Search This Blog

Labels

alam (8) amal (100) anak (299) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (8) dakwah (87) dhuafa (18) for fun (12) Gene (222) guru (61) hadiths (9) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (52) indonesia (570) islam (557) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (357) kesehatan (97) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (52) my books (2) orang tua (8) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (503) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (11) pesantren (34) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (179) Sejarah (5) sekolah (79) shalat (9) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

24 November, 2008

Makkah Dan Provokator Haji

Jumat, 21 November 2008 pukul 08:45:00

Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub - Imam Besar Masjid Istiqlal

Awal November 2008 ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) diundang oleh Pemerintah Saudi Arabia untuk mengunjungi negara kerajaan itu. Di samping pertemuan di Riyadh, salah satu agenda penting adalah melihat lokasi perluasan tempat-tempat ibadah haji, khususnya perluasan tempat sai di Makkah.

Ini dilakukan karena MUI banyak menerima pertanyaan dari Muslimin di Indonesia tentang hukum melaksanakan sai di tempat sai yang baru diperluas, menyusul adanya pendapat bahwa tempat sai yang baru itu sudah keluar dari posisi tempat sai yang asli, sebelum diperluas. Setelah delegasi MUI yang terdiri dari 10 orang itu melakukan pengamatan di lapangan, ternyata lokasi tempat sai yang baru itu tidak keluar dari posisinya semula, yaitu antara gunung Shafa dan gunung Marwa.

Lokasi sai semula lebarnya hanya kurang lebih 20 meter dengan dua jalur berlawanan. Lokasi sai yang sekarang hanya ditambah kurang lebih 20 meter sehingga secara keseluruhan lebarnya sekarang menjadi 40 meter dengan dua jalur yang berlawanan.
Kontroversi itu timbul karena lokasi sai yang lama dipagar tembok sehingga ada yang menduga bahwa di luar tembok itu bukan lokasi sai. Padahal, tembok itu suatu hal yang baru dan tidak pernah ada pada masa Nabi SAW.

Tuntunan sai dari Nabi SAW adalah antara Shafa dan Marwa. Ini artinya beribadah sai di luar tembok itu tetap sah, dengan syarat sai itu dilaksanakan antara Shafa dan Marwa.
Shafa dan Marwa adalah dua buah gunung di dekat Ka'bah. Sebagai sebuah gunung (jabal), tidak mungkin alasnya hanya berdiameter 20 meter. Gunung yang diameter alasnya hanya 20 meter, tidak disebut jabal (gunung), tetapi gundukan pasir.

Lagi pula, ketika hal itu dikonfirmasikan kepada para ulama senior Arab Saudi, ternyata ada 30 orang lanjut usia yang memberikan kesaksian, berdasarkan akta-akta otentik bahwa lokasi perluasan sai itu tidak keluar dari posisinya semula. Karenanya, sahnya ibadah sai di lokasinya yang baru tidak diragukan lagi. Apakah dengan keputusan fatwa ulama senior (Hai'ah Kibar al-Ulama) Arab Saudi tentang sahnya beribadah sai di lokasi yang baru itu berarti permasalahan haji sudah selesai?

Permasalahan haji, terutama yang menyangkut kepadatan jamaah adalah masalah yang selalu timbul setiap musim haji. Penyebab utamanya karena lokasi-lokasi di Kota Suci Makkah dan sekitarnya tidak pernah bertambah, sementara jumlah jamaah bertambah setiap tahun.
Yang namanya Shafa, Marwa, Mina, Muzdalifah, Arafah dan lain-lain, sejak zaman Nabi SAW sampai sekarang tetap itu-itu juga. Gunung tidak pernah melebar, Arafah tidak pernah meluas.
Untuk mengantisipasi membesarnya jumlah jamaah haji dan terbatasnya tempat-tempat ibadah, Pemerintah Saudi Arabia telah melakukan dua hal. Pertama, memperluas tempat-tempat ibadah haji. Kedua, melalui OKI (Organisasi Konferensi Islam) dibuat kuota jamaah, dari 1.000 orang penduduk Muslim dapat mengirimkan satu orang untuk berhaji. Ini artinya, apabila jumlah umat Islam di dunia ada satu miliar orang, yang dibolehkan menjalankan ibadah haji hanya satu juta orang.

