Senin, 21 Desember 2009 | 05:36 WIB
YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Sedikitnya 2,3 juta anak dan 2,27 juta perempuan di berbagai daerah pernah menjadi korban kekerasan. Pelaku kekerasan berlaku umum, tidak memiliki relevansi dengan tingkat pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan.
”Pelaku kekerasan tidak ada kaitannya pula dengan status sosial, agama dan keyakinan, serta suku bangsa, etnis, atau ras,” kata Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari saat membuka sarasehan Kebijakan Perlindungan Perempuan dari Tindak Kekerasan dan Permasalahan Sosial di Yogyakarta, Sabtu (19/12).
Ia mengatakan, tingginya kerentanan perempuan dan anak terhadap kekerasan terlihat dari data survei kekerasan Badan Pusat Statistik bekerja sama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (2006). Angka kekerasan terhadap perempuan secara nasional mencapai 3,07 persen. Ini berarti 2,27 juta perempuan pernah mengalami tindak kekerasan atau berarti dari setiap 10.000 perempuan Indonesia, sekitar 307 perempuan di antaranya pernah mengalami kekerasan.
Adapun kekerasan terhadap anak mencapai 3,02 persen yang berarti setiap 10.000 anak, 302 anak di antaranya pernah mengalami tindak kekerasan atau berarti 2,29 juta anak pernah menjadi korban kekerasan. ”Angka yang sangat besar. Namun, tingginya kasus kekerasan itu juga menjadi pertanda peningkatan kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya, didengarnya, atau dilihatnya,” ujar Linda.
Budaya patriarki
Ia mengatakan, meski sudah ada berbagai aturan perundang- undangan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di rumah tangga dan di ranah publik masih terjadi. ”Penyebabnya di antaranya adalah faktor budaya patriarki yang memandang perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Ini masalah klasik,” katanya.
Di samping itu, persepsi keliru tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak dianggap sebagai hak dari pelaku. ”Kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dan terus terjadi sepanjang ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan masih diyakini dan dimanifestasikan dalam kehidupan sosial,” kata Linda.
Terkait perlindungan anak yang memiliki masalah dengan hukum, Linda mengatakan, bertepatan dengan peringatan Hari Ibu, 22 Desember, akan ditandatangani surat keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung, Kapolri, Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, serta Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang anak bermasalah dengan hukum. Ini untuk memberikan pemenuhan hak anak agar tetap dapat mendapatkan hak-haknya meski sedang mengalami masalah hukum.
”Ini agar anak-anak mendapatkan keadilan restoratif. Kami akan mencoba melahirkan satu kesepakatan sehingga mulai penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga dalam penahanan dapat dilakukan dalam sistem yang sama,” katanya.
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dalam sambutan yang dibacakan Asisten Sekretaris Daerah DIY Tavip Agus Rayanto mengungkapkan, kekerasan dalam rumah tangga merupakan fenomena gunung es karena masih banyak yang belum terungkap. (RWN)
Sumber: kompas.com
Search This Blog
Labels
alam
(8)
amal
(100)
anak
(299)
anak yatim
(118)
bilingual
(22)
bisnis dan pelayanan
(6)
budaya
(8)
dakwah
(87)
dhuafa
(18)
for fun
(12)
Gene
(222)
guru
(61)
hadiths
(9)
halal-haram
(24)
Hoax dan Rekayasa
(34)
hukum
(68)
hukum islam
(52)
indonesia
(570)
islam
(556)
jakarta
(34)
kekerasan terhadap anak
(357)
kesehatan
(97)
Kisah Dakwah
(10)
Kisah Sedekah
(11)
konsultasi
(11)
kontroversi
(5)
korupsi
(27)
KPK
(16)
Kristen
(14)
lingkungan
(19)
mohon bantuan
(40)
muallaf
(52)
my books
(2)
orang tua
(8)
palestina
(34)
pemerintah
(136)
Pemilu 2009
(63)
pendidikan
(503)
pengumuman
(27)
perang
(10)
perbandingan agama
(11)
pernikahan
(11)
pesantren
(34)
politik
(127)
Politik Indonesia
(53)
Progam Sosial
(60)
puasa
(38)
renungan
(178)
Sejarah
(5)
sekolah
(79)
shalat
(9)
sosial
(321)
tanya-jawab
(15)
taubat
(6)
umum
(13)
Virus Corona
(24)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment