Rabu, 21 Desember 2011 | 00:38:17 WITA | 315 HITS
JAKARTA, FAJAR -- Tim Independen Pengawas Reformasi Birokrasi yang bertugas
untuk menata aparatur negara di tanah air, melansir data yang mencengangkan.
Mereka menyebutkan, transaksi kotor, seperti suap dan sejenisnya, dalam urusan
penerimaan CPNS baru dan mutasi aparatur di seluruh daerah mencapai Rp30
triliun dalam setahun.
Anggota tim independen Sofian Effendi di Jakarta,
Selasa 20 Desember menuturkan, kabar adanya suap-menyuap dalam perekrutan CPNS
baru sudah bukan kabar burung lagi. "Itu sudah nyata. Ada sejumlah
mantan pejabat negara sendiri yang melapor anak mereka harus setor uang
jika ingin jadi CPNS," tutur mantan rektor UGM itu. Dia menambahkan, praktik
ini sebagian besar terjadi di daerah. Di instansi pusat tidak terlalu mencolok,
karena dekat dengan pengawasan negara.
Effendi menuturkan, ada dua titik utama yang bisa dijadikan
praktik mengeruk pundi-pundi uang. Selain pada urusan rekrutmen CPNS baru, dia
mengatakan transaksi kotor juga terjadi ketika ada PNS akan menduduki pos-pos
penting. Seperti lurah, camat, hingga kepala dinas atau kepala SKPD (Satuan
Kerja Perangkat Daerah).
Selain itu, penunjukan jabatan kepala BUMD (Badan Usaha
Milik Daerah) juga, seperti usaha mengelola air minum dan pasar juga rentan
berbau praktik suap. Effendi menjelaskan, banyak sekali indikator untuk
melihat kentalnya aroma suap dalam penunjukan kepala dinas atau BUMD.
Di antaranya adalah, tingginya tingkat mutasi atau rotasi.
"Hasil kajian kami, mutasi atau rotasi atau pencopotan itu karena yang
bersangkutan tidak bisa melunasi tunggakan uang suap," kata dia.
Rata-rata, uang suap ini tidak dibayar sekaligus. Tetapi, dibayar dengan cara
diangsur. Risiko bagi pejabat yang menyuap bisa diberhentikan seketika jika
tidak bisa melunasi uang suap tadi.
Mantan kepala BKN itu lantas mengatakan, rata-rata di
seluruh daerah tarif suap untuk meloloskan seseorang menjadi CPNS sekitar Rp150
juta hingga Rp200 juta. Sementara tarif yang dipatok untuk PNS yang ingin duduk
sebagai kepala dinas atau kepala BUMD berkisar antara Rp300 juta hingga Rp400
juta. Tarif yang paling tinggi, menurut Effendi, adalah ketika ada seseorang
PNS yang ingin duduk sebagai sekertaris daerah (Sekda). "Bisa sampai Rp700
juta," katanya.
Lantas, kemanakah muara aliran uang kongkalikong atau suap
tadi? Dengan mantap Effendi mengatakan bermuara ke kepala daerah. Baik itu
gubernur, walikota, hingga bupati. Kalaupun yang akhirnya ditangkap polisi
adalah seorang calo, ini merupakan eksekutor lapangan saja. Dia menyangkan
upaya penegakan oleh kepolisian yang berhenti pada aktor lapangan saja.
Tudingan Effendi tertuju kepada para kepala daerah tadi
karena uang hasil suap itu digunakan untuk menambal biaya kampanye si kepala
daerah. "Jika uang suap tadi lancar setiap tahun masuk ke kantongnya,
dalam dua tahun ongkos kampanyenya sudah balik modal," tukas Effendi.
Pria kelahiran Bangka 28 Februari 1945 itu mengatakan,
proses penerimaan CPNS baru maupun rotasi atau mutasi kepala dinas dan BUMN
menjadi layaknya mesin ATM kepala daerah. "Dengan bergulirnya agenda
reformasi, seperti moratorium CPNS baru, salah satu mesin ATM mereka saat ini
mati," kata dia.
Effendi mengingatkan, kepala daerah sudah tidak perlu lagi
mengeruk uang dalam proses penerimaan CPNS baru, maupun saat mengangkat kepala
dinas atau kepala BUMD. Apalagi, saat ini menurut Effendi BPK dan PPATK sudah
mulai menelusuri praktik suap tadi.
Effendi mengancam, jika praktik suap itu masih terjadi, tim
reformasi birokrasi tidak akan memberikan jatah kuota CPNS daerah baru.
Sementara itu, pengangkatan kepala dinas dan sekda, akan dilakukan komite
khusus yang masih dirancang pembentukannya. Dasar pembentukan komite khusus ini
adalah RUU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang masih digodok di DPR. (jpnn/sil)
No comments:
Post a Comment