Ini bagian yang paling menarik
bagi saya:
"Sabut kelapa pada sebagian masyarakat pesisir Indonesia adalah sampah yang harus dimusnahkan, dibuang dan dibakar pada saat musim kemarau. Namun demikian, di tangan orang-orang kreatif, sabut kelapa yang tidak berguna tersebut dapat diolah menjadi bahan industri yang bernilai ekonomi tinggi."
Artinya: orang Indonesia tidak kreatif? Ada 13 Trilun di depan mata, tapi dibakar begitu saja karena…?
"Sabut kelapa pada sebagian masyarakat pesisir Indonesia adalah sampah yang harus dimusnahkan, dibuang dan dibakar pada saat musim kemarau. Namun demikian, di tangan orang-orang kreatif, sabut kelapa yang tidak berguna tersebut dapat diolah menjadi bahan industri yang bernilai ekonomi tinggi."
Artinya: orang Indonesia tidak kreatif? Ada 13 Trilun di depan mata, tapi dibakar begitu saja karena…?
Gene
Bakar Sabut
Kelapa, Rp 13 Triliun Menguap
Penulis : Nasrullah Nara | Minggu, 11 November 2012 | 04:33
WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Asosiasi Industri Sabut Kelapa
Indonesia (AISKI) memperkirakan, Indonesia kehilangan potensi pendapatan dari
sabut kelapa mencapai Rp13 triliun per tahun.
Angka ini diperoleh dari perhitungan jumlah produksi buah
kelapa Indonesai yang mencapai 15 miliar butir per tahun, dan baru dapat diolah
sekitar 480 juta butir atau 3,2 persen per tahun.
Setiap butir sabut kelapa rata-rata menghasilkan serat sabut
kelapa atau dalam perdagangan internasional disebut coco fiber sebanyak 0,15
kilogram, dan serbuk sabut kelapa atau coco peat sebanyak 0,39 kilogram.
Harga penjualan coco fiber di pasar dalam negeri berkisar Rp
2.000 - Rp 2.500 per kilogram, dan coco peat berkisar Rp 1.000 - Rp 1.500 per
kilogram.
Demikian diungkapkan Ketua Bidang Penelitian dan
Pengembangan AISKI, Ady Indra Pawennari, usai melakukan pertemuan dengan
beberapa importir coco fiber dan coco peat asal China, Singapura, dan Malaysia
di Sungai Guntung, Kecamatan Kateman, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, Sabtu
(10/11/2012).
"Ini fakta yang sangat memprihatinkan. Kita kehilangan
potensi pendapatan sekitar Rp13 triliun per tahun dari sabut kelapa yang
dibakar dan dibuang oleh masyarakt. Semua ini terjadi karena ketidakberdayaan
dan kurangnya pengetahuan mereka, akan manfaat sabut kelapa. Karena itu,
pemerintah harus bergerak dan AISKI siap diajak kerjasama," ujarnya.
Menurut Ady, sabut kelapa pada sebagian masyarakat pesisir
Indonesia adalah sampah yang harus dimusnahkan, dibuang dan dibakar pada saat
musim kemarau. Namun demikian, di tangan orang-orang kreatif, sabut kelapa yang
tidak berguna tersebut dapat diolah menjadi bahan industri yang bernilai
ekonomi tinggi.
"Di negara-negara maju, coco fiber banyak digunakan
sebagai pengganti busa dan bahan sintetis lainnya. Misalnya, untuk bahan baku
industri spring bed, matras, sofa, bantal, jok mobil, karpet dan tali.
Sementara coco peat lebih banyak digunakan sebagai media tanam pengganti tanah
dan pupuk organik," jelasnya.
Dengan jumlah penduduk 250 juta jiwa, Indonesia sebetulnya
merupakan pasar potensial untuk penjualan produk berbahan baku sabut kelapa,
seperti penggunaan coco fiber pada spring bed, kasur, bantal, sofa, jok motor,
dan tali. Sedangkan coco peat dapat digunakan sebagai pupuk organik untuk
meningkatkan produktivitas tanaman holtikultura.
Berdasarkan catatan AISKI, Indonesia walaupun merupakan
negara penghasil buah kelapa terbesar di dunia, namun belum banyak berperan
dalam pangsa pasar ekspor raw material sabut kelapa untuk kebutuhan dunia.
Indonesia hanya mampu memasok sabut kelapa sekitar 10 persen dari kebutuhan
dunia. Sementara Srilanka dan India memasok di atas 40 persen.
Editor : Agus Mulyadi
No comments:
Post a Comment