Search This Blog

Labels

alam (8) amal (97) anak (304) anak yatim (116) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (8) dakwah (87) dhuafa (18) for fun (12) Gene (222) guru (61) hadiths (9) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (51) indonesia (574) islam (560) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (363) kesehatan (97) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (13) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (52) my books (2) orang tua (10) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (507) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (11) pesantren (38) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (37) renungan (179) Sejarah (5) sekolah (81) shalat (10) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

11 April, 2008

Penjelasan Fatwa Syekh Yusuf Al Qardhawi: Minuman Boleh Mengandung Kadar Alkohol

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Ada pembaca blog yang minta penjelasan tentang dua buah berita (lihat di bahwa) yaitu fatwa Syekh Yusuf al Qardhawi yang menyatakan minuman boleh mengandung kadar alkohol, kemudian MUI membenarkan fatwa tersebut. Berikut ini, saya ingin menyampaikan ilmu yang pernah didapatkan dari guru saya almarhum KH Masyhuri Syahid (ahli fiqih dan anggota MUI) karena kita pernah membahas perkara tersebut di kelas fiqih.

Insya Allah, fatwa dari Syekh Yusuf al Qardhawi benar. Insya Allah, tanggapan dari MUI juga benar.

Yang diharamkan Allah di dalam Al Qur’an adalah khamar, yaitu sebuah minuman yang dibuat dengan sengaja, dan sengaja diciptakan dengan kadar alkohol dengan tujuan memabukkan si peminum. Jadi, kalau ada minuman/makanan selain dari itu, yang tujuannya tidak untuk memabukkan, apalagi kalau kadar alkohol muncul secara tidak sengaja dan tidak diatur, maka hal itu diperbolehkan dan tidak diharamkan kebanyakan ulama.

Tetapi perlu diketahui bahwa ada juga pendapat sebagian ulama yang sangat hati-hati, bahwa kadar alkohol seberapapun di dalam makanan atau minuman apapun adalah alasan untuk mengharamkannya. Jadi mereka haramkan apapun yang punya kadar alkohol, termasuk tape dan durian. Ada pula pendapat yang menyatakan makruh (tidak haram, tetapi lebih baik ditinggalkan).

Kata Syekh Yusuf al Qardhawi:

"Keberadaan alkohol dalam proporsi 5 per seribu (0,5 persen) itu tidak dilarang karena itu adalah jumlah minimal, khususnya ketika itu dihasilkan dari fermentasi alami. Oleh karena itu tidak ada yang salah dengan meminum minuman itu," tulis Qardhawi.

Kata MUI:

Ketua MUI Amidhan mengatakan harus teliti melihat konteks fatwa Qardhawi. Ulama Mesir itu menyikapi minuman berenergi di Qatar yang mengeluarkan fermentasi.

"Minuman berenergi bukan khamar, mungkin keluar fermentasinya berupa zat ethanol. Kalau kadarnya di bawah 1 persen itu ditolerir," kata Amidhan kepada detikcom, Jumat (11/4/2008).

Minuman berenergi, menurut Amidhan, tidak dimaksudkan untuk menjadi minuman memabukkan. Angka 1 persen adalah batas yang dinilai tidak akan menyebabkan mabuk. Masyarakat harus membedakannya dengan khamar seperti arak, bir atau wine yang memang sengaja dibuat untuk memabukkan.

Jadi, di sini menjadi jelas bahwa konteks dari fatwa tersebut sangat penting. Yang dibicarakan Syekh Yusuf al Qardhawi adalah minuman berenergi. Bukan bir atau wiski yang mempunyai kadar alkohol yang rendah.

Mungkin dari pandangan orang biasa, tidak ada bedanya. Tetapi dari pandangan ulama fiqih tetap ada bedanya. Kalau kadar alkohol 0,5% itu muncul di dalam sebuah mimuman berenergi, maka hal itu hanya merupakan hasil alami dari proses fermentasi. Hal ini belum tentu disengaja, dan juga belum tentu bahwa kadar alkohol dikontrol supaya persis sama di dalam setiap botol. (Tetapi untuk bir dan lain-lain, kadar alkohol sangat dikontrol, dan bahkan ditulis di botolnya biar peminum bisa tahu).

Ternyata, tidak ada bar dan klub malam di mana orang masuk dan pesan minuman berenergi karena berniat mabuk. Dan produsennya juga tidak menciptakan produk tersebut dengan niat memabukkan orang. Justru sebaliknya, dia ingin menyehatkan orang, dan tidak membicarakan bagaimana caranya mengatur kadar alkoholnya, atau bagaimana supaya peminum bisa menjai mabuk atau kecanduan. Dia juga tidak berusaha mendapat akses untuk memasukkan produknya ke bar dan klub malam supaya minuman berenergi itu bisa dijual di sana dan bersaing langsung dengan bir, wiski, vodka, dan lain-lain.

Jadi, statusnya tetap sebagai minuman berenergi yang karena proses fermentasi alami, ternyata muncul kadar alkohol kecil. Hal yang setara bisa terjadi dengan buah yang diawetkan, minuman yang mengandung bahan-bahan tertentu seperti gula, saus di dalam botol seperti saus teriyaki dll., makanan seperti tape, dan juga bisa ada secara alami di dalam buah seperti durian. Dalam semua kasus ini, alkoholnya tidak diciptakan dengan niat memabukkan orang, jadi tidak bisa disamakan dengan minuman beralkohol seperti bir dan wiski (khamar) yang hanya diciptakan untuk memabukkan.

Tetapi, kalau misalnya ada kasus di mana satu orang paham bahwa minuman berenergi tersebut mengandung kadar alkohol yang kecil, dan dia dengan sengaja minumnya berkali-kali setiap hari biar bisa merasa “mabuk” maka minuman itu (bagi dia) sudah menjadi sama dengan khamar (bir, wiski, dll.), jadi bagi dia minuman itu memang harus diharamkan. Tetapi buat tentangganya yang hanya minumnya sewaktu-waktu karena ingin merasa segar, tidak berniat menjadi mabuk, dan tidak menyamakan fungsinya dengan bir, dan tetap akan beli walaupun tidak ada kadar alkohol sama sekali, maka Insya Allah tidak haram dan tidak bisa disebut “khamar”. Coba berfikir seperti ini: kalau ada orang yang kecanduan bir yang tahu bahwa di bar tertentu, semua bir, wiski, vodka dan minuman lain tidak punya kadar alkohol sama sekali, apakah dia masih akan masuk dan pesan minuman itu bila ternyata tidak bisa mabuk? Pasti dia tidak mau karena niat dia beli minuman itu adalah biar bisa merasa “mabuk”.

Jadi, minum berenergi yang punya kadar alkohol kecil berbeda dengan bir. Bir yang punya 0% alkohol tetap tidak diizinkan oleh ulama, karena setelah diteliti, tetap ada kadar alkoholnya, walaupun sangat kecil. Lalu apa bedanya?

Bedanya adalah bir 0% itu diciptakan oleh perusahan yang memproduksikan bir. Jadi, mereka sangat peduli pada “khamar” karena merupakan bisnis utama mereka. Kalau mereka membuat sebuah minuman dengan kadar alkohol yang sangat rendah, kita tidak bisa tahu “niat” mereka apa. Misalnya, mereka punya tujuan untuk membiasakan masyarakat dengan minuman tersebut, supaya di masa depan lebih mudah bagi masyarakat untuk “pindah” ke produk utama mereka, yaitu bir yang beralkohol tinggi.

