Penulis : Ester Lince Napitupulu | Senin, 17 Desember 2012
JAKARTA, KOMPAS.com- Forum Komunikasi Peduli Pendidikan
Republik Indonesia (FKPPRI), yang beranggotakan pakar, praktisi, dan pengamat
pendidikan menolak kurikulum 2013. Perubahan kurikulum dinilai tidak
berdasarkan kajian yang menyeluruh.
"Belum ada riset dan evaluasi yang mendalam dan
sungguh-sungguh tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), baik
berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi maupun
Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan," kata
Koordinator FKPPRI Darmin Mbula dalam surat pernyataan sikap yang diterima,
Senin (17/12/2012).
Kurikulum model KTSP yang dikembangkan berdasarkan pedoman
dan rambu-rambu yang ditetapkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan)
menghargai otonomi guru dan sekolah serta keanerakagaman budaya dan konteks
setempat.
Kurikulum model KTSP memberi peluang bagi guru dengan
harapan model KTSP dapat menjadi pedoman bagi guru dalam menyusun silabus
yang sesuai dengan kondisi sekolah dan potensi daerah masing-masing. Sedangkan
kurikulum 2013 jelas tidak menghargai otonomi guru, sekolah, dan daerah.
Kurikulum 2013 amat sentralistik, bertentangan dengan
semangat reformasi yang menghendaki desentralisasi, yaitu desentralisasi
pengelolaan pendidikan agar dapat memenuhi kebutuhan sesuai dengan kondisi
daerah.
Bukti nyata desentralisasi pengelolaan pendidikan ini adalah
diberikannya kewenangan kepada sekolah untuk mengambil keputusan berkenaan
dengan pengelolaan pendidikan, seperti tercermin dalam pengelolaan kurikulum,
baik dalam penyusunan maupun pelaksanaannya di sekolah.
Sebaliknya, untuk kurikulum 2013, baik perencanaan maupun
penyusunan silabus serta penyusunan dan penerbitan buku pelajaran ditentukan
dan dilakukan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (sentralisasi).
Hal ini berdampak pada deprofesionalisasi guru dan
mengabaikan konteks sosial budaya dari komunitas lokal yang amat ditekankan
oleh model KTSP (2006).
Perubahan atau pergantian KTSP (2006) ke kurikulum 2013
tidak berdasarkan alasan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan serta
landasan hukumnya tampak mengada-ada sebagai rasionalisasi perubahan kebijakan.
Penyusunan Kurikulum 2013 tidak berdasarkan kajian yang
mendalam dan transparan terhadap situasi yang menjadi alasan kuat
perlunya kurikulum 2013. Rumusannya amat sangat normatif berdasarkan spekulasi
tanpa dukungan hasil riset dan ujicoba inovasi di lapangan.
Sosialisasi atau uji publik kurikulum 2013 tidak fair, hanya
pada kalangan dan waktu terbatas, tidak disertai dokumen kurikulum yang
dirancang, hanya dalam bentuk file powerpoint dan tergesa-gesa.
"Masyarakat tidak diberi ruang dengar pendapat, dan ada
kesan 'dipaksakan', hanya sekadar legitimasi. Toh Pemerintah tetap akan
memaksakan berlakunya kurikulum 2013. Masyarakat bingung seolah-olah dipaksa
'membeli kucing dalam karung', yang belum jelas alasan, tujuan, bentuk, dan
isinya," papar Darmin.
Jumlah mata pelajaran dalam kurikulum 2013 dikurangi dengan
maksud mengurangi beban belajar siswa, namun muatannya berlipat ganda karena mengikuti
alur pikiran kompetensi inti dan jumlah jam pelajaran per minggu ditambah.
Dampaknya adalah beban belajar siswa semakin berlipat ganda.
Selain itu, rumusan kompetensi inti tidak berdasarkan
kajian mendalam dan hasil riset dan inovasi. Hubungan antara kompetensi inti
dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran tidak koheren sehingga berdampak
meningkatnya kepadatan kompetensi dan materi pada tiap mata pelajaran.
Editor : Marcus Suprihadi
No comments:
Post a Comment