batu di jalan tidak akan menjadikan
dia orang hebat.
TUJUAN: Memberikan
pelajaran kepada siswa agar kekuatan fisik dan ilmu bela diri digunakan untuk
melindungi dan bukan menganiaya. Kalau mau dapat prestasi sebagai orang kuat
maka bisa dicari secara baik dalam pertandingan bela diri.
17.
Membuat
Kartun Dengan Tema Anti-Tawuran
Siswa bisa membuat
kartun atau poster dengan tema anti-tawuran. Semua kartun dan poster dipasang
di sekitar sekolah, di dalam dan di luar kelas. Ini akan menjadi tanda visual
bahwa semua siswa yang lain tidak mendukung tawuran. Bisa dibuat kartun yang
berseri, sehingga setiap minggu ada yang baru untuk dibaca. Bisa juga
disebarkan lewat internet agar dibaca lebih luas. Gambar untuk kartun bisa
dibuat oleh siswa seni yang punya kemampuan, dan diberikan pasangan anak
tawuran yang bisa membantu membuat skenario dan teks, dengan pembinan dari guru
pembina atau psikolog. Tema dalam kartun harus selalu anti-kekerasan, dan
menunjukkan hasil yang buruk dari tawuran.
TUJUAN: Melibatkan
siswa dalam tindakan positif yang memberikan pesan visual anti-tawuran.
Ide-ide Lain
18.
Electronic
Tagging (Gelang Kaki Elektronik)
Di Amerika, “electronic
tagging” (sebuah gelang karet dengan chip GPS di dalamnya) digunakan untuk
orang yang tidak perlu dipenjarakan, tapi masih perlu diketahui lokasinya.
Misalnya, untuk kriminal kelas kecil, atau kriminal yang sedang direhabilitasi,
dan sebagainya. Harga untuk memasang “electronic tag” di pergelangan kaki hanya
perlu biasa operasional US$1 per hari (biaya per orang), dan biaya ini bisa
dibebankan terhadap orang tua. (Saya tidak tahu biaya total untuk memasang seluruh
sistemnya, tapi ini perlu dibeli oleh Polisi atau Pemda, dan dipakai untuk
seluruh kota). Tag ini, seperti gelang karet besar yang menggunakan sistem GPS
seperti HP, dan lokasi siswa akan ketahuan 24 jam. Kalau beberapa siswa
berkumpul di satu jalan, maka akan ketahuan langsung, dan polisi bisa dikirim
ke lokasi itu dengan cepat. Gelang ini bisa dipasang untuk 6 bulan atau 1 tahun
bagi setiap siswa yang ketahuan ikut tawuran, dan hanya dilepaskan setelah
terbukti mereka tidak berada di lokasi tawuran selama masa itu. Dengan gelang
ini, mereka masih bisa bersekolah, tapi tidak bisa menyembunyikan lokasinya. Gelang
ini tahan air, jadi bisa dipakai pada saat mandi, dan kalau ada usaha
melepaskannya, akan bunyikan alarm. Siswa yang coba melepaskannya bisa kena
sangsi yang lebih berat seperti penjara.
TUJUAN: Agar lokasi
siswa yang ikut tawuran diketahui 24 jam. Dengan itu, mereka tidak akan bisa berkumpul
untuk melakukan tawuran.
19.
Terapi
Meditasi
Ada orang yang
percaya bahwa terapi meditasi atau yoga bisa membantu sebagian orang menjadi
lebih tenang. Bisa diwajibkan bagi siswa yang ketahuan punya kesulitan
mengatasi keadaan emosionalnya. Kegiatan ini bisa dilakukan berkelompok, atau
secara individu dengan seorang pelatih. Terapi ini bisa diwajibkan oleh pihak
sekolah, atau pengadilan, dan biaya dibebankan ke orang tua. Anak bisa
diajarkan untuk meditasi sendiri di rumah, dan bisa ditanyakan oleh guru
pembina atau psikolog untuk memastikan mereka melakukannya dan apa yang mereka
rasakan sebagai hasilnya. Diutamakan bahwa siswa harus mulai bertanggung jawab
atas perbuatannya sendiri, dan menjadi marah terhadap siswa lain adalah sebuah
pilihan yang bisa dilawan.
TUJUAN: Membuat siswa
lebih tenang dalam kehidupan sehari-hari agar niat berperang di jalan
berkurang.
20.
Terapi
Pijit
Ada orang yang
percaya bahwa pijit di leher dan punggung bisa mengurangi stress dan membantu
orang menjadi lebih santai, tenang dan segar. Mungkin terapi pijit seperti itu akan
bermanfaat untuk sebagian siswa untuk membuat mereka lebih tenang di dalam
sekolah, dan membantu mereka tidur lebih cepat dan dalam kondisi yang lebih
baik. Sekolah bisa mencari seorang ahli pijit dengan skil yang tinggi, dan
bayar untuk menyediakan pijit di sekolah bagi siswa yang ikut tawuran. Bila
dana kurang, bisa dicari bantuan dari orang tua atau sponsor lain.
TUJUAN: Membuat siswa
lebih tenang dalam kehidupan sehari-hari agar niat berperang di jalan
berkurang.
21.
Kesimpulan
Program pendidikan
anti-tawuran ini berisi ide-ide yang mungkin bermanfaat kalau dijalankan oleh
sekolah-sekolah yang mengalami masalah tawuran siswa antar sekolah. Sebaiknya
dilakukan koordinasi antara guru dan kepala sekolah dalam kedua sekolah yang
bermasalah (kalau sering terjadi perang antara dua sekolah yang sama) agar
masalah ini ditangani secara bersamaan dan komprehensif.
Semua ide dalam
program ini tidak perlu dijalankan secara bersamaan, tapi sekolah bisa memilih
satu ide dulu dan jalankan, lalu mencoba ide kedua, dan seterusnya. Program ini
disebarkan untuk umum, dan akan di-update sewaktu-waktu. Kalau ada orang yang
mempunyai ide baru yang ingin dimasukkan ke program ini, terutama ide yang
berbasis program pendidikan, silahkan hubungi saya di email: genenetto@gmail.com.
Semoga bermanfaat.
-Gene Netto
Pak Gene, saya salut bapak sudah buat tulisan ini. saya sangat setuju dgn point no 4, 6, 8. Kayanya setiap sekolah sudah harus melakukan ini.
ReplyDeleteTambahan, jangan lupa 1 hal lagi pak. "Gurunya", (1) harus didik juga jangan sampai ada guru juga yang malah menggunakan kekerasan. (2) Bagaimana caranya supaya Guru juga harus dididik jadi orang yang disegani oleh murid karena kebijakan, kearifan, kecerdasannya, bukan karena keseraman/ketakutannya.
Menurut saya salah satu faktor ada kekerasan di anak adalah krn tidak adanya orang yang jadi panutan anak. Tidak ada di rumah, tidak ada di sekolah.
Itu aja tambahan saya, semoga sukses pak, semoga tidak ada lagi kekerasan dalam sekolah dan tawuran antar pelajar. Salam.