Jadi, barangkali bir 0% itu hanya merupakan trik marketing mereka supaya di masa depan banyak orang menjadi senang minum bir yang beralkohol. Kita tidak tahu. Tetapi yang jelas, sebagai perusahaan minuman keras, mereka sangat peduli pada kadar alkohol karena itulah ilmu mereka dan mereka sangat pintar dan sangat peduli pada proses mengatur kadar alkohol di dalam minuman mereka.

Sebaliknya, kalau kita bertanya kepada produsen minuman berenergi tentang kadar alkohol di dalam setiap botol dan apa yang dia lakukan untuk mengatur tingkat alkohol tersebut supaya rata dalam setiap botol, mungkin dia akan menjawab, “Emang gue pikirin?” karena dia sangat tidak peduli pada hal itu. Dia tidak merasa sebagai penjual minuman beralkohol dan tujuan dia bukan untuk memabukkan orang. Beda dengan produsen bir.

Kesimpulannya, kalau mau setuju dengan pendapat sebagian ulama yang sangat hati-hati, silahkan tinggalkan semua makanan dan minuman yang punya kadar alkohol, walaupun sangat kecil. Kalau mau anggap makruh (tidak haram, tetapi lebih baik ditinggalkan) silahkan juga, dan kedua sikap ini sangat baik dan mulia. Dan yang terakhir, ada pendapat bahwa minuman tersebut tidak sama dengan “khamar” yang Allah haramkan, karena tidak diproduksi dengan niat memabukkan orang.

Silahkan pilih salah satu pendapat yang diyakini. Dari pembicaraan yang panjang dengan guru saya KH Masyhuri Syahid, saya merasa yakin pada pendapat terahkhir (tidak haram karena tidak sama dengan khamar). Tetapi kalau ada teman yang berbeda pendapat karena ingin hati-hati, silahkan. Kita tidak perlu ribut tentang hal seperti ini. Yang penting kita menggali ilmu dan meyakini salah satu pendapat tersebut.

Semoga bisa dipahami. Mohon maaf bila ada kesalahan.

Wabillahi taufiq walhidayah.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene Netto

11/04/2008 07:00 WIB

Fatwa Qardhawi Soal Alkohol Jadi Kontroversi

Fitraya Ramadhanny - detikcom

Baca di sini: Detik.com

11/04/2008 08:10 WIB

MUI Benarkan Qardhawi Soal Minuman Beralkohol

Fitraya Ramadhanny – detikcom

Baca di sini: Detik.com

10 April, 2008

Korban Sodomi oleh Guru Ngaji Trauma Lihat Pria


Assalamu’alaikum wr.wb.,

Sedih sekali baca berita ini. Mungkin si pelaku ingin bersaing dengan pastor gereja Katolik yang sudah berkali-kali ditangkap karena melakukan sodomi terhadap anak yang seharusnya dilindungi dan dibimbing dalam agama.

Juga sangat disayangkan sikap anak-anak yang lain di lingkungan si korban. Anak yang sudah menjadi korban diejek oleh mereka dan menjadi korban lagi.

Bagaimana anak kecil bisa bersikap begitu kejam terhadap tentangga dan teman sekolahnya yang tidak bersalah? Di mana orang tuanya yang seharusnya mengajarkan mereka untuk merasa kasihan pada si korban? Apa perlu ajaran khusus di sekolah sehingga anak2 sekolah bisa merasa “kasih-sayang” di dalam hatinya?

Masa korban diejek anak2 yang lain?

Bagaimana masa depan bangsa ini kalau warga negara sudah menjadi kejam dan tidak punya rasa sayang di dalam hatinya pada umur 10 tahun?

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

10/04/2008 14:33 WIB

Korban Sodomi oleh Guru Ngaji Trauma Lihat Pria

Andi Saputra - detikcom

Jakarta - Trauma psikis telah dialami Farhan, salah satu siswa SD Perniagaan Tambora, Jakarta Barat, yang menjadi korban sodomi oleh guru ngajinya, Yusuf (24). Farhan yang kini duduk dibangku kelas 2, mengalami trauma berat. Menurut penuturan orangtua Farhan, Aisyah, Farhan tidak mau lagi menemui laki-laki.

"Farhan sering mengurung diri di rumah dan hanya mau keluar saat sekolah. Karena teman-temannya sering ngejek-ngejek," tutur Aisyah di Polres Jakarta Barat, Jl S Parman, Jakarta Barat, Kamis (10/3/2008).

Aisyah berharap, Yusuf dihukum seberat-beratnya, "Saya ingin pelaku dihukum seberat-beratnya karena pelaku sudah kejam ke anak saya."

Sementara, saat ini polisi tengah melakukan visum pada 10 korban. Sedangkan korban lainnya, telah divisum pada Rabu 9 April 2008 malam. Keseluruhan korban divisum di RSCM. ( ptr / ana )

10/04/2008 15:24 WIB

Guru Ngaji Sodomi 26 Anak Diancam 15 Tahun Penjara

Andi Saputra - detikcom

Jakarta - Yusuf alias Ucup alias Cucup Kurniawan (24), tersangka sodomi pada 26 siswa ngajinya hukuman penjara 15 tahun penjara.

"Yusuf terancam pasal 82 UU No 23/2002 tentang UU Perlindungan Anak jo pasal 292 KUHP, dengan ancaman penjara 15 tahun," kata Kapolres Jakarta Barat Kombes Iza Fadri, di Mapolres Jakarta Barat, Jl S Parman No 31, Jakarta Barat, Kamis (10/3/2008).

Yusuf ditangkap di kampung halamannya, Wanaraja, Garut, Jawa Barat. "Saat ditangkap, Yusuf tidak melakukan perlawanan sedikit pun," ujar dia.

Iza menambahkan, pihaknya telah mendapatkan 17 laporan dari korban sodomi yang dilakukan oleh Yusuf. Mereka adalah FA, UD, AN, IR, AG, AS, UM, MA, PE, RI, IR, OK, BO, FI, RU, RA, RY. Rata-rata korban berusia 5 tahun hingga 15 tahun.

"Jumlah ini akan bertambah karena pelaku melakukan sodomi dari 2004 hingga sekarang," pungkasnya. ( ptr / nrl )

Sumber: Detik.com

Terungkap, Proyek Rahasia Bush untuk Singkirkan Hamas dari Ghaza


Selasa, 4 Mar 08 16:02 WIB

Dugaan ada nyacampur tangan AS dalam penggulingan pemerintahan Hamas yang sah di Palestina, ternyata benar adanya. Setelah pemerintahan Hamas tumbang dan menyingkir ke Ghaza, pemerintahan AS ternyata masih belum puas juga. Presiden AS George W. Bush rupanya telah merancang proyek rahasia untuk mengakhiri penguasaan Hamas atas Ghaza.

Proyek rahasia itu diungkap majalah Vanity Fair berdasarkan sejumlah dokumen-dokumen rahasia yang berhasil mereka dapatkan. Dari dokumen-dokumen itu diketahui bahwa Bush dan Menlu Condoleezza Rice telah menandatangani sebuah rencana membantu Presiden Palestina Mahmud Abbas untuk menyingkirkan Hamas dari Ghaza.

Isi dokumen-dokumen tersebut, menurut Vanity Fair, juga menguatkan tuduhan yang dilontarkan Hamas dan sebagian rakyat Palestina selama ini, bahwa AS telah memberikan bantuan persenjataan dan uang untuk menumpangkan pemerintahan Hamas yang terpilih lewat pemilu yang demokratis di Palestina.

Setidaknya ada tiga memo rahasia yang dikeluarkan jajaran pemerintahan Bush, yang dibeberkan oleh Vanity Fair terkait dengan rencana jahat Bush terhadap Hamas. Memo pertama dibuat oleh Konsul Jenderal AS di al-Quds, Jake Walles. Dalam memo disebutkan bahwa pada tahun 2006, pemerintahan Bush memerintahkan Walles untuk mengatakan pada Abbas di Ramallah agar presiden Palestina itu membubarkan pemerintahan Hamas, jika Hamas tidak mau mengakui rejim Zionis Israel.

"Kami yakin sudah waktunya buat Anda (Abbas) untuk bergerak dengan cepat dan meyakinkan. Jika Hamas dalam batas waktu yang telah ditentukan tidak sepakat (tidak mau mengakui Israel), Anda harus tegas menentukan tujuan dan segera mendeklarasikan situasi darurat serta membentuk pemerintahan darurat yang secara eksplisit memegang komitmen platform tersebut. Jika Anda bertindak sesuai jalur, kami akan membantu Anda baik dari sisi material maupun sisi politik... Kami akan di sana mendukung Anda, " demikian bagian isi memo pertama.

Memo kedua disusun oleh Departemen Luar Negeri AS. Dalam memo itu disebutkan bahwa harus dicari cara-cara yang bisa "mengakhiri permainan" di mana Abbas harus menyingkirkan Hamas dari tampuk kekuasaan sampai akhir tahun 2007. Untuk itu, Abbas harus diberi perlengkapan untuk memperkuat pasukannya.

Sedangkan memo ketiga, berisi perencanaan di mana Abbas akan membubarkan pemerintahan bersatu Fatah-Hamas dan kesepakatan keamanan akan dilakukan antara Dahlan dan Dayton untuk memperkuat pasukan Fatah. Yang dimaksud dengan Dayton adalah Letnan Jenderal Keith Dayton, yang pada saat itu menjadi kordinator pasukan pengamanan AS di Palestina. (ln/presstv)

Sumber: Eramuslim

Losing the War for Reality (Failure in the CIA)

This is well worth the read. It’s quite amazing how old names from the past 25 years keep popping up again in new administrations. It such a shame that the majority of the American public have no interest in controlling what their government does. Or even care enough to want to know. They are probably more interested in knowing about what Britney Spears or Paris Hilton are doing.

As long as that situation continues, the whole world is at the mercy of US foreign policy, and there are no “checks and balances” anymore. There is only the “Truth” as presented by Fox News.

Go to Original

Losing the War for Reality

By Robert Parry

Consortium News

Tuesday 08 April 2008

When future historians look back at the sharp decline of the United States in the early 21st Century, they might identify the Achilles heel of this seemingly omnipotent nation as its lost ability to recognize reality and to fashion policies to face the real world.

Like the legendary Greek warrior - whose sea-nymph mother dipped him in protective waters except for his heel - the United States was blessed with institutional safeguards devised by wise Founders who translated lessons from the Age of Reason into a brilliant constitutional framework of checks and balances.

What the Founders did not anticipate, however, was how fragile truth could become in a modern age of excessive government secrecy, hired-gun public relations and big-money media. Sophisticated manipulation of information is what would do the Republic in.

That is the crucial lesson for understanding the arc of U.S. history over the past three decades. It is a central theme of a new book by former CIA analyst Melvin A. Goodman, Failure of Intelligence: The Decline and Fall of the CIA.

As a senior Kremlinologist in the CIA's office of Soviet analysis, Goodman was on the front lines of the information war in the early 1980s when ideological right-wingers took control of the U.S. government under Ronald Reagan and began to gut the key institutions for assessing reality.

One of the target institutions was the national press corps, which came under sustained assault from the Right - with reporters facing accusations of disloyalty and "liberal bias" from both inside the Reagan administration and from well-financed right-wing attack groups. [For details, see Robert Parry's Lost History or Secrecy & Privilege.]

Another key institution on the Right's radar scope was the CIA's analytical division, which was responsible for supplying objective information about the world's dangers to senior government officials.

However, in the 1970s and early 1980s, CIA analysts were seeing evidence of an accelerating decline in the Soviet Union, especially in its technological capabilities and its economy. Thus, Moscow seemed genuinely interested in détente with the West, especially a winding down of the dangerous and expensive arms race, the analysts concluded.

"A CIA paper warning of the Soviet Union's impending descent into economic stagnation, 'Soviet Economic Problems and Prospects,' was issued in 1977, setting out the reasons why the Soviet economy was in trouble and why its future was so grim," wrote Goodman in his book.

While many Americans might have thought the Soviet decline would be good news, it wasn't welcomed by the U.S. right-wing or inside the military industry. They preferred that the American people still perceive an ascendant and implacable communist enemy, all the better to justify brush-fire wars and higher spending on weapons systems.

So, when Reagan captured the White House in 1980, his followers set their sights on purging the CIA's analytical division of its historical commitment to objectivity, to be replaced by a submissive readiness to deliver politically desirable data.

Robert Gates's Role

As Goodman's book explains in impressive detail, the key action officer for carrying out this reversal of the CIA's analytical role was a young bureaucrat named Robert Gates, who is now George W. Bush's Secretary of Defense.

Goodman recalls the CIA's analytical tradition of honest scholarship, which was established in the early days of the Cold War by the likes of Harvard professor William Langer, a former intelligence analyst in World War II.

"Langer and his successor, Yale professor Sherman Kent, were keen analysts in their own right and merciless in criticizing the work of their colleagues," Goodman wrote. "Both Langer and Kent were independent, tenacious, and tough-minded. They made sure that analysts 'told it like it was,' even if the conclusions of the estimates were not consistent with favored policy.

"Kent emphasized that he wanted intelligence delivered with the 'bark on,' no matter how unpopular the message was to policymakers."

However, that ethos began to erode in 1973 - beginning with President Richard Nixon's appointment of James Schlesinger as CIA director and Gerald Ford's choice of George H.W. Bush for that job in 1976 - but the principle of objectivity wasn't swept away until Ronald Reagan put in his campaign chief, William Casey, as CIA director. Casey then chose the ambitious Robert Gates to run the analytical division.

Rather than Kent's mandate for "bark on" intelligence, Goodman observed, "Bob Gates turned that approach on its head in the 1980s and tried hard to anticipate the views of policymakers in order to pander to their needs.

"Unlike Kent, Gates consistently told his analysts to make sure never to 'stick your finger in the eye of the policymaker.'"

It didn't take long for the winds of politicization to start blowing through the halls at Langley.

"Bill Casey and Bob Gates guided the first institutionalized 'cooking of the books' at the CIA in the 1980s, with a particular emphasis on tailoring intelligence dealing with the Soviet Union, Central America, and Southwest Asia," Goodman wrote.

"Casey's first NIE [National Intelligence Estimate] as CIA director, dealing with the Soviet Union and international terrorism, became an exercise in politicization. Casey and Gates pushed this line in order to justify more U.S. covert action in the Third World.

"In 1985, they ordered an intelligence assessment of a supposed Soviet plot against the Pope, hoping to produce a document that would undermine Secretary of State [George] Shultz's efforts to improve relations with Moscow. The CIA also produced an NIE in 1985 that was designed to produce an intelligence rationale for arms sales to Iran."

After years of overestimating growth of Soviet military spending, which had been pegged at 4 to 5 percent a year, CIA analysts sought in 1983 to correct the growth rate down to 1 percent, only to be blocked by Gates, according to Goodman.

"Gates would not permit the paper with the revised growth rates to be published, but warned [Defense Secretary Caspar] Weinberger, who 'went nuts,' according to two former CIA analysts," Goodman wrote. "Two years later, Gates finally permitted the paper to be circulated, but he refused to publish a paper."

The Triumph of Career

From his front-row seat at CIA headquarters, Goodman watched in dismay as Gates applied his bureaucratic skills to reverse the agency's analytical principles.

"While serving as deputy director for intelligence from 1982 to 1986, Gates wrote the manual for manipulating and centralizing the intelligence process to get the desired intelligence product," Goodman wrote.

Gates promoted pliable CIA careerists to top positions, while analysts with an independent streak were sidelined or pushed out of the agency.

"In the mid-1980s, the three senior [Soviet division] office managers who actually anticipated the decline of the Soviet Union and Moscow's interest in closer relations with the United States were demoted," Goodman wrote, noting that he was one of them.

"All understood the weakness of the Soviet Union, but were removed from their managerial responsibilities by the director of the Soviet office, Douglas MacEachin, under the orders of the deputy director of intelligence, Bob Gates."

The reason, Goodman wrote, was: "The Reagan administration would not accept any sign of Soviet weakness or constraint, and CIA director Casey and deputy director Gates made sure intelligence analysis presented the Russian Bear as threatening and warlike."

These institutional blinders remained in place for the rest of the 1980s.

"As a result, the CIA missed the radical change that Mikhail Gorbachev represented to Soviet politics and Soviet-American relations, and missed the challenges to his rule and his ultimate demise in 1991," Goodman wrote.

So, when the Soviet Union - the CIA's principal target - collapsed without any timely warning to the U.S. government, the CIA didn't as much "miss" this development as it was blinded by ideological taskmasters to the reality playing out in plain sight.

Covering Up

Then, rather than take the Soviet intelligence failure to heart, Gates and other bureaucrats went to work covering their tracks. For that, they got the help of Harvard's Kennedy School, which received hundreds of thousands of dollars to finance case studies to show that the CIA "got it right," Goodman wrote.

"The office director for the Soviet Union during much of the 1980s, when the work of politicization was undertaken, Douglas MacEachin, was sent to Harvard as intelligence officer in residence to help the director of the case studies, Philip Zelikow, prepare these studies," Goodman wrote.

"In 1993, MacEachin became the CIA's deputy director for intelligence," Goodman wrote. "Zelikow and MacEachin were reunited in 2004, when Zelikow was named staff director of the 9/11 commission and appointed MacEachin a team leader on the staff. Zelikow and MacEachin made sure that the commission did not indict the CIA for its contributions to the 9/11 intelligence failure."

In the 1980s, two other brave analysts - Richard Barlow and Peter Dickson - were punished when they clashed with the Casey-Gates desires regarding analyses on nuclear proliferation issues, particularly evidence that Pakistan was developing a nuclear bomb.

At the time, the Reagan administration wanted the Pakistan-bomb issue downplayed because the Pakistani intelligence service was helping the United States funnel arms to Islamic fundamentalists flocking to Afghanistan to fight Soviet troops.

Ironically, after the Soviet Union withdrew from Afghanistan in the late 1980s, the chief beneficiaries of that covert U.S. program included Osama bin Laden, who used the Afghan war to organize his band of al-Qaeda terrorists, and Pakistani physicists, who did develop a nuclear bomb and sold the technology to "rogue" countries.

Yet, in the 1980s, while out-of-step analysts were pushed aside, many of Gates's protégés - the likes of John McLaughlin, Paul Pillar and Alan Foley - went on to successful CIA careers. Eventually, they would play key roles in the politicizing of the intelligence on Iraq's WMD, Goodman wrote.

A central theme of Goodman's book is that the consequences of this obsequious intelligence - this failure to face reality - have been disastrous:

"Much of the intelligence damage in the run-up to the Iraq War was due to the DI [the CIA's Directorate of Intelligence] believing that it was actually 'serving' the White House in preparing its assessments of Iraqi WMD. [Old-time analysts] Langer and Kent did not see themselves as 'serving' the White House, but 'informing' the White House."

Gates Advances

Goodman noted that other cozy relationships helped advance Gates's career and blocked a truthful recounting of recent American history. Goodman even traced the end of serious congressional oversight of intelligence to 1991 and the Senate Intelligence Committee's capitulation during Gates's confirmation hearings to be CIA director.

After Gates had been blocked from the top CIA job in 1987 because of his ties to the Iran-Contra scandal, Gates "set about to launder his credentials and particularly to insinuate himself with [Sen. David] Boren," D-Oklahoma, chairman of the Senate Intelligence Committee, Goodman wrote.

"In 1991, the White House checked with Boren to see if Gates could receive confirmation this time around, and Boren angered many Democrats on the intelligence committee when he guaranteed confirmation to White House aide Boyden Gray."

But a firestorm over Gates's role in politicizing CIA intelligence threatened his nomination in fall 1991. Rather than back off this time, however, President George H.W. Bush told committee Republicans "that he was 'going to the mat' for Gates and wanted his nomination confirmed at all cost," Goodman wrote.

Gates's future ultimately was saved by Boren and his top aide, George Tenet, who shepherded the nomination through the committee and then the full Senate.

Once Gates got in as director, he went to work shielding Bush from political scandal, including Bush's secret military support of Saddam Hussein's regime in Iraq during the 1980s, according to Goodman.

Gates helped squelch the House Banking Committee's examination of a multi-billion-dollar Iraqi-financing operation involving the Italian-owned Banca Nazionale del Lavoro, Goodman wrote, adding:

"The fact is that the Bush administration was engaged in an effort to subsidize and arm Saddam Hussein right up to the Iraqi invasion of Kuwait, and the CIA was totally aware of these efforts."

The Casey-Gates approach of putting politics and ideology ahead of objective analysis was still alive and well a decade later when then-CIA director George Tenet offered President George W. Bush the "slam-dunk" intelligence on Iraq's WMD.

Though Goodman suspects that Bush would have invaded Iraq whatever the CIA did, "it is conceivable … that honest leadership from George Tenet and John McLaughlin and a strong CIA stand could have created more opposition to the war from the Congress, the media, and the public," Goodman wrote.

But that didn't happen. Instead, Goodman wrote: "The CIA's failure in the run-up to the Iraq War was a total corporate breakdown."

Even in the wake of the Iraq WMD disaster, politicization has remained dominant, according to Goodman.

Tenet's successor, former Republican congressman Porter Goss, issued a memo to the CIA staff telling them to "support the administration and its policies in our work. As Agency employees, we do not identify with, support, or champion opposition to the administration or its policies."

In Goodman's view, other post-9/11 changes in the structure of the U.S. intelligence community - such as topping it off with another presidential appointee as Director of National Intelligence - have failed to address the underlying problem of a lost ethos that was committed to telling the truth no matter the political consequences.

Faced with mounting opposition to the Iraq War in 2006, President Bush also dipped back into his father's old roster of pliable bureaucrats and brought Robert Gates back into the government as Secretary of Defense. Gates helped put a fresh face on the "surge." [For more on Gates, see Consortiumnews.com's archive, "Who Is Bob Gates?"]

Lost Moral Compass

To Goodman, the erroneous intelligence analyses - that caused the United States to massively over-spend on military hardware to confront a declining Soviet threat in the 1980s and that led the nation into a bloody quagmire in Iraq this decade - were not simply mistakes.

"The intelligence provided in the Gorbachev era and the run-up to the Iraq War represented the failure of the CIA's moral compass," Goodman wrote. "There have been pluses and minuses over the sixty-year history of the CIA, but the past twenty-five years have provided an unending cycle of failure in telling truth to power. …

"The moral failure is the most worrisome aspect of all because, without the willingness to tell truth to power, reform and reorganization of CIA become irrelevant."

That lost ethos of seeking truth and telling it - both in the political and journalistic worlds - also goes a long way to explaining how the American Republic lost its way.

-----------

Robert Parry broke many of the Iran-Contra stories in the 1980s for the Associated Press and Newsweek. His latest book, Neck Deep: The Disastrous Presidency of George W. Bush, was written with two of his sons, Sam and Nat, and can be ordered at neckdeepbook.com. His two previous books, Secrecy & Privilege: The Rise of the Bush Dynasty from Watergate to Iraq and Lost History: Contras, Cocaine, the Press & 'Project Truth' are also available there. Or go to Amazon.com.

Source: Consortium News

09 April, 2008

1 Dari 5 ABG Putri Alami Kekerasan Seksual Saat Pacaran

09/04/2008 12:30 WIB

Nadhifa Putri - detikcom

Jakarta - Kekerasan seksual di kalangan remaja atau ABG sangat memprihatinkan. 1 Dari 5 remaja putri mengalami kekerasan seksual saat berpacaran atau dating violence.

"Harus diwaspadai adanya kekerasan di masa pacaran atau dating violence. Satu dari 5 remaja putri di Indonesia pernah mengalami kekerasan dalam masa berpacaran," kata Meutia Hatta saat konferensi pers Rencana Aksi Nasional Mewujudkan Keluarga Bersih dari Pornografi di Kantor Menneg PP, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (9/4/2008)

Kata Meutia, dating violence banyak terjadi karena remaja yang kecanduan pornografi. Kecanduan itu, menyebabkan pemaksaan pada remaja perempuan agar mau berhubungan intim. "Pelaku akan melakukan pemaksaan dan pelecehan secara verbal ataupun fisik dengan memperlihatkan gambar porno," tambahnya.

Dia juga mengatakan, berdasarkan toptenreveiw.com Indonesia masuk nomor 7 dari 10 peringkat dunia negara pengakses pornografi. Dari survey itu, di tahun 2006 berkembang 100 ribu situs bermaterikan pornogrofi anak yakni usia 18 tahun ke bawah.

Data itu menyebutkan 89 persen chating anak muda berkonotasi seksual. Rata-rata pengaksesnya berusia 11 tahun.

Sedangkan 80 persennya berusia 15-75 tahun telah biasa mengakses pornografi hardcore atau adegan hubungan intim yang memperlihatkan alat vital. "Yang lebih parah lagi data tersebut menyebutkan 90 persen akses pornografi dilakukan saat belajar dan melakukan tugas bersama," jelas Meutia.

Untuk mengantisipasinya perlu adanya informasi dan edukasi kepada para remaja tentang hak reproduksi. "Saya juga imbau orangtua untuk berperan aktif," tukasnya.

Terkait masalah itu, dia akan menggelar Aksi Nasional Mewujudkan Keluarga Bersih dari Pornografi. ( mar / nvt )

Sumber: Detiknews.com

08 April, 2008

Remember: They Are Liars

Read more of William Rivers Pitt's columns

Remember: They Are Liars

By William Rivers Pitt

t r u t h o u t | Columnist

Tuesday 08 April 2008

“No one is such a liar as the indignant man.”

- Friedrich Nietzsche

George W. Bush, Dick Cheney, Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, Condoleezza Rice, along with a slew of administration underlings and a revolving-door cavalcade of brass hats from the Pentagon, have been making claims regarding Iraq for many years now.

They claimed Iraq was in possession of 26,000 liters of anthrax, "enough to kill several million people," according to a page on the White House web site titled Disarm Saddam Hussein.

They lied.

They claimed Iraq was in possession of 38,000 liters of botulinum toxin.

They lied.

They claimed Iraq was in possession of 500 tons, which equals 1,000,000 pounds, of sarin, mustard and VX nerve agent.

They lied.

They claimed Iraq was in possession of nearly 30,000 munitions capable of delivering these agents.

They lied.

They claimed Iraq was in possession of several mobile biological weapons labs.

They lied.

They claimed Iraq was operating an "advanced" nuclear weapons program.

They lied.

They claimed Iraq had been seeking "significant quantities" of uranium from Africa for use in this "advanced" nuclear weapons program.

They lied.

They claimed Iraq attempted to purchase high-strength aluminum tubes "suitable for nuclear weapons."

They lied.

They claimed America needed to invade, overthrow and occupy Iraq in order to remove this menace from our world. "It would take just one vial, one canister, one crate slipped into this country," went the White House line, "to bring a day of horror like none we have ever known."

They lied.

"Simply stated," said Dick Cheney in August of 2002, "there is no doubt that Saddam Hussein now has weapons of mass destruction."

Liar.

"Right now," said George W. Bush in September of 2002, "Iraq is expanding and improving facilities that were used for the production of nuclear weapons."

Liar.

"We know for a fact," said White House Press Secretary Ari Fleischer in January of 2003, "that there are weapons there."

Liar.

"We know that Saddam Hussein is determined to keep his weapons of mass destruction," said Colin Powell in February of 2003, "is determined to make more."

Liar.

"We know where they are," said Donald Rumsfeld in March of 2003. "They are in the area around Tikrit and Baghdad, and east, south, west and north somewhat."

Liar.

"The Iraqi people understand what this crisis is about," said Paul Wolfowitz in March of 2003. "Like the people of France in the 1940s, they view us as their hoped-for liberator."

Liar.

"No one ever said that we knew precisely where all of these agents were," said Condoleezza Rice in June of 2003, "where they were stored."

Liar.

"I have absolute confidence that there are weapons of mass destruction inside this country," said Gen. Tommy Franks in April of 2003. "Whether we will turn out, at the end of the day, to find them in one of the 2,000 or 3,000 sites we already know about or whether contact with one of these officials who we may come in contact with will tell us, 'Oh, well, there's actually another site,' and we'll find it there, I'm not sure."

Wrong.

"Before the war," said Gen. Michael Hagee in May of 2003, "there's no doubt in my mind that Saddam Hussein had weapons of mass destruction, biological and chemical. I expected them to be found. I still expect them to be found."

Wrong.

"Given time," said Gen. Richard Myers in May of 2003, "given the number of prisoners now that we're interrogating, I'm confident that we're going to find weapons of mass destruction."

Wrong.

"Do I think we're going to find something? Yeah, I kind of do," said Maj. Gen. Keith Dayton in May of 2003, "because I think there's a lot of information out there."

Wrong.

Gen. David Petraeus, commander of US forces in Iraq, is about to give testimony before the Senate regarding the current state of affairs in that battle-savaged country. He is a political general, one of many America has seen and heard over the last five years, one who would leap nude from the Capitol dome before telling the real truth about matters in Iraq ... or who would speak using words fed to him by liars, and thus be wrong.

Remember: they lie. They all lie, from the top man down to the bottom. If their lips are moving, a lie is unfolding. If they say water is wet, get into the shower to make sure.

They lie.

Period.

End of file.


William Rivers Pitt is a New York Times and internationally bestselling author of two books: "War on Iraq: What Team Bush Doesn't Want You to Know" and "The Greatest Sedition Is Silence." His newest book, "House of Ill Repute: Reflections on War, Lies, and America's Ravaged Reputation," is now available from PoliPointPress.

Source: Truthout

MUI: Roti Bread Talk Tidak Dijamin Halal


MUI “Angkat Tangan” Kehalalan

Selasa, 08 April 2008

Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat-tangan terhadap kehalalan produk roti BreadTalk. BreadTalk dianggap mengabaikan peringatan MUI

Hidayatullah.com--Kehalalan roti BreadTalk kembali dipertanyakan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak lagi bertanggung jawab atas kehalalan roti produksi PT Talkindo Selaksa Anugerah itu.

"Kami sampaikan kepada masyarakat, kami tidak bisa menjamin masyarakat lagi mengenai kehalalan roti BreadTalk," ujar Kepala Bidang Sertifikasi Halal LPPOM MUI Muti Arintawati.

Muti, sebagaimana disampaikan okezone, Selasa (8/4) mengatakan, manajemen produsen roti milik pengusaha Johnny Andrean itu tidak memiliki itikad baik untuk memperpanjang sertifikat kehahalan BreadTalk. Sertifikat kehalalan dari MUI yang dimiliki BreadTalk sudah kadaluarsa sejak September 2007 lalu.

"Karena sertifikat itu hanya berlaku dua tahun. Kami sudah sampaikan beberapa kali surat peringatan tapi tidak direspons. Jadi kami tegaskan lagi kepada masyarakat Muslim bahwa MUI tidak lagi bertanggung jawab dengan kehalalan BreadTalk," tandasnya.

BreadTalk didirikan pada tahun 6 Maret 2003 oleh George Quek, seorang wirausahawan yang sebelumnya memulai jaringan food court yang sukses di Singapura, Food Junction. Konsepnya berbeda dibandingkan dengan toko-toko roti lainnya pada umumnya, dengan memerhatikan penampilan toko yang dirancang agar terlihat eksklusif serta memperlihatkan dapur pembuatan roti kepada para pengunjungnya melalui kaca transparan.

Tahun 2005, MUI pernah mengumumkan BreadTalk, Hoka Hoka Bento, dan Bir Bintang sebagai makanan dengan kategori subhat. “BreadTalk dan Hoka Hoka Bento dinyatakan syubhat (meragukan) dan Bir Bintang 0 persen alkohol dinyatakan haram,” demikian ujar Sekretaris Umum MUI, Dien Syamsudin, saat jumpa pers kala itu. [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

Sumber:

Hidayatullah.com

Okezone.com

******************

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Pertanyaan saya: Apakah ini merupakan sebuah trik bisnis baru (atau lama)?

Langkah pertama, dapatkan sertifikasi halal.

Langkah kedua, biarkan sertifikat itu kadaluarsa. Abaikan semua surat peringatan dari MUI.

Langkah ketiga, teruskan bisnis seperti biasa. Mungkin banyak orang tidak akan dengar berita tersebut, kecuali masuk tivi dan halaman depan semua koran.

Dan kalau tidak, banyak konsumen akan makan seperti biasa. (Sampai sekarang saya masih sering melihat ibu-ibu yang memakai jilbab yang makan di Hoka-Hoka Bento, jadi mereka pasti belum mendengar berita bahwa Hokben itu syubhat (diragukan), yang berati juga ada kemungkinan bahwa makanan itu haram.)

Dengan tindakan ini, semua perusahan bisa mendapatkan seritfikat halal untuk awal operasi bisnisnya saja sehingga lebih laku, lalu berasumsi bahwa masyarakat secara luas tidak akan tahu kalau sertifikat sudah kadaluarsa. Dan sesudahnya, kecuali ekspose secara besar-besaran di media massa, banyak orang biasa tidak akan pernah tahu bahwa status halalnya telah berubah, dan kalau sekedar mendengar “isu” dari teman, mungkin tidak percaya dan makan terus. Mereka akan berasumsi bahwa berita tersebut dari teman hanya sebatas isu saja, atau gejala persaingan bisnis.

Terima kasih kepada LPPOM MUI atas penjagaannya.

Mari kita semua memboikot Breadtalk supaya mereka tahu bahwa ummat Islam tidak suka dipermainkan oleh pengusaha yang siap mengabaikan kebutuhan keagamaan kita, padahal kita sudah terbukti menjadi konsumen yang baik hati dan setia pada bisnis mereka.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

05 April, 2008

Sesame Street / Jalan Sesame


(Jalan Sesama bisa disaksikan di Trans 7, jam 13.30, setiap hari.)

Komentar dari teman di milis sd-islam:

Gene, siang ini saya juga menonton Jalam Sesama dengan dua anak saya. Ini adalah pengalaman menonton tv yang paling menyenangkan setelah bertahun-tahun. Seminggu yang lalu saya juga sempat menonton, dan..... saya melihat Cookie Monster [= tokoh favorit Gene]! Wah penampilannya sama kerennya, begitu juga lucunya. Cookie Monster berbahasa Indonesia sama lucu dan menyenangkan.

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Ya Bu,

Dari pengalaman saya di Australia, bukan anak saja yang nonton Sesame Street (SS), tapi orang dewasa suka nonton juga.

Aku dulu sangat sangat senang dengan Cookie Monster dan Mr Snuffelafagus (teman Big Bird yang mirip mammoth/gajah berbulu). Dan saya masih ingat sampai sekarang ketika awalnya Mr Snuffelafagus muncul sebagai teman Big Bird, dan setiap kali Big Bird panggil orang lain untuk bertemu dengannya, Mr S sudah menghilang, sehingga orang lain tidak percaya pada Big Bird.

25 tahun kemudian, masih bisa diingat. Apakah 25 tahun di depan, orang dewasa di Indonesia akan mengingat suatu adegan dari acara2 anak yang mereka tonton sekarang?

Teman2 saya juga seperti itu. Sampai saat kuliah, kami bisa kumpul di kantin dan diskusi seru tentang tokoh-tokoh SS dan bahas kehebatan masing2, sampai menjadi berdebat pula! (“Cookie Monster lebih lucu daripada Ernie”).

Di Austalia, ada piagam khusus untuk “children’s television”, ada dana dari pemerintah untuk PH yang ingin membuat film/sinetron/kartun anak, dan ada saingan besar antara stasiun televisi untuk menciptakan acara anak yang berkualitas.

Apakah sudah tahu “Wiggles” dari Australia? Ada VCDnya di sini. http://www.thewiggles.com.au/au/home/

Mereka berempat sekedar bernyanyi, berdrama, dll. Dan mereka berempat sudah menjadi tokoh masyarakat, sudah menjadi sangat kaya, dan juga sangat bahagia “masuk kantor” setiap hari. Anak2 kecil dan ibunya pun sangat senang nonton setiap hari.

Yang saya nantikan di sini adalah PH dan stasiun televisi yang menyadari betapa besar keuntungan dari program yang baik seperti ini, dan sekaligus sangat baik buat anak, dan juga masyarakat.

Benar2 menjadi win-win solution.

Tetapi sekarang, semuanya pada sibuk bikin sinetron murahan (yang penuh dengan adegan ribut antara anak dan orang tua, anak dan guru, anak dan pembantu, anak dan anak lain, penculikan, penghinaan, perampokan, dan seterusnya), juga bikin reality show yang belum tentu pantas untuk anak, pesta nanyi, pesta musik, dll., tanpa peduli pada dampaknya terhadap anak, tanpa ada niat mendidik sama sekali.

Profit saja yang dikejar.

Tetapi pengalaman di luar negeri membuktikan bahwa program yang berkualitas justru menghasilkan profit yang jauh lebih besar lagi, karena anak bukan sekedar nonton sesaat, tetapi apa yang mereka tonton menjadi bagian dari kehidupannya (seperti yang saya dan teman2 rasakan tentang SS).

