Assalamu’alaikum
wr.wb.,
Teman2, saya dapat message dari Admin lain di Facebook
Muallaf Indonesia (MI), yang mengatakan ada
beberapa member yang komplain tentang saya. Diantara lain, dikatakan bahwa saya
“tidak sopan”, “bertindak seenaknya”, “bersikap kaya preman”, dan sering
“menghinakan orang Indonesia” (tapi saya
tidak diberikan buktinya). Para member itu juga
mendirikan group Facebook yang baru untuk muallaf, supaya dapat kebebasan
bicara di situ.
Mungkin sebagian dari orang itu tidak suka kalau saya
tegas. Apa saya tegas? Iya, mungkin saja saya sering
tegas, tetapi hanya terhadap orang yang mau bicara dengan muallaf tanpa punya “ilmu pembinaan muallaf”. Komentar mereka, yang
mereka anggap “bagus” atau “ilmu Islam yang benar”, bisa sangat mengganggu hatinya seorang muallaf. Sebagian
member menulis komentar di group MI tanpa paham kondisi muallaf
sama sekali. Tetapi kalau saya lawan di awalnya (dengan sikap dan kata2
yang baik) kadang mereka malah naik darah dan
menyerang dengan menanyakan dari mana saya dapat
hak untuk menolak post atau komentar mereka (terutama kalau ada ayat dan hadiths dalam teks yang juga dihapus). Dan ini tidak terjadi
sekali, atau dua kali, tetapi terjadi secara rutin setiap beberapa bulan dengan masuknya member-member baru yang punya pandangan
keras dalam agama.
Orang Muslim dengan sangat mudah bisa menulis (misalnya),
“Wajib shalat di masjid bagi pria. Haram dan berdosa kalau shalat sendirian di
rumah.” Atau, “Haram dan berdosa kalau tidak pakai jilbab setelah masuk Islam.”
Atau, “Wajib potong celana setinggi betis (cingkrang).” Atau, “Wajib
panjangkan jenggot.” Atau, “Sekali tidak shalat, kafirlah!”
Tetapi orang yang menulis itu tidak paham ada sebagian muallaf yang takut
ketahuan sebagai muallaf karena tidak tahu apa yang akan terjadi kalau rahasia
mereka terbongkar di tengah keluarga yang benci orang Muslim. (Misalnya, di
rumahnya, orang Muslim disindir sebagai
“teroris” dan dikatakan “bodoh” karena tidak mengenal kasih sayangnya Yesus.)
Ada muallaf yang
ceritakan kepada saya bahwa dia bawa sebotol
Aqua ke kamar, kunci pintu, taruh handuk di lantai, dan tuangkan air ke tangan dengan
pelan untuk melakukan wudhu. Dia tidak berani
wudhu di kamar mandi, karena takut suara air kedengaran Ibunya. Lalu dia ambil
sejaddah dari tempat penyimpanan rahasia di lemari, dan shalat subuh tanpa
pakai suara. Ini bukan cerita rekayasa dari saya. Ini cerita nyata dari seorang
muallaf yang tinggal di Jakarta. Dia takut sekali
keluarganya akan tahu dia sudah masuk Islam. Dia
takut dipukuli, diusir dari rumah, dan tentu saja uang kuliah akan dihentikan
karena dia dinilai “bukan anak lagi”. Bagaimana nasib dia setelah itu? Dia
takut dan sedih setiap hari. Lalu dia cari bantuan lewat internet, ketemu blog saya dan kirim email. Alhamdulillah saya bisa membantunya sebelum niat bunuh diri
terwujud.