Labels

alam (8) amal (100) anak (293) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (18) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (564) islam (546) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (96) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (48) my books (2) orang tua (7) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (171) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

03 June, 2008

Kekerasan Simbolik Jauh Lebih Menyakitkan

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Pendapat ini saya anggap menarik karena sudah lama saya memantau berita di sebuah koran bahasa Inggris dan saya sudah melihat sendiri sikap yang dijelaskan di bawah. Koran sering menerbitkan pendapat orang liberal, dan jarang ada pendapat yang sebaliknya, seakan-akan hanya pendapat kalangan liberal yang benar, dan pendapat orang lain (mayoritas) tidak perlu dibahas. Kalau ada berita yang berkaitan dengan Islam, yang dikutip hanya komentar dari orang liberal, dan tidak ada kutipan dari pihak lain. Ini bukan menyebarkan berita, tetapi berusaha untuk “membentuk opini masyarakat”. Sebelumnya, saya kira ini suatu efek dari tipe orang yang berkumpul di koran itu saja. Tetapi ternyata, koran bahasa Indonesia juga sama.

Silahkan baca:

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Kekerasan Simbolik Jauh Lebih Menyakitkan

Senin, 02 Juni 2008

Pakar komunikasi Universitas Hasanuddin, Aswar Hasan mengatakan, bentrokan hanyalah efek dari “kekerasan simbolik” yang dibangun kalangan liberal

Hidayatullah.com—Pakar komunikasi Universitas Hasanuddin, Aswar Hasan mengatakan, fenomena bentrokan antara Front Pembela Islam (FPI) dan Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) adalah efek dari “kekerasan simbolik” yang selama ini terjadi.

Menurut Aswar, kekerasan simbolik adalah pemaksaan sistem simbolisme atau makna atas kelompok tertentu seakan-akan hal itu dianggap sebagai sesuatu yang sah dan benar.

Menurut Aswar antara FPI dan AKK-BB adalah dua titik ektrem yang harus sama-sama dilihat secara fair dan jujur. Apa yang dilakukan FPI belum tentu sepenuhnya salah dan apa yang dilakukan AKK-BB juga belum tentu sepenuhnya benar.

Dalam berbagai kesempatan, yang ia perhatikan, misalnya, kelompok-kelompok liberal yang tergabung dalam AKK-BB juga sangat demonstratif mempertontonkan aksi-aksi yang disampaikan melalui bahasa HAM dan demokrasi yang sepenuhnya didukung total media massa. Sementara yang lain tidak mendapatkan kesempatan.

Aksi-aksi sporadis kalangan liberal di satu sisi, seperti melecehkan MUI merendahkan wibawa ulama, selalu mendapat tempat terhormat media massa dan TV.

Sementara di sisi lain ada banyak pihak yang kecewa, media tak memberikan tempat. Lebih-lebih negara justru tidak tegas dan kurang memberi perlindungan terhadap keyakinan mereka. Akar persoalan ini, menurut Aswar tak pernah dilihat secara adil dan fair. Terutama oleh media massa dan pemerintah.

Sementara banyak mayoritas tak bersuara, media massa justru menisbatkan pendapat hanya pada segelintir orang-orang seperti Ulil Abshar atau Syafii Anwar atau suara kalangan liberal yang sesungguhnya tak begitu mewakili mayoritas banyak orang.

“Jadi, sesungguhnya ‘kekerasan simbolik’ itu sudah lama dilakukan kalangan liberal terhadap kalangan Islam yang lain, “ ujar Aswar kepada www.hidayatullah.com

Umumnya masyarakat lebih menyalahkan serangan dan kekerasan fisik yang terjadi. Tapi tak pernah menanyakan hak-hak mereka yang telah lama dizalimi baik dengan kata-kata, pernyataan-pernyataan dan opini-opini di berbagai media dan TV.

“Secara hukum, kekerasan berupa serangan itu bisa disalahkan. Namun secara psikologis, apa yang dilakukan itu harus bisa kita pahami bersama, “ tambahnya.

Agar ‘kekerasan simbolik’ segelintir kelompok tidak terjadi lagi, maka, negara harus segera turun tangan atas setiap tindakan pelecehan terhadap simbol-simbol agama yang diyakini mayoritas umat.

Adalah tak adil jika media dan pemerintah hanya mengikuti pendapat seorang Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) sementara mengabaikan pendapat jutaan orang.

“Mana suara NU dan Muhammadiyah? Mana suara ormas-ormas Islam yang lain, yang dalam hal ini sebagai representasi riil keberadaan umat?”, tambah Aswar.

Karenanya, menurut Aswar, semua pihak –terutama media massa-- harus melihat persoalan secara adil dan fair. Sebab ketidak-adilan yang dibangun pers dalam kasus seperti ini, hanya akan melahirkan ‘tirani minoritas’ dan akan terus-menerus berulang, ujarnya. Yang lebih berbahaya, menurut Aswar, dibanding kekerasan fisik, kekerasan simbolik jauh lebih menyakitkan dan berimplikasi panjang. [cha/www.hidayatullah.com]

Sumber: Hidayatullah.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...