Search This Blog

Labels

alam (8) amal (100) anak (299) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (8) dakwah (87) dhuafa (18) for fun (12) Gene (222) guru (61) hadiths (9) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (52) indonesia (570) islam (556) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (357) kesehatan (97) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (52) my books (2) orang tua (8) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (503) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (11) pesantren (34) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (178) Sejarah (5) sekolah (79) shalat (9) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

10 August, 2024

Beberapa Poin Penting Terkait Kasus Pencabulan 43 Santri

Assalamu’alaikum wr.wb. Di bulan Juli, 2024, ada 43 santri yang dicabuli dalam pesantren MTI di Agam, Sumatera Barat. Tiga anak disodomi dan 40 dicabuli, oleh dua ustadz. Dari kasus itu, ada beberapa poin penting yang perlu dipahami oleh para orang tua.

1.    Ustadz ancam santri bahwa kalau tidak mau dicabuli, tidak bisa naik kelas. Ancaman seperti ini sering efektif untuk memaksa anak taat pada ustadz. Anak tidak pernah diajar untuk siap “melawan” ustadz, guru, bapak tiri, atau saudara yang suruh mereka berbuat salah, lalu cari pertolongan dari orang dewasa yang lain. Hanya diajarkan untuk “diam dan taat” pada orang yang berkuasa.
2.    Setelah dicabuli, para santri dipaksa bersumpah demi Allah mereka tidak akan ceritakan perkara itu kepada orang lain. Jadi agama diperalat untuk memaksa mereka diam. Dan mereka tidak pernah diajarkan bahwa mereka bisa dan seharusnya menolak sumpah seperti itu.

3.    Setelah dicabuli berkali-kali, seorang santri telfon orang tua dan minta pindah ke kost di luar pesantren. Orang tua takut anaknya akan terpengaruh “pergaulan bebas” kalau tinggal di luar, jadi memaksanya tetap di asrama pesantren. Orang tua tidak mencari tahu alasannya anak minta pindah. Melarang saja.
4.    Karena sudah bersumpah kepada Allah, santri takut jujur dengan orang tua.
5.    Setelah buka rahasia, orang tua suruh anaknya kabur.

6.    Orang tua tidak panggil polisi dan kirim ke pesantren.
7.    Orang tua korban hanya memikirkan keselamatan anaknya sendiri dulu. Anaknya orang lain, bukan urusan saya. (Dan ini sikap yang standar).
8.    Setelah anak kabur, baru kakak temannya yang bawa korban ke polisi.
9.    Pencabulan bisa berlangsung bertahun-tahun karena tidak pernah ada “pelatihan anti-pencabulan” di semua pesantren, karena kementerian agama dan pemerintah tidak anggap perlindungan anak penting.

10.    Tidak ada poster yang wajib dipasang di semua pesantren dengan beberapa nama dan nomor telfon yang bisa dihubungi bagi anak yang alami kekerasan.
11.    Karena tidak ada cara mudah bagi korban untuk melaporkan pelaku, 43 anak bisa dicabuli terus selama beberapa tahun.
12.    Pesantren MTI dalam kasus ini terlihat bagus sekali, langsung jujur dan terbuka, dan siap kerja sama dengan polisi.

13.    Dalam ribuan kasus yang pernah saya baca, kebanyakan pesantren utamakan perlindungan “nama baik pesantren” di atas perlindungan anak. Jadi ketika terjadi sebuah kasus, langsung dirahasiakan, dan minta semua pihak membuat kesepakatan damai saja, demi nama baik pesantren, dan dilarang lapor ke polisi.
14.    Dalam banyak kasus, tidak ada usaha serius untuk mencari semua korban. Jadi kalau sudah 1, 2, atau 3 korban yang lapor, simsalabim, sudah cukup, dan kasus ditutupi secepatnya.

15.    Mungkin sebagian korban sudah lulus atau pindah tempat, tapi tidak ada usaha mencari mereka agar mereka bisa dapat pertolongan. Lebih penting kasus cepat selesai, demi nama baik pesantren.
16.    Seratus juta orang tua, 70 juta siswa dan santri, dan 3 juta guru sekolah diam saja dan membiarkan pencabulan terhadap anak berlangsung terus. Setiap satu orang merasa bukan urusan mereka, selama masih anaknya “orang lain” yang menjadi korban.
17.    Dan ketika anak sendiri menjadi korban, 100% dari orang tua, dan ustadz, dan guru, dan teman pelajar dan santri menyatakan dengan suara yang satu: “KAMI TIDAK MENYANGKA!”

Solusi terhadap masalah ini cukup mudah. Pelatihan yang wajib, di semua sekolah dan pesantren. Poster yang wajib dipasang dengan info tentang siapa yang bisa dihubungi kalau anak alami kekerasan. Dan seterusnya. Tidak sulit dilaksanakan. Tetapi tidak ada yang mau pedulikan solusi. Jadi 80 juta anak Indonesia hanya bisa diam saja dan menunggu saatnya menjadi korban, karena orang dewasa di sekitar mereka anggap ini bukan masalah serius. Dan semua orang dewasa yang sanggup bertindak selalu menunggu “orang lain” bertindak duluan. Ini hasil kemerdekaan bagi 80 juta anak Indonesia? Diabaikan dan dibiarkan menjadi korban kekerasan terus? Boleh minta Belanda kembali?
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto  

Menyoal Kasus Dugaan Kekerasan Seksual 43 Santri di Agam, 2 Guru Ditangkap, Korban Alami Trauma dan Stigma
https://regional.kompas.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...