Minggu kemarin saya diskusi dengan orang bule
yang tidak percaya pada Tuhan (ateis), dan karena itu, dia tidak bisa terima
Islam. Katanya dia sudah baca sedikit tentang ajaran Islam, dan langsung dapat
beberapa hal yang tidak dia senangi (dalam pengertian dia yang sangat
terbatas), maka dia menjadi malas belajar lebih dalam. Saat saya ceritakan
pertemuan itu di Facebook, banyak orang minta saya menulis seluruh isi dari
diskusi itu, atau membuat bukunya. Karena belum sempat menulis buku seperti
itu, saya diminta berikan poin terpenting dari diskusi itu. Salah satu poin
yang sangat masuk hati dia adalah perumpamaan sebagai berikut.
Usaha untuk menerima Islam sama seperti
menerima mobil baru, misalnya Mercedes Benz. Setiap orang di suatu komunitas
dikasih satu mobil baru secara gratis dan disuruh pakai untuk kepentingan
mereka. Mereka tidak perlu bayar dan tidak ada kewajiban apapun untuk balas
budi dan sebagainya. Tinggal terima saja dan pakai, jadi banyak orang langsung
ambil dan menikmatinya. Lalu beberapa orang yang dikasih mobil2 baru itu masuk
ke dalam. Mereka melihat radio. Kok tombol Volume di radio ada di sebelah kanan,
padahal di radio dalam mobil lama mereka, tombol itu di sebelah kiri. Bisa
bingung nanti pas bawa mobil, dan salah pegang tombol. Berarti mobil ini ada
“kelemahan” yang tidak menyenangkan. Tidak sesuai dengan harapan dan perkiraan
mereka, atau tidak sesuai dengan apa yang sudah biasa bagi mereka.
Dalam kondisi itu, ada dua pilihan. Terima
mobilnya, dan pakai dulu, sambil belajar terus, dan berusaha memahami kenapa
ada yang berbeda atau tidak sesuai dengan harapan. Atau, menolak seluruh
mobilnya, dan kirim kembali ke toko, dengan alasan ada yang tidak disenangi di
dalamnya.
Mana yang lebih masuk akal? Terima saja, atau
kembalikan seluruhnya? Dalam konteks belajar agama, berarti mereka memilih
untuk kembalikan seluruhnya, dan mengatakan tidak suka satu hal jadi tidak mau
lihat bagian yang lain, dan tidak mau coba dulu. Hanya karena mereka tidak suka
suatu hal yang cukup sepele. Sebenarnya lebih masuk akal kalau mereka pakai
dulu mobilnya, merasakan nikmatnya dan manfaatnya, sambil berusaha untuk
belajar lebih dalam dan memahami kenapa ada bagian yang berbeda.
Saat ini mereka tidak suka. Mungkin setelah
lebih paham, ada kemungkinan pendapat mereka bisa berubah. Tapi kalau seluruh
mobilnya dikembalikan langsung dari awal, bagaimana mungkin mereka bisa merasakan
nikmatnya dari bagian2 yang lain, yang baik dan cocok? Jadi kalau ada orang
yang punya perasaan sedikit tertarik pada Islam, dan sudah belajar cukup
banyak, tidak salah bagi mereka untuk “menerima Islam” dulu sebagai agama yang
baik, dan coba memahami dari dekat, tanpa harus secara automatis senangi segala
sesuatu di dalam Islam. Boleh dipelajari bertahap. Orang itu bisa saja masuk
Islam dulu, atas sebatas mendekati Islam dengan sikap yang baik (tidak berburuk
sangka terus). Tapi yang penting adalah bagaimana mereka bisa merasa bahwa
memang ada nikmatnya dalam Islam, jadi boleh diterima dulu, sambil belajar.
Ada perumpamaan satu lagi: Orang yang nonton
tivi. Kalau dipilih 100 orang secara acak, apa mereka bisa menjelaskan
bagaimana caranya tivi berfungsi? Bagaimana caranya tayangan bola dari Inggris
bisa muncul dalam sebuah kotak di kamar mereka? Ada kamera, signal, siaran ke
satelit, penyiaran di sini, dan ada tivi yang terima. Tapi bagaimana caranya
berfungsi seperti itu? Bisa dijelaskan? Signal berubah menjadi gambar bergerak.
Kok bisa?
Mungkin dari 100 orang, 99 atau bahkan semuanya
tidak bisa menjelaskan. Apakah karena “belum mengerti” mereka harus dilarang
menikmatinya? Atau apa boleh saja nonton bola dulu dan menikmatinya, dengan
rasa yakin “Ada ahli yang mengerti di suatu tempat”, dan kalau perlu, mereka
bisa minta penjelasan dari ahli tersebut? Kalau mereka cerdas, mereka akan
nonton saja dulu, karena terasa ada nikmatnya. Kalau mereka harus pahami
semuanya sebelum boleh nonton, mungkin beberapa tahun bisa lewat tanpa mereka
boleh nonton. Apa itu lebih baik? Atau lebih baik rasakan nikmatnya dulu,
sambil belajar?
Dalam konteks agama, orang bule itu salahkan
orang yang lahir sebagai Muslim dan kemudian bisa tetap “hidup sebagai Muslim”
tanpa bisa menjelaskan A-Z yang berkaitan dengan syariah, fiqih dan tafsir.
Kalau bukan seorang ahli agama, dan belum pahami segala sesuatu, masa mau
beragama Islam terus? Kalau orang Muslim melihat ada hal yang tidak disenangi,
kok tidak langsung tinggalkan Islam dan jadi ateis seperti dia? Sikap dia itu
sama dengan menyalahkan orang yang nonton sepak bola siaran langsung. Kalau
tidak sanggup menjelaskan caranya sebuah “signal” bisa menjadi “gambar”,
dilarang nonton! Kalau tidak mengerti seluruh dari isinya Islam, dilarang
beragama Islam. Dia anggap itu lebih baik.
Tapi saya jelaskan malah lebih baik “nonton
bola dulu”, karena sudah terasa ada nikmatnya juga. Itu yang dilakukan orang
yang beragama Islam. Dirasakan nikmatnya, jadi mereka beragama, dan mengajarkan
anak mereka untuk beragama juga. Kalau belum menjadi ahli, tidak masalah. Semua
orang bisa merasakan nikmatnya sambil belajar. Orang bule itu kirim email
kepada saya besok harinya. Katanya dia tidak bisa lupa perumpamaan tentang
mobil Mercedes Benz. Boleh saja dipakai dulu, sambil belajar tentang hal2 yang
tidak disenangi. Tidak perlu dikembalikan ke toko alias ditolak semuanya.
Katanya dia menjadi semangat untuk belajar Islam lebih dalam sekarang, walaupun
masih ada hal yang tidak disenangi. Dia tidak akan berhenti, dan mau berusaha
untuk mencari nikmatnya dulu, sambil belajar terus. Semoga Allah memberikan
petunjuk dan hidayah kepadanya.
Semoga penjelasan ini juga bermanfaat buat
teman2 lain yang Muslim dari lahir.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto
No comments:
Post a Comment