Sekiranya sistem kuota ini diterapkan secara ketat, tampaknya itu juga belum mengurangi kepadatan jamaah di lokasi tertentu, seperti tempat pelontaran jamrah (bukan jumrah), tempat tawaf, sai, dan lain-lain. Apalagi sering diberitakan jumlah jamaah haji mencapai dua juta orang atau lebih.

Salah satu penyebab kepadatan jamaah haji adalah banyaknya orang yang beribadah haji berkali-kali. Ini karena ada anggapan semakin sering orang pergi ke Makkah, semakin baik pula citranya di masyarakat, baik dalam arti ketaatannya kepada Allah karena sering mendatangi rumah-Nya dan baik dari segi kantongnya karena banyak uangnya. Karenanya, di sebuah daerah, orang lelaki yang sudah berhaji dua kali, ia akan mudah mendapatkan istri kedua.

Apabila anggapan ini benar, maka Nabi SAW bukanlah orang yang baik karena beliau punya tiga kesempatan berhaji, tetapi berhaji hanya sekali. Beliau juga punya ratusan bahkan ribuan kesempatan berumrah, tetapi berumrah sunah hanya dua kali. Sementara itu, kaum Muslimin berkeinginan berhaji setiap tahun dan berumrah setiap bulan.

Ketika umat Islam sedang terpuruk, kemiskinan merata di mana-mana, banyak bayi yang busung lapar dan kekurangan gizi, masjid-masjid, pesantren, dan anak-anak yatim masih banyak yang telantar, kemudian ada orang yang berhaji berkali-kali, atau berumrah setiap bulan, maka kita perlu bertanya, ajaran siapakah yang dia ikuti? Mengikuti Allah? Mana ada ayat Alquran yang menyuruhnya begitu. Mengikuti Nabi SAW? Mana ada Hadis yang menyuruhnya begitu. Atau dia mengikuti hawa nafsunya atas bisikan setan?

Di mana terdapat umat Islam, ternyata di situ terdapat iklan secara besar-besaran agar mereka berduyun-duyun pergi ke Makkah. Gencarnya iklan seperti ini menimbulkan kecurigaan bahwa di balik itu ada aktor intelektual alias provokator yang menginginkan agar dana umat Islam tidak dipakai untuk membangun, meningkatkan kesejahteraan, dan mengentaskan kemiskinan di antara mereka, tetapi biar dihabiskan untuk jalan-jalan ke Makkah saja.

Prof Dr Ala al-Din al-Za'tari, sekretaris Dewan Fatwa Republik Arab Syria, pernah melaporkan sebuah penelitian bahwa setiap tahun umat Islam melemparkan dana 5 miliar dolar AS (sekitar Rp 55 triliun) untuk perbuatan yang tidak wajib, yaitu berhaji kedua dan seterusnya. Ini belum termasuk dana yang dilempar untuk umrah sunah.

Sementara itu, FAO (Food and Agriculture Organization), Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, melaporkan dunia masih didiami 830 juta orang miskin, yaitu mereka yang penghasilannya per hari minus dua dolar AS (Rp 20 ribu). Dari jumlah 830 juta warga miskin itu, 700 juta adalah orang Islam.

Kecurigaan adanya provokator haji di atas berubah menjadi keyakinan setelah pada pertengahan Ramadhan lalu, kami diberitahu di West Palm Beach, Florida, AS, bahwa di kota ini ada seorang Indonesia yang bekerja di sebuah perusahaan milik orang Yahudi. Setiap menjelang musim haji, bos yang Yahudi ini mendorong karyawannya yang beragama Islam pergi ke Makkah.

Mereka akan diberi cuti. Ketika kami tanya, apakah ongkos untuk naik haji itu ditanggung oleh perusahaan? Pertanyaan ini dijawab, tidak, ongkos ditanggung masing-masing karyawan yang Muslim yang mau pergi haji itu.

Maka lengkaplah sudah keyakinan kami bahwa tangan-tangan Yahudi sudah bermain dalam urusan haji. Mereka akan bertepuk tangan ketika umat Islam terpuruk, tetapi orang yang kaya di antara mereka grudag-grudug berbondong-bondong, jor-joran pergi haji. Mereka akan bersedih apabila dana Rp 55 triliun yang terlempar setiap tahun untuk sesuatu yang tidak wajib itu digunakan untuk membangun umat Islam, meningkatkan pendidikan, mengentaskan kemiskinan dan menyejahterakan mereka.

Apa yang terjadi di Florida tadi hanyalah contoh yang muncul ke permukaan. Tidak mustahil itu terjadi di tempat lain, hanya kami belum tahu.
Karenanya, masalah kepadatan jamaah haji di Makkah dan sekitarnya tidak akan teratasi dengan hanya menambah sarana dan prasarana kendati ini tetap diperlukan. Kita sangat berterima kasih kepada Pemerintah Saudi Arabia di bawah Khadim al-Haramain al-Syarifain, Raja Abdullah bin Abdul Aziz Alu Su'ud, atas prakarsanya memberikan kemudahan bagi jamaah haji.

Namun, itu harus dibarengi oleh sikap umat Islam untuk berhaji mengikuti tuntunan dan contoh dari Nabi. Berhaji hanya sekali dan berinfak ribuan kali, bukan mengikuti hawa nafsu dan terbius provokator.

Maka untuk mencapai itu, perlu diambil langkah-langkah. Pertama, dikeluarkannya fatwa ulama, baik level nasional maupun internasional agar umat Islam menjalankan ibadah haji cukup sekali, yaitu dengan mengikuti Rasulullah SAW dalam beribadah haji yang berhaji sekali seumur hidup kendati punya kesempatan tiga kali untuk itu. Ulama salaf, seperti Imam al-Hasan al-Bashri, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Sirin, dan Imam Ibrahim al-Nakha'i, pernah mengeluarkan fatwa bahwa umrah dua kali dalam satu tahun hukumnya makruh (baca: haram) karena Nabi SAW dan para ulama salaf tidak pernah melakukannya. Maka, sudah wajib bagi ulama masa kini mengeluarkan fatwa seperti itu yang berkaitan dengan haji.

Kedua, umat Islam yang berkemampuan berulang-ulang haji difatwakan wajib menyalurkan dananya dalam ibadah-ibadah sosial, seperti dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Ketiga, pemerintah perlu membuat aturan yang tegas berikut sanksinya sebagai penjabaran regulasi atas fatwa-fatwa di atas.

Keempat, para ulama, ustadz, dan mubaligh harus memberikan contoh kepada umat untuk mengikuti Rasulullah yang beribadah haji hanya satu kali dan tak terpancing ulah provokator. Apabila kepergian mereka didanai oleh orang lain, ulama seharusnya memberikan pengarahan kepada para penyandang dana itu untuk menyalurkan dananya dalam ibadah sosial seperti dicontohkan oleh Rasulullah.

Sumber: Republika.com

6 comments:

  1. Assalamualaikum

    Hal yang terlintas pertama kali di kepalaku saat saudara sepupuku akan menunaikan ibadah haji yg kedua, nanti tgl 27 Nop 2008 ( setelah umroh 2x), adalah apakah syurga hanya bisa di raih lewat ibadah Haji dan Umroh.

    Waktu itu beliau Umroh ber 7 orang, saat ini pergi haji ber 3.

    Seandainya uang itu diserahkan kepada kaum muslim dhuafa, tentu mereka akan lebih tenang dalam beribadah, karena tidak memikirkan perut mereka yg lapar.

    Aku jadi teringat suatu cerita, bahwa ada orang yang hendak pergi berhaji, tetpai karena dilingkungannya banyak orang yang kelaparan, dia mengurungkan niat pergi hajinya dan uang disedehkahkan kepada mereka yang kelaparan.

    Bahwa empati yang dalam tentu terlahir dari orang-orang yang telah diberi oleh Allah sifat seperti itu karena keimanannya.

    Tugas kita adalah bagaimana kita mendekatkan diri kepada Allah agar Allah Subhanahu Wata'ala memberi kita akhlak yang mulia.

    Wallohu a'lam Bishowab

    ReplyDelete
  2. Assalamualaikum,
    sebenarnya hal ini terkait dengan psikologis mereka yang pergi haji berkali-kali itu. tidak bisa disalahkan juga, mereka merasakan kekaguman yang sangat, keagungan dan kedekatan luar biasa kepada Yang Maha Agung, Allah SWT selama berada di sana, sehingga perasaan ini membuat mereka ketagihan untuk datang dan datang lagi. Jadi yang perlu dibenahi adalah bagaimana mendatangkan perasaan seperti itu tidak hanya saat berhaji.tetapi juga saat sholat lima waktu, sholat-sholat sunnah,mengaji, berzakat, bersedekah, setiap saat, setiap tarikan dan hembusan nafas.Saya pribadi belum bisa melakukannya. Jadi mungkin tidak hanya perlu dibuat peraturan2 yang nantinya malah membuat mereka yang ingin berhaji lebih dari sekali merasa dibatasi, merasa tidak dihargai haknya, tetapi juga sangat perlu pendekatan yang lebih manusiawi, lebih menyentuh, lebih mengena, lebih menyadarkan.Bagaimana? itu tugas kita semua sebagai umat muslim, bukan hanya pemerintah.

    ReplyDelete
  3. Aww.

    Saya hanya akan comment mengenai seseorang yang beberapa kali menunaikan ibadah haji.

    Pertama-tama saya hendak katakan bahwa tidak dapat dipungkiri bila SEKALI kita menunaikan ibadah haji karena Lillahita "alla PASTI ada keinginan yang sangat kuat untuk kembali menjalaninya. Subhannallah....kita harus menjalaninya sendiri hingga mengerti rasa itu.

    Tetapi .... saya setuju dengan comment Little_Word yang mengatakan bahwa perlu PENATAAN RASA sehingga kita bisa memilah antara keinginan, nafsu, kebutuhan atau kewajiban. Setiap tahun kita latihan menahan hawa nafsu di bulan Ramadhan, sehingga diharapkan kita sudah terbiasa & terlatih untuk memilah hal-hal tsb. di atas sehingga kita dapat selalu menenggang perasaan masyarakat banyak di atas kepentingan pribadi kita sebagai individu.

    Www.

    ReplyDelete
  4. hhm....
    saya sudah pernah haji sekali. dan jujur... kalo punya uang lebih (diluar zakat tentu saja), pingin bisa mengulanginya lagi. karena kenikmatan haji yang luar biasa. saya yakin, orang yang sudah pernah mengunjungi tanah suci, pasti ingin kembali kesana lagi.

    tapi saya juga setuju, kalo Haji wajibnya hanya sekali,selanjutnya kalo ada orang yang setiap tahun berangkat haji... mungkin memang akan lebih baik kalo uangnya dipergunakan untuk kesejahteraan umat.

    pemerintah saudi arabia sudah lama mengeluarkan larangan bagi warga negaranya untuk berhaji setiap tahun. maksimal setiap warga hanya boleh berhaji lima tahun sekali. kira-kira begitu cerita teman saya yang asli orang Riyadh.

    dan sepertinya, pemerintah indonesia juga akan mengeluarkan peraturan serupa. mungkin berupa pembatasan bagi orang yang sudah pergi haji untuk pergi haji lagi di tahun-tahun berikutnya.

    ReplyDelete
  5. Nikmatnya berhaji memang tiada bandingannya, rasanya ingin sekali kembali kesana merengkuh nikmatnya bersujud di tanah suci Mu, haji memang ibadah individual tapi moment haji adalah suatu momentum dimana kita bisa bertemu dgn saudara sesama muslim di seluruh dunia, menyambut indahnya keseragaman walaupun berbeda tradisi, berbeda kulit, berbeda bahasa tetapi tetap satu syahadat.

    Saya pribadi setuju dengan pembatasan haji yang telah dilaksanakan oleh Depag yaitu 5 tahun sekali. Kalau untuk dibatasi satu kali seumur hidup rasanya berat karena hak tersebut menyangkut hak individu dalam melaksanakan ibadah.

    Tapi mengingat akhir2 ini byk nya sudara2 kita yang masih membutuhkan pertolongan krn berat nya beban hidup yang ditanggung, memang selakyaknya kita berpikir ulang untuk melaksanakan haji yang berulang2 terlebih jika dilaksanakan hampir setiap tahun, akankah lebih baik jika dana tersebut diprioritaskan utk kemasalatan umat terlebih dahulu, tanpa mengurangi pahala yang kita dapat.

    Mungkin kita sebagai muslim harus kembali beribadah sesuai pedoman “At Tiba Ar Rasul”

    Insya Allah, Allah akan melimpahkan rahmatnya kepada kita semua, amin



    Wassallam,
    Faza

    ReplyDelete
  6. sebelum mengkritik sodara-sodara kita yang berhaji berkali-kali, ada baiknya kita kritik dulu departemen agama sebagai penyelenggara haji yang kualitasnya bisa dibilang buruk.
    Bagaimana mau ngatur supaya orang2 cukup berhaji 1 kali kalo si penyelenggaranya sendiri adalah departemen terkorup di republik ini.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...