Mohon dipahami bahwa saya tidak menulis artikel ini dengan niat “menyerang” sekolah swasta. Niat saya sebatas memberikan tambahan wawasan kepada para orang tua supaya mereka lebih waspada terhadap sekolah anaknya. Saya juga yakin ada sebagian sekolah swasta yang baik, yang tidak seperti yang digambarkan di bawah. Tetapi ada pula yang kurang baik. Jangan sampai ada anak yang komplain kepada orang tua tentang masalah di sekolah dan orang tua tidak percaya karena menganggap sekolah swasta yang mahal itu pasti “bagus”.
Saya mendapat email ini dari seorang teman. Katanya masuk Koran Tempo kemarin. Saya tidak tahu kalau isinya benar atau salah, tetapi saya memberikan tanggapan pribadi di bawah. Semoga bermanfaat untuk renungan saja. Nama sekolah yang dibahas sudah saya hapus dengan sengaja. Gene.
*********************
Perlakuan salah sekolah
Rabu, 02 April 2008
Opini
Saya merasa sangat kecewa atas perlakuan yang terjadi pada putri saya dan merasa tertipu telah memasukkan anak saya di Sekolah Dasar Islam [nama sekolah dihapus] di [Jakarta Selatan-Tangerang]. Anak saya yang baru kelas I SD ini telah mengalami depresi dan tekanan yang cukup berat akibat intimidasi oleh guru kelasnya sendiri, tanpa berani menceritakannya kepada kami orang tuanya. Untungnya, kami sebagai orang tua akhirnya mendeteksi ada hal yang tidak wajar yang terjadi pada putri kecil kami dengan memperhatikannya sering terbangun dan menangis sendiri di malam hari. Juga, bila ia mewarnai gambar, ia hanya menggunakan warna hitam untuk keseluruhan gambar tersebut.
Tekanan yang diterimanya dimulai dari larangan ke toilet untuk buang air kecil, sehingga anak kami menjadi takut untuk minum air, dan urinenya sempat menjadi sangat keruh dan suhu tubuhnya selalu tinggi. Lalu, setiap akan pulang ke rumah, dia selalu diberi giliran yang paling belakang, padahal ia telah menyelesaikan tugas lebih dulu dari teman-temannya.
Belum terhitung kecaman yang kerap diterimanya tanpa alasan yang kuat, termasuk dipermalukan di hadapan teman-temannya hanya karena tidak ingat salah satu ayat dari hafalan surat pendek (Juz Amma).
Setelah kami mengetahui perlakuan yang diterimanya tersebut, kami mencoba beberapa kali mengkomunikasikan hal ini dengan guru kelasnya. Namun, kami tidak digubris, malahan anak kami diberi hukuman-hukuman karena mengadu. Kami mulai mencoba menjelaskannya ke kepala sekolah. Sayangnya, cerita kami kurang dipercayai, karena guru kelas tersebut terhitung orang lama di sekolah tersebut.
Dari itu semua, yang paling membuat hancur hati saya sebagai orang tua ialah, setelah kami membawa masalah ini ke kepala sekolah, putri kami yang masih kelas I SD tersebut malah dituduh mencuri uang teman-temannya dan dihakimi tanpa menginformasikan kepada kami sebagai orang tuanya terlebih dulu. Putri saya telah dua kali diinterogasi di ruang UKS oleh guru tersebut dengan menghadirkan temannya satu per satu layaknya seorang penjahat besar saja. Saya mungkin tidak akan sekecewa ini andai saja putri kami tersebut sudah berada di kelas III atau IV SD, dan tidak lagi takut untuk pergi ke sekolah yang masih agak asing baginya tersebut.
Saya sungguh heran, di sekolah yang mendidik anak usia sekolah dasar, penghukuman dan ancaman dianggap sebagai pendisiplinan. Sementara itu, mempermalukan seorang anak kecil di depan teman-temannya dianggap sebagai tindakan yang memotivasi agar lebih giat belajar. Saat ini saya benar-benar merasa putus asa karena putri saya sedang belajar di pertengahan tahun akademis sehingga tidak mungkin untuk pindah ke sekolah lain, atau ia akan ketinggalan satu tahun dari teman-teman seusianya. Sementara itu, tekanan dari guru kelasnya tersebut belum juga berakhir hingga saat ini.
Bila ada di antara pembaca yang dapat memberikan solusi kepada kami, kami akan sangat berterima kasih.
D.H. Widayatmoko
*********************
Assalamu’alaikum wr.wb.,
Ada teman yang bilang dia meragukan isi surat ini. Mohon maaf, saya malah percaya dengan berita seperti ini. Saya dulu kerja di dua sekolah swasta di DKI, yang pertama selama 7 bulan, dan yang kedua selama 3 bulan. (Dengan sengaja saya tidak menyebutkan nama sekolah2 tersebut).
Dari apa yang saya saksikan sendiri dan banyak sekali cerita yang saya dengar dari teman2 di sekolah2 swasta yang lain, cerita seperti ini bukan hal yang asing lagi. Dan juga karena pengalaman itu, saya sekarang tidak bersedia untuk kerja lagi di sekolah swasta di Jakarta.
Sudah ada ratusan orang tua yang bermohon kepada saya lewat email dan secara langsung dengan minta saya menyebutkan nama sekolah yang paling berkualitas supaya mereka bisa pindahkan anaknya ke sana. Saya tidak bisa memberikan referensi karena belum berani menjamin sekolah mana pun (dari sekolah yang saya tahu, atau yang pernah diceritakan kepada saya.)
Dulu saya pernah terima surat yang setara dengan yang di atas (lewat email), yang juga diterbitkan di Kompas, dari orang tua yang anaknya masuk sebuah sekolah swasta di Jakarta Timur. Saya tempatkan di blog dengan niat informasikan orang tua yang lain. Lewat beberapa hari, saya dihubungi sekolah tersebut, dan diancam dengan tindakan hukum bila surat itu tidak dihilangkan dari blog. (Saya tidak menambahkan atau mengurangi isinya dari si penulis, seorang ibu yang merasa kecewa dan ditipu).
Yang membuat saya heran, sekolah itu sama sekali tidak peduli untuk menjawab atau menyangkal komplain dari orang tua itu dan hanya sebatas mengancam saya. Kesannya, yang terpenting adalah jangan sampai banyak orang tua tahu tentang masalah ini. Jangan sampai surat itu yang menjelekkan nama sekolah bisa disebarkan secara luas di internet.
Jadi, kalau ada orang yang mau menulis surat seperti ini tentang sekolah manapun, saya malah anggap Ibu itu sangat berani, karena sekolah swasta cenderung menjaga bisnisnya (citra buruk = bisnis bisa turun) daripada menjawab surat itu, lalu mohon maaf bila memang bersalah, dan berusaha untuk memperbaiki sekolahnya.
Kesannya: pengritik terhadap sekolah = musuh sekolah; kesalahan dan kekurangan sekolah = rahasia bisnis yang tidak boleh dibocorkan.
(Ada cerita tentang sekolah swasta di mana hampir seluruh anak di sekolah itu gagal dalam ujian internal, dan hasilnya dirahasiakan biar orang tua tidak tahu. Coba berfikir, kalau ada sekolah yang menjual “produk” seperti “program bilingual” karena orang tua sangat ingin “beli”, lalu karena program tersebut kurang bagus, hampir semua anak gagal dalam tes bahasa. Apakah pihak sekolah ingin memberitahu orang tua atau tidak? Berfikir seperti pengusaha yang mengejar profit, dan jawab sendiri.)
Selama saya kerja di sebuah sekolah swasta (nama sekolah tidak perlu disebut), saya berusaha untuk memberikan pengarahan kepada pengurus karena ada banyak hal yang saya anggap kurang dari sisi pendidikan, tetapi mungkin bagi mereka no problem karena uang tetap masuk! Saya selalu dapat kesan bahwa semua pengurus, baik dari pemilik sampai ke kepala sekolah, dan juga sebagian guru, sangat tidak mengerti pendidikan. Tetapi hal itu tidak berarti mereka tidak sanggup menampung anak di kelas dan memberikan pelajaran kepadanya. Ada pula guru yang baik yang bisa mengajar sendiri dan tidak perlu bimbingan, jadi sekolah bisa berfungsi (dan uang tetap masuk).
Waktu saya kerja di sana, kebanyakan guru bukan sarjana pendidikan. Sangat jelas bahwa guru bisa dapat pekerjaan karena bisa berbahasa Inggris sebagai salah satu kemampuan utama yang dicari pihak sekolah. Sekolah selalu dijual ke publik sebagai sekolah “bilingual” tetapi “program bahasa”nya sangat tidak tepat, menurut saya.
Yang menjalankan program bahasa Inggris adalah orang bule yang mantan Disk Jockey (DJ) dari Inggris, yang drop out dari kuliah di semesta pertama karena ingin menjadi DJ saja. (Dia sendiri yang memberitahu saya dan dia merasa senang di Indonesia karena tanpa gelar ataupun ilmu bisa mendapat gaji sekitar 15 juta rupiah, net.)
Di kelas ada banyak hal yang menggangu saya sebagai guru. Misalnya, ketika si guru bule itu tinggalkan seorang anak menangis di kelas setelah dia diejek dengan kasar oleh beberapa anak yang lain. Dia tidak bisa menulis dengan rapi, lalu diejek, kemudian menangis sendiri di kursi, dan ditinggalkan begitu saja sampai saya tidak tahan melihatnya lagi dan gendong dia keluar (dia anak kelas 1).
Kesalahan utama adalah di pihak guru (dan juga sekolah) karena fokus utama dari hampir semua kelas bahasa Inggris yang saya saksikan adalah “menulis huruf dengan rapi”, bukan belajar bahasa, dan saya anggap itu sangat tidak tepat untuk anak TK dan Kelas 1. Bahkan si “guru” suka mengucapkan komentar yang sangat tidak pantas seperti: kamu salah, kamu tidak bisa, kamu bodoh, tulisan kamu jelek, kamu tidak bisa mengeja dengan benar, dan seterusnya.
Beberapa kali saya memantau dia dari belakang kelas, mencatat semua hal yang perlu diperhatikan dan diperbaiki, lalu membuat laporan untuk pengurus sekolah.
Tanggapan terhadap kasus itu? Anak yang menangis itu disalahkan dan dibilang cengeng. Katanya, lebih baik bila saya biarkan dia menangis saja. (Dan saya memang biarkan dia selama 20 minit, karena menunggu guru bertindak, tetapi setelah itu saya tidak bisa tahan lagi dan intervensi.)
Mereka minta saya masuk kelas dan “mengajar” begitu saja, tetapi saya menolak karena tidak ada kurikulum yang jelas untuk mengajarkan bahasa asing. Dan saya juga disuruh “belajar” dari si DJ (guru bahasa Inggris) supaya bisa gunakan “program” yang dia pakai (pihak sekolah merasa puas dengan “program” itu karena memaksakan anak menulis huruf yang rapi). Karena itu, selama 3 bulan saya jarang mengajar dan lebih banyak melakukan observasi, menulis rekomendasi, melakukan riset untuk mencaritahu program bilingual seperti apa yang paling tepat di situ, dan mulai menyusun kurikulum untuk semua tingkat.
Saya juga sering komentari hal2 yang saya anggap sangat berbahaya, seperti anak TK bermain dengan gunting yang sangat tajam dan selalu terbuka. Gunting itu dibeli karena, kata pengurus, bagus untuk anak. Ada per kecil di antara dua pegangan, sehingga gunting selalu dalam keadaan terbuka dan tidak bisa ditutup.
Setelah lihat anak TK “main pedang” dan jalan2 di kelas, dengan gunting itu dipegang di depannya atau setinggi mata/muka anak yang sedang duduk di kursi, saya jadi takut sekali dan teriak di kelas, memerintahkan semua anak untuk segera duduk di kursi. Habis itu, saya membuat peraturan baru: gunting hanya boleh dipakai bila sedang duduk di meja, dan tidak boleh dibawa. (Sebelumnya, tidak ada peraturan). Saya periksa gunting itu, ujungnya sangat tajam, bisa memotong kulit, dan menurut saya tidak layak untuk anak di bawah 8-10 tahun.
Besok hari, saya pergi belanja, beli gunting khusus untuk anak kecil yang dilapisi karet dan bagian tajamnya bisa digosokkan ke tangan tanpa kena luka, tapi masih cukup tajam untuk potong kertas dan kardus. Dan bisa ditutup.
