Sayangnya Polisi tidak berani melakukan ini dengan para
koruptor yang menjadi pejabat negara atau anggota DPR, padahal merekalah yang
merusak bangsa ini dari atas, dan bukan anak kecil yang mengambil barang yang
ditemukan di pinggir jalan.
Bagaimana kalau menteri, gubenur, walikota, bupati, atau anggota
DPR ditangkap, digebukin, ditampar, ditendang, ditahan 25 hari, diancam dan
disuruh memberikan tanda tangan pada pengakuan tertulis, diperiksa tanpa
pengacara, lalu baru dibawa ke persidangan untuk melanjutkan kasusnya, dan para
hakim selalu setuju untuk teruskan pemeriksaan dan persidangan?
Berapa banyak koruptor yang akan masuk penjara selama
puluhan tahun kalau Polisi (dan hakim) berani bersikap begitu dengan elit
politik. Sayangnya, Polisi hanya berani bertindak tegas dan keras terhadap anak
kecil…
Wassalam,
Gene
Kasus Pencurian
Pulsa: Polisi Interogasi Anak SMP Pakai Siksaan
INILAH.COM, Jakarta – Salah satu rekan DS yang turut
ditangkap Polisi karena dituduh mencuri voucher Rp10 ribu, M Luki (14) mengaku
sempat dipukul oleh polisi saat ditangkap. Siswa kelas 2 SMP Islam Al Jihad
Johar Baru, Jakarta Pusat ini dipukuli setelah didata oleh pihak kepolisian.
Saat awal pemeriksaan, Luki mengaku masih dalam kondisi
yang biasa saja. Tidak ada tanda-tanda jika dia akan dipukuli. “Waktu masih
duduk di kursi sih enggak, biasa saja,” kata Luki saat berada di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, Kamis (28/4/2011).
Namun, setelah itu, dia kemudian duduk di lantai. Pada
saat itulah, Luki kemudian diinterogasi dan mendapat perlakuan kasar dari
aparat kepolisian. “Semua tubuh kena pukul. Tangan juga ditendang,” kata Luki.
Mendapat perlakuan kasar tersebut, siswa kelas 2 SMP
inipun berusaha melindungi diri dengan menutup muka dan wajahnya. Luki merasa
takut jika mukanya juga menjadi sasaran pemukulan. Namun, tetap saja wajahnya
juga terkena bogem polisi.
Karena dalam keadaan menunduk, Luki tidak tahu dan tidak
kenal siapa saja nama polisi yang memukulnya. Yang pasti, polisi itu lebih dari
satu orang. “Muka juga dipukul. Pas dipukul saya dalam keadaan menunduk.
Disuruh ngaku kalau Luki yang ngambil,” ceritanya.
Namun, Luki tetap ngotot bahwa dia tidak merasa mengambil
voucher tersebut. Cuma dia memang membuangnya setelah diberikan dari rekannya
yang lain karena merasa takut dan sudah dalam keadaan dikejar-kejar.
Tidak Cuma itu, Luki juga mengaku bahwa dia dituduh
mencuri handphone. Padahal, handphone tersebut adalah milik dia, bukan dari
hasil curian. “Saya disangka nyuri HP padahal itu HP saya sendiri,” katanya. Sementara
itu, salah satu rekannya yang lain yaitu Ahmad Wibowo atau Bowo (15) juga
mengalami hal serupa. Bowo mengaku kalau dirinya ditampar.
Menanggapi perihal ini, kuasa hukum dari terdakwa DS,
Supriyadi Sebayang dari Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) membenarkannya.
Namun, dia akan membuktikan hal ini di pengadilan nantinya. “Itu akan kita
ungkapkan di depan pengadilan,” katanya.
DS, bocah kelas 2 SMP itu dituntut melanggar KUHP pasal
362 jo 363 tentang pencurian dengan ancaman tujuh tahun penjara. [tjs]
Pengadilan anak
14 tahun berlanjut
Terbaru 28 April 2011 - 21:20 WIB
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan
kasus pidana dugaan pencurian barang bernilai Rp10 ribu dengan terdakwa seorang
anak usia 14 tahun, tetap diteruskan.
Anak laki-lakinya yang baru kelas 2 SMP itu ditangkap dan
ditahan polisi setelah sebuah kerusuhan di daerah Johar Baru Jakarta Pusat
meletup, 10 Maret lalu.
Menurut polisi, anak berinisial DS tertangkap tangan
mencuri selembar tiket isi ulang pulsa telepon genggam senilai Rp10 ribu dari
sebuah kios telepon. Sebaliknya menurut kuasa hukumnya, DS hanya menemukan
tiket isi ulang itu di jalan lalu memungutnya.
DS bukan cuma disangka dengan pasal pencurian tetapi juga
pencurian ditengah situasi rusuh, sehingga bisa terkena ancaman hukuman hingga
tujuh tahun penjara.
Anak di bawah umur ini sempat di tahan selama 25 hari,
meski berbagai kritik datang mempertanyakan dasar penahanannya.
Hendra Supriatna, kuasa hukum DS, menyatakan sangat
kecewa dengan keputusan hakim itu.
Azas restoratif
Dia mempertanyakan mengapa polisi, jaksa maupun hakim
sama sekali tidak mempertimbangkan aturan Surat Keputusan Bersama, SKB,
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial,
Kementerian Hukum dan HAM, Mahkamah Agung dan Mabes Polri yang menyatakan anak
terkait kasus pidana harus memperhatikan asas keadilan restoratif.
''Proses penyelesaian anak berhadapan dengan hukum, itu
cukup didatangkan orang tuanya, kalau ada korban didatangkan korbannya, pihak
sekolah didatangkan untuk memberikan bimbingan kalau memang salah,' kata Hendra
kepada BBC Indonesia.
''Suruh orang tuanya tanda tangan, kembalikan anak yang
bersangkutan ke orang tua. Selesai itu. Tidak perlu mengacu ke undang-undang,''
tambahnya.
Komnas Perlindungan Anak mengkhawatirkan kasus ini akan
membuat kasus yang menimpa anak-anak akan semakin sering muncul bahkan ketika
dasar hukumnya tidak kuat. Ketua Komnas tersebut, Arist Merdeka Sirait
menyimpulkan bahwa kasus ini menunjukkan masih enggannya penegak hukum
mengikuti aturan hukum kasus pidana anak.
''Mereka masih menggunakan KUHAP tidak melihat yang
lain-lain. Sehingga kasus ini nampaknya dipaksakan,'' kata Arist.
''Kalau ini dipaksakan maka ini merugikan atau melanggar
hak anak. Seharusnya itu bisa diselesaikan di luar pengadilan. Itu yang disebut
restorasi justice.''
Pada paruh pertama tahun 2010 lalu, KPAI telah menerima
130 pengaduan terkait kasus pidana anak. Sebanyak 80 persen di antaranya muncul
karena anak harus ditahan di tahanan kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan.
testing
ReplyDeletehaduh keterlaluan. Tajam sekali "hukum yang mereka buat" terhadap orang-orang miskin, lemah dan tidak berdaya. Semoga Allah mengazab orang-orang yang terlibat didalamnya.
ReplyDeleteSaya benci koruptor
ReplyDelete