[Dari seorang teman, pengamat pendidikan]
Testimoni Anggota Tim Sukses UN: Beban Moral, Hina di Depan
Siswa
Isteri saya seorang guru fisika, di bilangan Jakarta Barat.
Ia diperintahkan kepala sekolah menjadi anggota TIM SUKSES UN. Tugasnya sangat
sederhana. Buka soal UN dan kerjakan. Lalu, tutup lagi soalnya. Kunci jawaban
disebarkan ke siswa.
Modus itu berjalan sempurna. Tim Sukses berisi gabungan
beberapa sekolah dalam satu rayon atau lintas rayon. Semua anggota tim diberi
tugas berbeda. Ada yang mendapatkan lembar soal, membuka, mengelem, menjawab
setiap soal, dan mendistribusikan jawaban, menyiapkan ruangan dan
mengamankannya, dan bekerja sama dengan pengawas, reguler atau independen, dll.
Tahun pertama, isteri saya hanya bertugas menjawab soal
saja. Dosa sih, tapi tidak memalukan. Niat membantu siswa, entahlah apa niat
ini lazim atau dibuat-buat, pokoknya "jawab soal cepat." Bagian
mendistribusikan jawaban bukan tugasnya. Alhamdulillah.
Tahun kedua, nah ini sudah dosa dan sekaligus memalukan.
Duduk sebagai pengawas di ruang kelas, sekaligus mendistribusikan jawaban ke
siswa. Caranya bisa berbagai macam. Bisa menyuruh siswa ke toilet dan di toilet
sudah disediakan selembar kertas berisi jawaban dengan kode "bagikan ke
temenmu." Ada juga melalui sms sebelum masuk ke ruangan. Kadang bagikan
saja di ruang kelas. Pengawas juga maklum. Mereka juga "anggota jaringan
Tim Sukses UN."
Isteri saya kerap saya mintai "jawaban via sms."
Saya hanya ingin memastikan "kebocoran soal dan menyebarnya kunci
jawaban" seperti dilansir media itu benar atau tidak. Setelah dikirimi
kunci jawaban, saya baru yakin "oh media memang benar."
Bahkan menurutnya, kunci jawaban itu didistribusikan oleh
wakil kepala sekolah bagian kurikulum. Distribusi kunci jawaban ini terencana
sistematis dan bersifat masif.
Biasanya Mendikbud atau staf-stafnya bicara, "kunci
jawaban itu palsu." Saya tersenyum saja membaca statemen itu. Kita
buktikan di akhir UN saja atau saat kelulusan tiba. Tingkat kelulusan siswa di
DKI Jakarta tidak pernah turun dari angka 95% (bisa dicek lagi kebenarannya).
Itu artinya kebocoran soal menyumbang persentase menggembirakan dalam meraih
kelulusan siswa, kelulusan UN siswa di DKI Jakarta.
Ini di DKI. Ibu Kota Republik Indonesia. Kota besar. Kota
yang menjadi barometer segalanya secara nasional. Bagaimana di Ende, Larantuka,
Maybrat, Dogiyai, Janeponto, Banggai, Banggai Kepulauan, dan masih banyak lagi.
Indonesia, negeri dengan ribuan pulau, pada hari ujian nasional itu secara
masif menyebarkan ketidakjujuran, masif dan serempak. Kebohongan massal.
Isteri saya adalah alumni pondok pesantren di Langitan,
Tuban. Latar belakang inilah yang membuat beban moral, perasaan menanggung
dosa, memberi efek yang sangat dalam. Setiap bertemu siswa yang pernah diberi
kunci jawaban, ia merasa terhina. "Sepertinya, jadi guru sudah tidak
berharga di mata siswa," katanya.
Tuhan, ampunÃlah isteriku. Isteriku mengerti menyebarkan
kunci jawaban itu perbuatan tidak terpuji. Tetapi, apa daya. Ia diperintahkan
kepala sekolahnya. Kepala sekolah mungkin diperintah kepala dinasnya. Kepala
dinas mungkin diperintah gubernurnya, gubernur diperintah dirjennya. Dirjen
mungkin diperintah menterinya dan menteri diperintah presiden dan presiden
mungkin saja diperintah orang tua siswa, dan orang tua siswa memerintah kepala
sekolah, kepala sekolah akhirnya memerintah guru. Akhirnya, guru juga yang jadi
muara segala perintah.
No comments:
Post a Comment