Saya bawa ke sekolah dan menulis memo kepada pengurus, dan saya minta demi keselamatan mata anak agar semua gunting yang berbahaya itu diambil dari TK dan Kelas 1-2, diganti dengan contoh yang saya berikan, dan gunting yang tajam/berbahaya itu disimpan untuk kelas 4 ke atas.
Hasilnya: tidak ada yang berubah. (Kalau sekarang saya tidak tahu).
Ini hanya 2 dari puluhan cerita, dari hanya satu sekolah, dalam waktu hanya 3 bulan saja. Artinya, kalau semua orang tua, semua anak dan semua guru se-DKI disurvei dengan benar, saya yakin 100% akan ditemukan ribuan kasus yang setara, di mana terjadi hal-hal yang sangat tidak baik atau bisa dikatakan sangat buruk untuk perkembangan mental, sosial, dan pendidikan anak. (Dan ini hanya di sekolah swasta yang mahal. Bagaimana di sekolah negeri yang jumlahnya lebih banyak?)
Kita tidak pernah tahu karena orang tua tidak punya tempat untuk mengadu dan sangat jarang ada orang tua yang berani menulis surat di koran.
Apalagi kalau anak-anak itu sendiri mau bercerita dan komplain tentang sekolah ataupun gurunya.
Dan mungkin para guru takut dipecat kalau bicara/komplain kepada orang tua langsung (kalau managemen sekolah itu buruk), jadi mungkin kita harus tunggu sampai mereka pindah sekolah dan setelah itu baru kita bisa tanyakan mereka tentang sekolah tersebut. Kalau sudah keluar, biasanya mereka baru berani untuk membocorkan “rahasia sekolah”.
Pesan saya ke teman2 yang peduli pada anak dan peduli pada pendidikan:
(mohon jangan tersinggung bila anda sedang kerja di sebuah sekolah swasta, ini hanya kesimpulan secara global saja dan tentu saja tidak benar untuk setiap guru, pengurus, atau sekolah)
1. Sekolah swasta di sini adalah bisnis yang bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan karena pemantauan dari pemerintah atau organisasi lain sangat minim/tidak ada.
2. Bila ada orang tua yang komplain tentang sekolah anaknya ataupun tentang guru, lebih baik percaya dulu. Kalau salah, mohon maaf kepada pihak sekolah yang disalahkan. Bila benar, anaknya perlu dilindungi. Perlu diingatkan bahwa pemilik/pengurus sekolah swasta ada di sisi bisnis sekolah, bukan pada sisi “melakukan yang terbaik bagi anak, walaupun bisa merugikan bisnis sekolah”. Orang tua yang komplain sebaiknya didengarkan dan dipercayai saja dulu daripada diragukan.
3. Jangan terlalu percaya pada penjelasan kepala sekolah, pengurus atau pemilik sekolah tentang apa yang terjadi di sekolah. Umumnya, kepala sekolah bisa tetap sebagai kepala sekolah karena dia mewakili kemauan pemilik sekolah dengan baik. (Kalau dia sering berprotes demi anak, demi guru, atau demi pendidikan, hampir dijamin bahwa dia akan digantikan dengan orang yang lebih “nurut”.) Pemilik sekolah ingin menjaga bisnisnya karena masa depan franchise sudah jelas sangat besar. Mereka berdua (pemilik dan kepsek) tidak berada di sisi guru (dengan asumsi guru adalah orang baik) ataupun pada sisi anak (dengan asumsi anak adalah orang baik dan tidak bermasalah). Mereka berada di sisi bisnis pendidikan, dan anak anda adalah komoditas yang dijual-belikan.
4. Juga jangan automatis percaya pada guru kalau belum kenal. Ada sebagian guru yang kurang baik, dan tidak layak menjadi guru (dan mungkin dia komplain tentang sekolah padahal dia sendiri yang bermasalah, dan sekolahnya bagus). Ada juga guru yang sangat, sangat baik, tetapi dia takut bicara karena takut dipecat. Jadi kalau dia bilang sekolah oke-oke saja, bisa jadi dia tidak berani jawab dengan jujur karena takut bahwa komentar dari dirinya akan disampaikan kepada pemilik sekolah lewat orang tua. Kalau sudah kenal dengan seorang guru, dan percaya kepadanya, baru bisa percaya pada apa yang dia katakan tentang sekolah tersebut.
