Labels

alam (8) amal (100) anak (293) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (18) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (564) islam (546) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (96) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (48) my books (2) orang tua (7) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (171) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

10 December, 2012

Saat Ketemu Anak Yatim, Terbukti Allah “Maha Mengatur”









Assalamu’alaikum wr.wb.,
Pada hari Kamis kemarin, ada teman yang hubungi saya. Dia merasa terinspirasi dari tulisan saya tentang anak yatim, dan ajak saya ikut sama dia untuk main ke panti asuhan. Dia ingin melakukan seperti yang saya sarankan untuk duduk bersama anak yatim dan habiskan waktu bersama mereka. Banyak orang memang baik hati dan dermawan, dan memberikan santunan kepada anak yatim setiap bulan alhamdulillah. Tapi uang itu tidak masuk ke dalam hati anak yatim. Yang membuat mereka senang adalah orang yang mau datang dan menghabiskan waktu bersama mereka (apalagi mengajak mereka jalan ke tempat lain). Kebanyakan orang selalu sibuk, urusan kantor dan keluarga sudah menyita semua waktunya setiap minggu.

Karena diajak cari anak yatim, dan karena teman itu semangat, saya merasa harus antarkan juga, walaupun hari itu sudah ada 3 janji yang lain dan merasa agak capek. Saya sedikit memaksakan diri: untuk anak yatim harus bisa! Saya mulai berpikir, bisa antarkan dia ke panti di mana yang tidak terlalu jauh (Jumat selalu macet). Lalu saya ingat ada panti asuhan di belakang Pejaten Village, antara Pejaten dan Pasar Minggu. Insya Allah tempat itu cocok karena tidak jauh.

Nama pantinya adalah Panti Asuhan Anak Yakin, dan saya pernah ke sana beberapa kali jadi tahu letaknya dan punya nomor telfonnya. Yang menginap di situ ada 20 puluh anak, laki-laki dan perempuan. Mayoritas adalah anak SD-SMP, tapi ada 4 anak SMA juga. Di luar panti ada 40 anak lain. Karena kami berniat “menghibur” anak yatim, teman saya hanya bawa biskuit, coklat dan susu untuk dibagikan. Saat kami datang, sudah masuk waktu isya, jadi shalat dulu sama anak2. Selesai shalat, saya ajak mereka bicara dan cek kalau mereka sudah makan malam atau belum. Saya tidak mau suruh makan biskuit dan coklat kalau belum makan malam.

Saya tanya, “Sudah makan malam, belum?” dan tidak ada yang mau jawab. Ada yang lihat ke samping, ke bawah, lihat ke teman, atau lihat ke ustadz yang duduk di belakang saya. Karena tidak ada yang jawab, saya pilih satu anak, tanya namanya (namanya Dinda, 15 tahun, anak SMA) dan tanya apa mereka sudah makan malam atau belum. Dia jawab belum. Lho? Sudah mau jam 8 malam. Kok jam segini belum makan malam? Biasanya makan jam berapa? Saya tanya apa makanan sudah siap di belakang? Tidak ada yang jawab lagi.

Karena menjadi begitu bingung, saya lupakan anak dan bertanya langsung kepada ustadz. Dia kelihatan sedikit malu juga, tapi masih senyum dan mulai menjelaskan.

“Begini Pak. Kami di sini setiap hari diantarkan makan malam dari seorang tetangga. Dia mau santuni anak jadi kasih 20 porsi makan malam setiap hari. Di sore hari dia selalu telfon dan suruh ambil. Tapi hari ini ada yang sakit di rumahnya, jadi tidak ada yang bisa masak. Jadi untuk hari ini saja, belum ada makanan untuk makan malam.”

Saya bertanya, anak mau makan apa malam ini? Dia jawab bahwa mereka tidak tahu saya mau membawa apa (makan malam atau snack saja), jadi belum ada persiapan juga, karena takut saya mau bawa makanan. Pas dengar itu, teman saya langsung berdiri siap cari makanan. Kami bertanya, anak mau makan apa? Anak2 semangat untuk minta bakso (mungkin jarang makan juga), jadi teman saya keluar cepat dan pesan bakso, 25 mangkok.

Saat dia sibuk mengatur makan malam, saya duduk di lantai dan banyak melawak dengan anak yatim dan berusaha membuat mereka ketawa biar tidak memikirkan perut yang kosong sejak siang. Akhirnya bakso mulai datang dan anak2 menjadi sibuk makan. Saya mulai diskusi sama Pak Ustadz yang menjadi pengurus. Saya bertanya betapa sering makan malam tidak datang dari tetangga itu. Dia jawab, hampir tidak pernah terjadi. Ternyata, malam itu pertama kali dalam setahun terkahir tidak ada makan malam.

Dan pada saat makam malam tidak ada dari tetangga, teman saya datang dengan niat “menghibur anak yatim” saja, dan malah beli makan malam buat mereka juga. Saya bertanya, kalau kami tidak datang malam itu, anak yatim akan makan apa. Pak Ustadz jawab “tidak tahu” karena begitu jarang terjadi sehingga dia tidak biasa memikirkan mau cari makan malam buat anak di mana. Dan kalau mau cari dana cepat juga pasti sulit, karena pemilik panti seorang ibu tua yang hanya datang di pagi hari. Jadi dana cash untuk urusan darurat juga tidak ada di panti.

Subhanallah. Kalau ada yang tidak yakin bahwa Allah Maha Mengatur, coba menjelaskan kepada pada saat 20 anak yatim lapar dan butuh makan malam, saya dan teman bisa datang secara “kebetulan” dan tidak hanya menghibur anak yatim dengan coklat dan biskuit, tapi juga mengisi perut mereka dengan bakso yang sangat disenangi semua. Ada yang Maha Mengatur? Atau apa itu kebetulan saja?

Peduli pada anak yatim tidak sulit. Peduli pada mobil mewah dan deposito memang lebih mudah. Pasti menyenengkan hati semua manusia kalau merasa kaya dan bisa beli apa saja yang diinginkan. Tetapi melihat senyuman di muka seorang anak yatim yang lapar, setelah ditraktir makan malam lebih enak lagi. Mobil bisa dicuri orang, dan mobil tidak pernah akan senyum kalau melihat kita datang. Yang melakukan itu hanya anak yatim. Jadi orang Muslim yang kaya bisa memilih. Mau beli Range Rover lagi (satu tidak cukup)? Atau mau duduk bersama anak yatim, mengisi perut mereka, dan memenuhi kebutuhan mereka yang lain?

Dan orang Muslim yang tidak kaya juga bisa memilih. Apa mau nonton sinetron dan konser dangdut sekali lagi di tivi (10 kali setiap minggu tidak cukup)? Apa mau habiskan waktu sedikit untuk main ke panti asuhan dan bicara saja dengan anak yatim? Tidak perlu modal untuk bicara saja, tapi bisa menghibur hatinya anak itu karena mereka merasa disayangi oleh orang Muslim yang lain. Amplop yang diantarkan ke panti setiap bulan tidak “menghibur hati mereka”. (Tapi terima kasih pada yang masih bersedia kasih santunan rutin, karena itu juga penting). Sayangnya, amplop tidak membuat anak senyum: Melihat muka kita yang membuat mereka senyum. Jadi kaya atau belum kaya, kalau ada kesempatan duduk dan bicara dengan anak yatim, jangan dihindari. Usahakan sekali saja setiap bulan kalau bisa. Dan rasakan nikmatnya sendiri.

Semoga bermanfaat,
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...