Kamis, 12 Januari 2012 08:02 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA
Bulan Agustus yang akan datang insya Allah bangsa Indonesia
berusia 67 tahun. Bagaimana keadaan bangsa Indonesia sekarang setelah merdeka?
Semua orang akan menjawab serentak: terpuruk. Laporan akhir 2011 menyebutkan,
apabila mengikuti indikator Bank Dunia yang menyatakan bahwa orang yang miskin
adalah orang yang penghasilanya per hari minus dua dolar AS (Rp 18 ribu), maka
di Indonesia sekarang terdapat 117 juta orang miskin.
Negara tetangga yang usianya lebih muda dari Indonesia sudah
menjadi negara majikan. Sementara Indonesia masih menjadi negara pekerja. Kita
terkadang bertanya, apa kesalahan kita dalam mengurus ekonomi Indonesia. Apakah
para ahli ekonomi tidak pandai atau karena masalah lain.
Kendati bukan merupakan sebab atas terpuruknya bangsa
Indonesia, namun hal-hal berikut ini dapat memberikan gambaran yang wajar
apabila bangsa Indonesia masih terpuruk sampai sekarang. Wajar apabila kita
masih terpuruk karena dalam beribadah kita juga lebih menyukai ibadah yang
pahalanya minimalis.
Pertama, ketika ada dua macam ibadah yang pekerjaannya sama,
yang satu akan mendapatkan pahala 27 derajat dan yang satu lagi akan
mendapatkan pahala satu derajat apabila ibadah itu baik. Ternyata, kita lebih
banyak yang memilih pahala satu derajat daripada 27 derajat. Contohnya, shalat
berjamaah dan sendirian. Silakan perhatikan di mana-mana umat Islam Indonesia
berlomba-lomba besar-besaran masjid. Namun, dalam waktu yang sama mereka juga
berlomba kosong-kosongan masjid.
Kedua, ada ibadah yang ringan untuk dikerjakan namun
pahalanya luar biasa, yaitu menyantuni anak yatim. Nabi SAW bersabda, “Saya dan
penyantun anak yatim seperti dua jari ini di Surga.” Nabi SAW menunjukkan jari
telunjuk dan jari tengah. Di sisi lain ada ibadah yang sangat berat dilakukan
karena yang bersangkutan harus memiliki persiapan uang yang cukup, mental, dan
fisik yang prima, dan balasannya surga, yaitu haji.
Perhatikan kita umat Islam Indonesia lebih banyak memilih
yang mana? Menyantuni anak yatim atau berhaji ulang. Tidak dapat dimungkiri
ternyata kita lebih banyak memilih berhaji ulang daripada menyantuni anak
yatim.
Ketiga, ada ibadah yang sangat ringan dikerjakan, namun Nabi
SAW akan mendoakan empat kali bagi yang melakukannya agar ia diberi rahmat oleh
Allah SWT, yakni menggundul kepala bagi laki-laki ketika tahallul seusai
berihram haji atau umrah. Di sisi lain, Nabi SAW hanya mendoakan satu rahmat bagi
yang memendekkan rambut tidak menggundulnya ketika tahallul. Tapi, mayoritas
jamaah haji Indonesia memilih memendekkan rambutnya dan tidak menggundulnya.
Keempat, Nabi SAW tidak pernah membatasi jumlah rakaat untuk
Qiyam Ramadhan (tarawih). Tapi kita umat Islam Indonesia lebih banyak memilih
Qiyam Ramadhan yang jumlah rakaatnya minimalis. Contoh-contoh di atas
membuktikan bahwa dalam beribadah kita lebih memilih ibadah yang pahalanya
minimalis daripada ibadah yang pahalanya maksimalis. Karena itu, kita tidak
perlu menyalahkan orang lain apabila kita juga masih menjadi bangsa yang
ekonominya minimalis. Dan, tampaknya kita perlu melakukan reorientasi ibadah,
agar pahalanya maksimalis.
Redaktur: Heri Ruslan
No comments:
Post a Comment