5. Tidak ada solusi yang jelas untuk semua masalah yang saya ceritakan di atas, karena ini merupakan masalah sistemik. Dengan sistem yang rusak, sangat sulit untuk diperbaiki dari dalam ataupun dari luar. Dan selama sekolah swasta menjadi bisnis tanpa pantauan yang serius dari pemerintah atau pihak lain (seperti komisi anak atau komisi pendidikan), jangan harap mereka ingin berjuang untuk membela hak setiap anak. Yang mereka perjuangkan adalah profit. Dan apapun yang meningkatkan profit adalah pikiran utama mereka. Pendidikan yang layak adalah nomor dua.
6. Mungkin kita berfikir bahwa sekolah bisa kena masalah besar kalau ada orang tua yang komplain di koran atau menyebarkan informasi yang menjelekkan nama sekolah. Ternyata tidak. Mereka cukup menjaga supaya ratusan ribu orang tua yang lain tidak tahu, atau tidak percaya, karena jumlah orang tua yang mampu, yang sedang mencari sekolah swasta, jauh lebih besar dari jumlah kursi yang tersedia. Ada istilah dalam bahasa Inggris: “It’s a sellers market” (Ini pasar yang menguntungkan si penjual, bukan si pembeli.) Jadi kalau orang tua sanggup memasukkan anak ke sekolah yang dianggap sedikit “bermasalah” oleh sebagian orang lain, mereka tetap bersyukur karena sudah tahu sulitnya mencari sekolah swasta. Dan mereka sudah tahu bahwa kebanyakan sekolah sudah punya waiting list sepanjang Kali Ciliwung. Kalau sebuah sekolah ditinggalkan sebagian anak dan orang tua yang kecewa, pihak sekolah cukup pasang iklan dan spanduk. Bulan depan sudah bakalan penuh lagi dengan anak baru karena orang tuanya belum tahu apa-apa tentang sekolah itu, tetapi mereka bisa lihat sendiri fasilitas yang lebih moderen, dan dengan itu melakukan asumsi bahwa sekolah pasti bagus.
7. (Dan jangan lupa bahwa uang pangkal puluhan juta adalah non-refundable, sekalipun anak anda terpaksa pindah kota, sakit, ataupun wafat. Dan setelah anak anda keluar, uang pangkal itu dikantongi sekolah, dan kursinya dijual lagi. Berarti, sekolah malah bisa dapat untung ratusan juta kalau ada sekian orang tua yang mencabut anaknya setiap tahun. Untuk mengisi kursi, tinggal telfon orang tua yang anaknya masih di wating list…)
Kesimpulan:
Sistem pendidikan swasta ini sudah cukup bermasalah dan tidak ada pihak satupun (setahu saya) yang sedang berusaha untuk memperbaikinya atau memantaunya. (Hiduplah Homeschooling! Hehe.)
Yang bisa melakukan perbaikan mungkin hanya sekolah itu masing2, kalau berminat, dan walaupun kesan dari tulisan di atas cukup buruk, saya tetap yakin ada sebagian sekolah yang ingin melakukan yang terbaik bagi anak2nya dan berminat untuk meningkatkan kualitas sekolahnya, selama tidak mengganggu profit margin, tentu saja.
Masalahnya adalah, apakah sekolah anak anda termasuk di dalam sekolah yang “berniat baik” ini, yang selalu menjaga anak dengan sebaik-baiknya, yang mencari guru yang terbaik, dan selalu siap menerima kritikan karena hal itu bantu sekolah berkembang dan menjadi lebih baik lagi? Dan anda bisa tahu dari mana? Dari penjelasan pemilik sekolah sendiri yang sangat meyakinkan itu? Hmmm… Yakin?
Sekali lagi, mohon dipahami bahwa saya tidak menulis artikel ini dengan niat “menyerang” sekolah swasta. Niat saya sebatas memberikan tambahan wawasan kepada para orang tua supaya mereka lebih waspada terhadap sekolah anaknya. Saya juga yakin ada sebagian sekolah swasta yang baik, yang tidak seperti yang digambarkan di atas. Tetapi ada pula yang kurang baik. Jangan sampai ada anak yang komplain kepada orang tua tentang masalah di sekolah dan orang tua tidak percaya karena menganggap sekolah swasta yang mahal itu pasti “bagus”.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto