Search This Blog

Labels

alam (8) amal (100) anak (299) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (8) dakwah (87) dhuafa (18) for fun (12) Gene (222) guru (61) hadiths (9) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (52) indonesia (570) islam (557) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (357) kesehatan (97) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (52) my books (2) orang tua (8) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (503) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (11) pesantren (34) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (179) Sejarah (5) sekolah (79) shalat (9) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

16 August, 2015

KPAI: Perayaan Kemerdekaan Masih Kontraproduktif bagi Anak Indonesia



Minggu, 16 Agustus 2015 14:15 WIB
Solopos.com, JAKARTA-Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus masih kontraproduktif untuk kemerdekaan anak Indonesia. “Beberapa hal masih kontraproduktif dengan spirit kemerdekaan, kata Susanto di Jakarta, Minggu. Mendefinisikan kata “kemerdekaan”, kata dia, tidak semudah mengatakannya sebagai slogan apalagi bila kita kaitkan dengan penyelenggaraan perlindungan anak.

Menurut dia, KPAI masih mencatat berbagai tindakan yang merugikan anak Pertama, kata dia, masih banyak anak menjadi korban eksploitasi ekonomi seperti menjadi pengemis, peminta-minta, korban jasa eksploitasi seksual karena dipaksa oleh orang dewasa. Menurut dia, anak tidak berdaya melawan, menghindar apalagi menentang. Anak demikian harus dimerdekakan. Kedua, lanjut dia, masih banyak anak yang menjadi korban pola pengasuhan yang salah. Tidak sedikit anak yang dicubit, ditendang, dipukul, bahkan diciderai oleh orang terdekat dengan alasan “mendidik”.

Selanjutnya ketiga, banyak anak menjadi korban sistem sekolah yang bernuansa kekerasan dan senioritas. Junior tidak kuasa melindungi dirinya dari kultur primitif kekerasan yang dibungkus kegiatan masa orientasi sekolah, pengenalan sekolah atau bahkan alasan pengkaderan, kata Susanto. Kemudian keempat, masih kata dia, masih banyak anak menjadi korban tontonan pornografi, kekerasan, konflik, bahkan kejahatan. Kondisi tontonan demikian harus dihapus untuk kepentingan terbaik anak.

Kelima, lanjut Susanto, masih banyak anak yang menjadi korban bisnis atas nama kebahagiaan dan keceriaan anak. Tidak sedikit arena bermain justru tidak sesuai dengan tumbuh kembang anak. Mainan berkonten peperangan, berkelahi, pembunuhan, banyak ditemukan dimainkan oleh anak. Kemudian keenam, kata dia, masih banyak anak menjadi korban dari perilaku hidup yang tidak sehat untuk anak. Anak seringkali jadi korban perokok aktif yang berakhir sakit.

Ketujuh, kata Susanto, masih banyak anak menjadi korban eksploitasi politik. Seringkali anak dijadikan alat kampanye, juru kampenye bahkan ikut memobilisasi massa kampanye. Anak demikian harus dimerdekakan. Terakhir kedelapan, kata Susanto, masih banyak anak menjadi korban produk mainan yang bermasalah. Tidak sedikit anak bermain dengan media mainan tidak sehat, bau, dan mengandung bahan berbahaya untuk anak. “Secara prinsip, anak memiliki hak untuk dimerdekakan. Semua pihak harus memastikan bahwa anak tidak menjadi korban kebijakan yang salah. Negara tidak boleh kalah,” kata dia.

1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...