16 Feb 2017 | Gereja Katolik membayar lebih dari $ 276 juta
(sekitar Rp 2,7 triliun) ganti rugi kepada ribuan korban pelecehan seksual
anak-anak di Australia. Hal ini terungkap dalam pemeriksaan komisi khusus Royal
Commission into Institutional Responses to Child Sexual Abuse.
Hampir 4.500 orang mengajukan klaim ganti rugi atas dugaan
insiden pelecehan seksual anak-anak yang terjadi antara Januari 1980 dan
Februari 2015. Namun insiden paling awal yang diajukan klaimnya terjadi di
tahun 1920-an. Konsul Pembantu pada komisi khusus itu Gail Furness SC dalam
pemeriksaan di Sydney menjelaskan angka tersebut termasuk kompensasi,
pengobatan, biaya hukum dan biaya lainnya. Dari jumlah tersebut, sebanyak $
258.800.000 adalah kompensasi uang yang berkisar $ 91 ribu per klaim.
"Christian Brothers yang, di waktu terkait menjalankan
sejumlah fasilitas perumahan, melaporkan jumlah tertinggi dalam
pembayaran," kata Furness dalam persidangan.
"Kelompok ini melakukan 763 pembayaran total sebesar $
48,5 juta dengan pembayaran rata-rata $ 64 ribu," katanya. "Secara
keseluruhan otoritas Gereja Katolik membayar $ 276.100.000 dalam merespons
klaim pelecehan seksual anak-anak yang diterima antara 1 Januari 1980 dan 28
Februari 2015," jelasnya. Dalam persidangan teridentifikasi lembaga paling
umum yang disebutkan dalam klaim adalah sekolah. Sebanyak 46 persen klaim
menyebut sekolah sebagai lokasi terjadinya insiden, disusul panti asuhan
anak-anak atau fasilitas perumahan sebanyak 29 persen dari klaim.
Jumlah tertinggi klaim pelecehan seksual yang terjadi di
fasilitas perumahan adalah yang dioperasikan oleh De La Salle Brothers di
Queensland, dengan 219 klaim.
Sebelumnya, Francis Sullivan dari Truth, Justice and Healing
Council mengatakan dalam persidangan itu melihat konteks waktu terjadinya
insiden itu. Menurut dia, sekarang situasinya sangat berbeda, sehingga para
orangtua harus menyadari bahwa anak-anak mereka saat ini berada di tangan yang
aman di sekolah-sekolah Katolik.
ABC/Reuters
Diterbitkan Pukul 14:00 AEST 16 Februari 2017 oleh Farid M.
Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris.
No comments:
Post a Comment