[Tulisan ini untuk membalas komentar di milis pendidikan, berkaitan dengan tulisan: Lulus Ujian Nasional? Kenapa Menjadi Bahagia #2]
**** Saya juga termasuk yang bingung. Bingungnya gini, kalau lulus 100 persen tidak pantas berbahagia, apakah itu berarti kalau tidak ada yang lulus kita harus berbahagia ? Kalau jawabannya juga tidak, lalu kapan kita harus merasa berhasil dan berbahagia?
Pak, yang saya bicarakan adalah sikap kita terhadap sesuatu yang buruk.
Murid lulus ujian 100% dan itu hasil dari usaha mereka. Bukan dari kecurangan. Lalu kita bersyukur? Yang saya pertanyakan adalah apakah pantas kita sebagai guru bersykur dalam kondisi tersebut! Bukan karena melihat “mereka tidak curang” tetapi karena konsep ujian tersebut, yang kita yakini sangat buruk.
Coba pikirkan hal yang sama dalam konteks lain.
Contohnya. Di Indonesia ada perbudakan. Anak-anak yang non-Jawa boleh diperbudak oleh orang Jawa, dan sistem itu sudah ada dari dulu jadi semua orang sudah biasa dengannya. Yang menjual budak anak itu ahkirnya berhasil menjual semua budak anak non-Jawa untuk menjadi budak di sawah dan perkebunan milik orang Jawa. Lalu yang menjual budak anak itu BERSYUKUR, karena atas kerja kerasnya, semua anak non-Jawa sudah berhasil dijual dan akan langsung dikerjakan di sawah milik orang Jawa.
Apakah pantas dia bersyukur atas hal yang buruk semacam itu?
Kalau ada orang datang dari LSM dan suruh menghentikan perbudakan di sini, dan melihat potensi dari semua anak bangsa, termasuk yang non-Jawa, maka barangkali si penjual budak anak akan bingung. Buat apa mengubah sistem yang sudah berlaku selama bertahun-tahun? Kenapa tidak dipertahankan saja? Yang penting sudah merasa berhasil dan bersyukur.
Yang lebih parah lagi, anak-anak yang dijual itu juga ikut bersyukur. Daripada ditahan di gudang terus, mereka malah mau dijual biar bisa kerja di kebun. Mereka mandi, potong rambut, berusaha untuk memperbesarkan otot2nya, sehingga lebih layak untuk dibeli. Dan pada saat dibeli, anak2 itu juga ikut bersyukur.
Jadi, si penjual budak anak berysukur, dan lebih parah lagi, si anak juga ikut bersyukur bahwa diri mereka dijual. Semuanya merasa tidak ada pilihan selain mengikuti sistem yang sudah berlaku.
Yang berusaha untuk menghentikan sistem buruk tersebut hampir tidak ada, karena semua orang sudah merasa biasa dengannya. Tidak ada yang mau mengubahnya. Semuanya mau diam dan nurut saja, karena itu lebih aman. Bisa paham?
**** Jadi masalah utamanya bukan di lulus atau tidak lulus melainkan UN nya sendiri yang mendorong sebagian besar orang "menghalalkan segala cara" agar bisa dinilai berprestasi. Nah disini kata kuncinya adalah "menghalalkan segala cara" karena tindakan semacam ini bukan hanya terjadi pada UN saja akan tetapi sudah mewabah disegala sektor jauh sebelum adanya UN.Kalau kita tidak setuju dengan UN boleh-boleh aja tetapi apakah sudah ada pilihan yang lebih baik dan bisa menjamin berkurangnya tindakan " menghalalkan segala cara" tersebut ?
Kalau si penjual budak anak itu mulai curang, dan menutupi kenyataan bahwa anak2 yang dijual itu sakit, atau ada infeksi, atau lemah, atau akan segera wafat, maka dia dianggap sebagai orang yang curang dalam proses penjualan budak anak. Dan ternyata, itu sudah menjadi umum di mana2. Lalu pada saat ada satu orang yang ketahuan menjual anak dengan cara yang jujur, karena dia menjelaskan kalau anak itu sakit, atau lemah, dan sebagainya, maka apakah wajar kalau semua orang merasa bahwa itu adalah alasan untuk bersykur?
“Alhamdulillah, kami tidak dicurangi lagi saat membeli anak non-Jawa untuk menjadi budak kami. Mari kita bersyukur bahwa uang kita tidak akan dibuang dengan sia-sia karena beli anak yang lemah. Alhamdulillah.”
Begitu Pak? Tidak ada yang curang dalam penjualan budak anak atau dalam melaksanakan Ujian Nasional, lalu kita semua perlu bersyukur? Tetapi kalau “menghalalkan semua cara” untuk menjual budak anak atau lulus UN adalah hal yang tidak diinginkan, bukannya masalah itu akan hilang kalau sistem perbudakan dan UN itu DIHILANGKAN? Bukannya lebih baik kalau kita semua kompak untuk hilangkan hal yang buruk itu sehingga tidak ada lagi orang yang mau “menghalalkan semua cara” karena tidak akan ada sasaran lagi?
Bapak minta pilihan yang “lebih baik”? Sudah dikasih dari kemarin Pak, sudah berkali-kali, tetapi para guru Indonesia di milis ini tidak mau membahasnya secara serius. Mereka tidak mau ambil risiko untuk kepentingan murid mereka. Yang penting guru harus aman terus. Harus dapat gaji terus. Harus bisa naik pangkat terus. Tetapi yang terbaik buat murid? Tidak usah dipiirkan terlalu dalam. Yang penting guru cari selamat dulu.
Mau dapat solusi? Saya ulangi lagi ya, dan kasih tambahan juga.
Ini namanya “brainstorming” atau “creative thinking”. Di luar negeri, diajarkan di dalam sekolah. Di ajarkan untuk berfikir “out of the box” [di luar kotak].
Di Indonesia, diajarkan bahwa tidak ada jawaban yang benar, kecuali yang berada “di dalam kotak”, yang telah dibenarkan oleh guru dan pemerintah. Jangan berfikir sendiri. Jangan berbeda pendapat. Jangan melawan. Diam saja dan nurut.
Tetapi kalau bapak mau coba berfikir dengan cara lain, di mana murid lebih utama di dalam hati seorang guru daripada diri sendiri, coba berfikir tentang ini:
1. Semua guru Indonesia bisa memboikot Ujian Nasional (UN).
2. Semua orang tua bisa memboikot UN dengan cara tidak izinkan anak masuk sekolah saat ujian.
3. Semua murid di Indonesia bisa memboikot UN dengan cara menolak angkat pensil saat ujian.
4. Semua orang yang memeriksa ujian bisa boikot UN sehingga pemerintah tidak bisa dapat orang yang mau memeriksanya.
5. Semua pusat percetakan bisa memboikot UN dengan cara tidak mau mencetak kertas ujiannya.
6. Semua guru bisa mogok kerja sampai pemerintah setuju untuk menghilangkan ujian itu.
7. Semua murid bisa mogok belajar sampai pemerintah setuju untuk menghilangkan ujian itu.
8. Semua orang tua bisa mogok kerja nasional sampai pemerintah setuju untuk menghilangkan ujian itu.
9. Semua PNS bisa mogok kerja untuk mendukung tuntutan guru.
10. Semua guru dan orang tua bisa membentuk partai politik baru yang berfokus pada pendidikan, dan menjelaskan kepada rakyat bahwa mayoritas dari persoalan yang kita hadapi berasal dari pendidikan. Kalau pendidikan baik, kita bisa mengatasi banyak masalah secara bersama. Kalau pendidikan buruk, Indonesia menjadi salah satu negara terkorup di dunia, dan selalu menempati peringkat bawah dalam semua skala internasional di bidang apapun.
11. Semua murid di seluruh Indonesia bisa membentuk partai politik atau organisasi massal khusus untuk anak, dengan tujuan memperbaiki sistem pendidikan bagi semua. (Mungkin secara resmi, mereka tidak boleh ikut dalam kegiatan politik, tetapi mereka bisa bersatu dan menggunakan kekuatannya untuk mendorong semua orang dewasa untuk mendengarkan aspirasi mereka). Yang merusak negara ini terus adalah orang dewasa, bukan anak-anak. Yang menjual pendidikan yang berkualitas kepada keluarga yang kaya adalah pengusaha dewasa, sedangkan kalau anak-anak kaya punya pilihan, mungkin mereka akan setuju bahwa pendidikan yang berkualitas harus diberikan kepada semua anak bangsa sekaligus, dan bukan saja untuk mereka yang kaya di sekolah swasta.
12. Dan seterusnya…
Tahap pertama dalam memberbaiki kualitas pendidikan adalah hilangkan salah satu masalah utama, yaitu Ujian Nasional, dan setelah itu baru bisa dibuat program yang lebih baik. Selama UN masih ada, para guru akan diam dan nurut dengan pemerintah, dan akan mengajar dalam keadaan takut setiap hari: takut muridnya tidak lulus, dan guru/sekolah akan kena masalah.
Apakah itu pendidikan yang terbaik di dunia? Tentu saja tidak. Tetapi guru Indonesia tidak peduli kalau sistem pendidikan di sini adalah yang terbaik di dunia atau tidak. Mereka semua, 2,7 juta guru, hanya mau selalmat saja (dengan cara diam dan nurut).
Tetapi saya yakin sekali para guru Indonesia tidak akan serius dalam membahas salah satu solusi yang disebut di atas, apalagi menciptakan yang lain. Dalam waktu satu minggu, pembicaraan ini akan hilang dari milis dan guru akan kembali membahas perkara2 yang jauh lebih kecil dan tidak penting. Guru tidak mau aktif dan semangat, dan bertindak dengan rasa yakin bahwa guru adalah kaum yang penting dan kuat. Guru sudah dikondisikan (sejak sekolah dulu, dan selama masa Orde Baru) untuk diam dan nurut. Guru tidak bisa utamakan kepentingan murid di atas segala-galanya. Guru hanya bisa utamakan diri sendiri. Karir sendiri. Uang sendiri. Anak sendiri. Perut sendiri. Tetapi murid…? Tidak usah berfikir terlalu dalam. Bantu mereka lulus Ujian Nasional dan lepaskan saja (dengan bersyukur). Itu saja yang penting.
Tidak ada satupun dari murid kita yang menang Piagam Nobel? Tidak apa-apa. Yang penting sudah lulus UN dan guru tidak akan disalahkan oleh pemerintah atau orang tua.
Tidak ada satupun dari murid kita yang menemukan suatu penemuan baru yang akan mengubah dunia seperti komputer, internet, satelit, mesin rontsen, mikroskop, mobil, pesawat, handphone, dll.? Tidak apa-apa. Yang penting sudah lulus UN dan guru tidak akan disalahkan oleh pemerintah atau orang tua.
Tidak ada satupun dari murid kita yang menjadi seorang pemimpin sejati, yang mengubah dunia menjadi lebih baik, dan dihormati di seluruh dunia oleh semua kaum, seperti Mahatma Ghandi, Bunda Theresia, Nelson Mandela, Martin Luther King, dll.? Tidak apa-apa. Yang penting sudah lulus UN dan guru tidak akan disalahkan oleh pemerintah atau orang tua.
Guru Indonesia adalah kaum yang paling kuat di dalam bangsa ini, karena kita bisa menentukan masa depan bangsa ini seperti apa.
Kalau seluruh rakyat Indonesia mau dijadikan koruptor dan orang jahat, kita bisa melakukannya lewat pendidikan di kelas dalam waktu satu generasi.
Kalau seluruh rakyat Indonesia mau dijadikan orang Komunis yang membenci agama, kita bisa melakukannya lewat pendidikan di kelas dalam waktu satu generasi.
Kalau seluruh rakyat Indonesia mau dijadikan orang rasis, dan pembunuh dingin yang akan membenci dan membunuh suatu kaum yang lain, kita bisa melakukannya lewat pendidikan di kelas dalam waktu satu generasi.
TETAPI…
Kalau seluruh rakyat Indonesia mau dijadikan orang yang paling mulia di dunia ini, orang yang paling baik hati, orang yang paling jujur, orang yang paling bersih dari korupsi, orang yang paling pintar, orang yang paling dermawan, orang yang paling peduli pada tentangganya, orang yang paling membantu negara-negara yang lain, orang yang paling sering diangkat sebagai contoh di dunia internasional, orang yang paling tinggi kualitas pendidikannya, orang yang paling banyak mencetak pemimpin kelas internasional, orang yang paling banyak sumbangannya terhadap negara-negara lain, orang yang tinggal di negara yang paling kuat dan stabil di seluruh dunia, dan seterusnya….
maka…
KITA BISA MELAKUKANNYA LEWAT PENDIDIKAN DI KELAS DALAM WAKTU SATU GENERASI.
Ada 2,7 JUTA guru di sini. Dan kita bisa mengubah dunia. Tetapi kita harus berhenti bersyukur atas hal yang buruk, dan mulai bersatu dan bekerja sama untuk mengubah wajah pendidikan di negara ini.
Kita bisa. Kalau kita mau bertindak secara serius.
Atau kita bisa lupakan semua yang ditulis di atas, dan kembali berfikir bagaimana kita bisa bantu murid2 kita lulus Ujian Nasional pada tahun depan.
Kita harus memilih. Dan masa depan bangsa dan masa depan dunia ini bergantung pada pilihan kita hari ini.
Bapak-bapak dan ibu-ibu guru Indonesia mau memilih apa?
Wassalamu'alaikum wr.wb.,
Gene Netto
Search This Blog
Labels
alam
(8)
amal
(100)
anak
(299)
anak yatim
(118)
bilingual
(22)
bisnis dan pelayanan
(6)
budaya
(8)
dakwah
(87)
dhuafa
(18)
for fun
(12)
Gene
(222)
guru
(61)
hadiths
(9)
halal-haram
(24)
Hoax dan Rekayasa
(34)
hukum
(68)
hukum islam
(52)
indonesia
(570)
islam
(556)
jakarta
(34)
kekerasan terhadap anak
(357)
kesehatan
(97)
Kisah Dakwah
(10)
Kisah Sedekah
(11)
konsultasi
(11)
kontroversi
(5)
korupsi
(27)
KPK
(16)
Kristen
(14)
lingkungan
(19)
mohon bantuan
(40)
muallaf
(52)
my books
(2)
orang tua
(8)
palestina
(34)
pemerintah
(136)
Pemilu 2009
(63)
pendidikan
(503)
pengumuman
(27)
perang
(10)
perbandingan agama
(11)
pernikahan
(11)
pesantren
(34)
politik
(127)
Politik Indonesia
(53)
Progam Sosial
(60)
puasa
(38)
renungan
(178)
Sejarah
(5)
sekolah
(79)
shalat
(9)
sosial
(321)
tanya-jawab
(15)
taubat
(6)
umum
(13)
Virus Corona
(24)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
(komentar lewat email)
ReplyDeleteIni contoh nyata mayoritas orang Indonesia tdk biasa menganalisa masalah dan mencari akar pemasalahan. Akibatnya mereka nggak bisa mencari esensi dari suatu masalah itu sebetulnya apa?
Ini sudah ada dari zaman Belanda. Warisan zaman feodal, bukan cuma warisan Orde Baru. Orang tua saya dulu, waktu saya masih kecil, kadang masih mendidik saya dengan cara seperti ini (walaupun sedikit, tdk terlalu ekstrim). Saya sempat merasakan dididik dng rasa takut. Karena takut dimarahi ortu, mending bohong aja deh. Saya sempat merasakan dan mengalami hal itu sampai usia remaja.
Tapi setelah makin besar, saya mulai merasa ini gak beres. Saya lalu "bandel dan memberontak terus" sehingga akhirnya ortu terpaksa berubah sikap sedikit demi sedikit. Hehehehe.....
Dan orang tua saya masih dididik dengan cara seperti ini (dengan porsi yang lebih banyak) oleh eyang2 saya. Ini memang warisan turun-temurun yang jelek.
Gene, seperti sudah jadi tradisi turun menurun di Indonesia krn terlalu lama dijajah sehingga pemikiran orang2nya terjajah juga.Setelah merdeka kita juga dijajah oleh bangsa sendiri.Pendidikan di Indonesia sistemnuya adalah penyeragaman pikiran bahwa guru selalu benar,apa yg diajarkan guru tak pernah salah.Kita hanya diarahkan saja kadang tidak diperbolehkan bertanya kenapa?Please don't give up to speak up your mind about what we can change for education in Indonesia. Your truly indonesian more than indonesian it self. I salute you.
ReplyDelete