Sampai sekarang, Sesame Street masih main di AS, dan kalau tidak salah, telah menjadi acara televisi anak yang ditayangkan paling lama dalam sejarah.

Indonesia, dengan biaya yang minim bisa membuat yang setara. Kalau ada yang berminat. Kapan PH dan stasiun televisi akan berminat? Demi anak, demi masyarakat, demi masa depan bangsa, dan Insya Allah, profit yang dibutuhkan akan terwujud juga dan malah lebih besar dari sekarang.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

(Jalan Sesama bisa disaksikan di Trans 7, jam 13.30, setiap hari.)

Pernikahan dengan sepupu (2)


(Komentar dari teman di milis) :

Gene, ini sudah mulai ada data (dari dua pasangan suami-isteri) tetang hasil pernikahan sepupu:

1. 5 anak: 3 normal, 2 terbelakang

2. 4 anak: 3 normal, 1 terbelakang

Mungkin kalau ini diteruskan, apa data yang terkumpul bisa dijadikan kesimpulan?

Agung W

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Mas Agung,

Riset seperti ini harus dilakukan oleh dokter, atau ahli genetik.

Seperti saya bilang sebelumnya, ada juga banyak orang di sini yang menikah dengan sepupunya, dan anaknya kelihatan sehat dan “normal” secara mental dan fisik.

Barangkali masalah bisa timbul dengan anak dari pasangan sepupu bila secara keturunan ada gen yang bermasalah, dan kalau diganda di dalam tubuh anak (dan bapak dan juga dari ibu), baru bisa menimbulkan penyakit. Tetapi kalau anak hanya kena setengah dari gen tersebut dari bapaknya atau dari ibunya, maka penyakit itu belum tentu akan muncul.

Kalau sudah ketahuan ada gen yang bermasalah, misalnya suatu bentuk kanker yang didapat dari orang tua, dan memang ada sejarahnya di dalam keluarga, sebaiknya calon suami dan isteri itu periksa ke dokter untuk tanya berapa besar kemungkinan anak mereka bisa kena penyakit. Setelah itu, kalau dokter bilang risiko besar sekali, maka pasangan itu bisa berfikir 2 kali apakah mau menikah atau tidak.

Kita harus ingat bahwa ilmu kedokteran juga dari Allah. Dan pernikahan antara sepupu hanya diperbolehkan, bukan dianjurkan. Memiliki budak juga halal di dalam Islam, tetapi ternyata, kita sudah tinggalkan walaupun Allah izinkan. Mungkin diperlukan suatu gerakan dari para dokter untuk mengajurkan agar orang berfikir dua kali dan periksa darah atau konsultasi dengan dokter sebelum menjalankan hubungan serius dengan sepupunya. Kalau hal ini disosialisasikan, nanti orang tua yang bijaksana bisa memberikan anjuran kepada anaknya untuk berhati-hati.

Saya bukannya mau melihat pernikahan tersebut dilarang, karena Allah memang menghalalkan, tetapi saya rasa banyak sekali orang tidak sadar atas risikonya. Mereka baru sadar setelah sudah terlanjur menikah dan anaknya kena penyakit teretentu, kemudian dokter menjelaskan. Bagaimana dengan anak berikutnya?

Jadi, lebih bijaksana kalau kita minta para dokter/pemerintah melakukan analisa terhadap perkara ini dan mengumpulkan data aktual karena sepertinya ini menjadi masalah yang lebih besar di sini ketimbang di lain negara. (Dari semua kenalan saya dari manca negara, setahu saya tidak ada satupun yang menikah dengan sepupnya, dan anak dari mereka yang kena penyakit serius bukannya tidak ada, tetapi sangat jarang sekali).

Jadi, kita perlu informasi.

Dan informasi itu harus ilmiah, harus dari dokter dan ahli biologi.

Dan setelah itu, perlu diinformasikan kepada rakyat dengan dukungan dari pada ahli agama setelah mereka juga diajarkan tentang risiko dari pernikahan tersebut.

Di Indonesia, karena masih merupakan negara berkembang, seorang anak yang lahir dalam keadaan sakit keras atau cacat bisa dijamin punya masa depan yang kruang cerah. Di negara barat ada macam2 bantuan dari pemerintah seperti dana khusus buat anak, subsudi, pengobatan gratis, sekolah khusus, terapi gratis, rumah penginapan khusus (untuk orang dewasa yang cacat mental), dan seterusnya.

Di sini?

Jadi, kalau ada cara untuk mengurangi jumlah anak yang bermasalah dengan mengajarkan masyarakat tentang risiko pernikahan antar sepupu, maka saya rasa itu harus dilakukan.

Allah sudah menyediakan ilmu kedokterannya. Kita yang harus bijaksana dalam aplikasinya.

Di milis lain, saya baca komentar ini:

Di Indonesia juga ada di satu desa ( saya lupa nama desanya dan pernah ditayangkan dalam pemberitaan media ) yang mayoritas anak-anak yang lahir mengalami cacat fisik dan cacat mental. Setelah diteliti ternyata salah satu penyebabnya adalah pernikahan antarkerabat yang masih dekat, selain masalah gizi tentunya. Namun faktor kekerabatan itu yang menjadi faktor dominan.

Dalam Islam memang tidak ada pelarangan pernikahan dengan kerabat dekat selama memang sesuai dengan ketentuan syar'i, namun anjuran dalam Islam pun jelas bahwa pernikahan itu salah satunya adalah untuk memperbesar persaudaraan, sehingga pernikahaan dengan pihak diluar kerabat sangat dianjurkan.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene



03 April, 2008

Jangan tinggalkan anak sendirian di mobil. Kapanpun.


(Berita di bawah ini dipadukan dan diringkas dari tiga artikel di Detik.com, hari Kamis 3/4/2008)

Jakarta - Pencurian mobil Toyota Avanza B 1056 JM saat dipanaskan di depan rumah, menunjukkan para pencuri mobil semakin nekat. Polda Metro Jaya mengeluarkan imbauan agar masyarakat lebih berhati-hati.

"Para pemilik kendaraan bermotor diimbau untuk lebih berhati-hati dan waspada pada saat kendaraan sedang dipanaskan," demikian himbauan dalam situs TMC Polda Metro Jaya, Kamis (3/4/2008).

Ritual warga sebelum berangkat kerja adalah memanaskan mobil dengan pintu pagar terbuka, sambil bolak-balik memasukkan barang dan dokumen yang akan dibawa ke kantor. Tidak ada yang menduga kesibukan di pagi hari itu merupakan titik lemah yang dimanfaatkan mereka yang berniat jahat.

Peristiwa yang dialami pasangan Adi Harahap dan Novi Nike pagi hari ini bisa menjadi pelajaran. Adi dan Novi tidak menduga ada pencuri yang nekat menggasak mobil mereka pukul 06.00 WIB pagi itu di depan rumah mereka di Tebet Timur, Jakarta Selatan.

Padahal kedua anak mereka yang manis, Salma (7) dan Razwa (5), sudah ada di dalam mobil untuk diantarkan ke sekolah. Adi dan Novi segera melapor ke Polsek Metro Tebet. Polisi bergerak cepat dengan menyebarkan informasi ke jajaran Polda Metro Jaya dan radio-radio.

Kata Polisi, "Diduga penjahat sudah profesional. Kita sudah tahu identitas dan ciri-ciri pelaku," ujar Kanit Serse Polsek Tebet Iptu Nurdin A Rahman di Polsek Tebet, Jl Prof DR Sahardjo, Jakarta, Kamis (3/4/2008).

Selama terbawa perampok, kedua anak itu berteriak minta tolong. Perampok kemudian menurunkan kedua bocah itu di Tol Pondok Jaya Bekasi. Mereka mencegat taksi Jakarta City yang dikemudikan Ediman (39). Dengan taksi itulah kedua bocah itu bertemu kembali orangtuanya. ( ziz / nvt )

Jakarta - Ada baiknya anak-anak menghapal nomor ponsel kedua orangtuanya. Salma (7) dan Razwa (5) cepat kembali ke pangkuan orangtuanya karena mereka menghapal nomor ponsel sang ayah, Adi Harahap.

Kedua bocah lucu tersebut berkumpul kembali dengan keluarganya setelah sopir taksi Jakarta City Ediman (39) mengembalikan anak Novi Nike-Adi Harahap itu.

Taksi Edi diberhentikan secara tiba-tiba oleh perampok di pintu keluar Tol Pondok Jaya Bekasi. Perampok lalu menyerahkan Salma (7) dan Razwa (5), yang terbawa dalam mobil Avanza hitam yang dirampoknya dari Novi Nike di depan rumahnya di Jl Tebet Timur, Jakarta Selatan.

"Saya diberhentikan oleh mobil Avanza. Terus diserahi 2 anak kecil itu," ujar Ediman kepada detikcom di Polsek Tebet, Jl Prof DR Sahardjo, Jakarta, Kamis (3/4/2008).

Edi mengatakan, saat diserahkan pelaku, kedua anak itu tidak menangis sama sekali. Edi pun mengira, pelaku adalah penumpang biasa yang hendak naik taksinya. Namun setelah menyerahkan kedua anak itu, pelaku langsung pergi.

"Saya kira penumpang yang mau nganterin anaknya. Tetapi kok kabur. Ketika saya baru jalan sekitar 10 menit, kedua anak itu menangis dan teriak-teriak minta pulang," katanya.

Setelah itu, lanjut Edi, Salma mengatakan kepada dirinya kalau tidak mengenal pelaku dan minta dipulangkan ke rumah orang tuanya di Tebet.

"Saya bingung kok tiba-tiba menangis. Akhirnya saya tanya di mana rumahnya dan HP bapaknya. Terus saya hubungi papa anak itu, janjian ketemuan di Halim," tandasnya. ( ziz / nrl )

Sumber: Detik.com satu , dua , tiga

25 WAYS TO TALK SO YOUR CHILDREN WILL LISTEN


A major part of discipline is learning how to talk with children. The way you talk to your child teaches him how to talk to others. Here are some talking tips we have learned with our children:

1. Connect before you direct

Before giving your child directions, squat to your child's eye level and engage your child in eye-to-eye contact to get his attention. Teach him how to focus: "Mary, I need your eyes." "Billy, I need your ears." Offer the same body language when listening to the child. Be sure not to make your eye contact so intense that your child perceives it as controlling rather than connecting.

2. Address the child

Open your request with the child's name, "Lauren, will you please..."

3. Stay brief

We use the one-sentence rule: Put the main directive in the opening sentence. The longer you ramble, the more likely your child is to become parent-deaf. Too much talking is a very common mistake when dialoging about an issue. It gives the child the feeling that you're not quite sure what it is you want to say. If she can keep you talking she can get you sidetracked.

4. Stay simple

Use short sentences with one-syllable words. Listen to how kids communicate with each other and take note. When your child shows that glazed, disinterested look, you are no longer being understood.

5. Ask your child to repeat the request back to you

If he can't, it's too long or too complicated.

6. Make an offer the child can't refuse

You can reason with a two or three-year-old, especially to avoid power struggles. "Get dressed so you can go outside and play." Offer a reason for your request that is to the child's advantage, and one that is difficult to refuse. This gives her a reason to move out of her power position and do what you want her to do.

7. Be positive

Instead of "no running," try: "Inside we walk, outside you may run."

8. Begin your directives with "I want."

Instead of "Get down," say "I want you to get down." Instead of "Let Becky have a turn," say "I want you to let Becky have a turn now." This works well with children who want to please but don't like being ordered. By saying "I want," you give a reason for compliance rather than just an order.

9. "When...then."

"When you get your teeth brushed, then we'll begin the story." "When your work is finished, then you can watch TV." "When," which implies that you expect obedience, works better than "if," which suggests that the child has a choice when you don't mean to give him one.

10. Legs first, mouth second

Instead of hollering, "Turn off the TV, it's time for dinner!" walk into the room where your child is watching TV, join in with your child's interests for a few minutes, and then, during a commercial break, have your child turn off the TV. Going to your child conveys you're serious about your request; otherwise children interpret this as a mere preference.

11. Give choices

"Do you want to put your pajamas on or brush your teeth first?" "Red shirt or blue one?"

12. Speak developmentally correctly

The younger the child, the shorter and simpler your directives should be. Consider your child's level of understanding. For example, a common error parents make is asking a three-year- old, "Why did you do that?" Most adults can't always answer that question about their behavior. Try instead, "Let's talk about what you did."

13. Speak socially correctly

Even a two-year-old can learn "please." Expect your child to be polite. Children shouldn't feel manners are optional. Speak to your children the way you want them to speak to you.

14. Speak psychologically correctly

Threats and judgmental openers are likely to put the child on the defensive. "You" messages make a child clam up. "I" messages are non-accusing. Instead of "You'd better do this..." or "You must...," try "I would like...." or "I am so pleased when you..." Instead of "You need to clear the table," say "I need you to clear the table." Don't ask a leading question when a negative answer is not an option. "Will you please pick up your coat?" Just say, "Pick up your coat, please."

15. Write it

Reminders can evolve into nagging so easily, especially for preteens who feel being told things puts them in the slave category. Without saying a word you can communicate anything you need said. Talk with a pad and pencil. Leave humorous notes for your child. Then sit back and watch it happen.

16. Talk the child down

The louder your child yells, the softer you respond. Let your child ventilate while you interject timely comments: "I understand" or "Can I help?" Sometimes just having a caring listener available will wind down the tantrum. If you come in at his level, you have two tantrums to deal with. Be the adult for him.

17. Settle the listener

Before giving your directive, restore emotional equilibrium, otherwise you are wasting your time. Nothing sinks in when a child is an emotional wreck.

18. Replay your message

Toddlers need to be told a thousand times. Children under two have difficulty internalizing your directives. Most three- year-olds begin to internalize directives so that what you ask begins to sink in. Do less and less repeating as your child gets older. Preteens regard repetition as nagging.

19. Let your child complete the thought

Instead of "Don't leave your mess piled up," try: "Matthew, think of where you want to store your soccer stuff." Letting the child fill in the blanks is more likely to create a lasting lesson.

20. Use rhyme rules.

"If you hit, you must sit." Get your child to repeat them.

21. Give likable alternatives

You can't go by yourself to the park; but you can play in the neighbor's yard.

22. Give advance notice

"We are leaving soon. Say bye-bye to the toys, bye-bye to the girls…"

23. Open up a closed child

Carefully chosen phrases open up closed little minds and mouths. Stick to topics that you know your child gets excited about. Ask questions that require more than a yes or no. Stick to specifics. Instead of "Did you have a good day at school today?" try "What is the most fun thing you did today?"

24. Use "When you…I feel…because…"

When you run away from mommy in the store I feel worried because you might get lost.

25. Close the discussion

If a matter is really closed to discussion, say so. "I'm not changing my mind about this. Sorry." You'll save wear and tear on both you and your child. Reserve your "I mean business" tone of voice for when you do.

Source: AskDrSears.com

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...