Assalamu’alaikum wr.wb.,
Saya kecewa sekali dengan orang Indonesia, khususnya teman2 saya. Diminta memberikan tanda tangan untuk petisi pendidikan, baru 240 orang yang mau dalam 2 minggu (sampai tanggal ini, 26 September,2007). Padahal saya yakin bahwa jumlah orang yang telah menerima petisi ini sudah lebih dari 10.000.
Dari jaringan teman2 saya, dan juga murid2 saya yang bantu membuat teksnya, baru sedikit sekali dari nama mereka yang muncul di petisi. (Dan saya tahu nama mereka jadi sangat mudah dilihat bahwa mereka tidak memberikan dukungan pada petisi ini).
Harapan saya adalah 10.000 tanda tangan online. Ini hanya untuk melihat keseriusan masyarakat untuk mendukung ide “petisi” daripada demo. Lalu, Insya Allah akan disusul dengan hard copy (paper) sampai puluhan ribu tanda tangan dari seluruh Indonesia. Lalu Press Conference, dengan memberitahu kepada pemerintah dan para politikus bahwa ada puluhan ribu (atau ratusan ribu) pemilih yang inginkan perubahan pada sistem pendidikan. Sejauh ini, baru 240 orang yang peduli, kelihatannya. Padahal untuk memberikan tanda tangan online paling mudah. Tinggal ketik saja untuk beberapa detik. Sedangkan untuk mengumpulkan tanda tangan langsung dari orang di jalan jauh lebih sulit karena ada biaya, serta masalah koordinasi. Nah, untuk yang gampang saja, orang Indonesia tidak peduli. Bagaimana dengan yang lebih sulit?
Sedih sekali hati saya.
Apa teman2 menyaksikan apa yang sedang terjadi di Birma (Myanmar) di mana para biksu dengan dukungan penuh dari masyarakat melawan kebijakan pemerintah yang buruk? Kenapa tidak ada gerakan “People Power” seperti itu di Indonesia, khusus untuk pendidikan? Bukan untuk menjatuhkan pemerintah, tetapi untuk menujukkan kepedulian dan kekuatan.
Para biksu dan rakyat Birma hidup tanpa hak sama sekali, di bawah sekelompok diktator militer. Rakyat Indonesia hidup dalam kebebasan, tetapi masih tidak mau berjuang untuk kepentingan sesama. Rakyat Indonesia hidup seakan-akan masih dijajah oleh Belanda, atau masih hidup di bawah Soeharto. Orang yang tidak merdeka di Birma siap berjuang. Orang yang sudah merdeka di Indonesia tidak peduli pada perjuangan lagi. Apakah ini hasilnya dari kemerdekaan? Saling tidak peduli pada sesama warga bangsa?
Para biksu dan rakyat biasa di Birma siap dihajar oleh polisi untuk menjadi merdeka. Seharusnya kita memberitahu mereka bahwa itu adalah peruangan yang sia-sia. Soalnya, nanti setelah menjadi merdeka, rakyat akan lupa pada perjuangan bersama dan menjadi sibuk nonton sinetron, dan belanja di Carrefour. Mereka tidak akan peduli kalau anak tentangga hidup dalam kesusahan, karena di Indonesia memang begitu. Di Birma, rakyat yang tidak berdosa siap dihajar polisi demi kemerdekaan. Di Indonesia, memberikan tanda tangan pada petisi online dianggap berat, atau dianggap tidak bermanfaat (jadi tidak usah coba dulu: langsung abaikan saja).
Sedih lagi. Di sini sepertinya tidak ada yang peduli pada orang lain karena sibuk dengan urusan diri sendiri dan tidak punya waktu atau kemauan untuk memikirkan tentangganya.
(“Eh, Soleha udah mulai ya? Ayo nonton! Nanti ke Carrefour ya. Belanja.”)
Tidak ada lagi yang penting di dunia orang ini. Tidak ada niat berjuang. Tidak ada kepedulian pada sesama. Yang ada, kepedulian pada diri sendiri saja.
Gotong royong hanya ada di kamus. Di tengah-tengah masyarakat, gotong royong sudah menjadi almarhum. Yang penting, bisa maju sendiri, anak tetangga biarkan saja menderita dan putus sekolah.
Yang jelas, tidak ada anggota pemerintah yang peduli. Gubenur baru di DKI bukannya langsung menyekolahkan semua anak yatim dan anak miskin yang telah putus sekolah. Malah memperluas jaringan busway, yang menambahkan kemacetan lebih dari sebelumnya, dan membuat warga ibu kota pusing.
Gubernur baru di Banten ingin membangun jembatan antara Jawa dan Sumatera dengan nilai 13 TRILLION rupiah. Anak yatim yang putus sekolah? Peduli amat! Berapa banyak lagi proyek besar yang ingin dibangun di berbagai propinsi?
Wahai para pejabat: KENAPA TIDAK MEMBANGUN SEKOLAH DAN RUMAH SAKIT YANG GRATIS DAN BERKUALITAS BAGI MASYARAKAT??
Oh, maaf, itu hanya akan dilakukan kalau pemerintah memang peduli pada rakyat. Dan hanya kalau rakyat memang peduli pada tentangganya. Itulah makna demokrasi yang sesungguhnya: Kita sama sama maju, atau kita sama sama mundur. Berarti kita harus berjuang bersama untuk kepentingan bersama.
Rakyatlah yang punya hak untuk mempengaruhi pemerintah (lewat pemilu dan pilkada), bukan pemerintah yang punya hak untuk merugikan masyarakat. (Dari mana mereka bisa mendapatkan hak itu?) Kalau orang Indonesia tidak bangkit dan menuntut haknya di bidang pendidikan, kesehatan, hukum, dan lain sebagainya, negara ini tidak pernah akan maju.
Di Inggris, sekolah gratis dan biaya kesehatan (dokter dan rumah sakit) gratis. Di Perancis, sekolah gratis dan biaya kesehatan gratis. Di Kanada, sekolah gratis dan biaya kesehatan gratis. Di Australia, sekolah gratis dan biaya kesehatan sangat murah. (Untuk kunjungan dokter gratis, obat-obatan murah, ada banyak subsidi, dan biaya operasi walaupun tidak gratis tetap murah). [Jangan bertanya tentang AS karena di sana pengusaha dan bisnis berkuasa di atas segala-galanya, dengan izin dari rakyat. Sepertinya, pemerintah Indonesia ingin meniru negara yang rusak ini daripada meniru negara yang lebih baik seperti Inggris atau Kanada].
Di Indonesia, semuanya harus dibayar sendiri dan harus mencari asuransi sendiri. Kalau tidak bisa, jangan harapkan pemerintah akan peduli karena mereka sibuk merencanakan mega proyek lagi buat kepentingan teman2nya (wajarlah kalau sama sama pengusaha).
Kalau rakyat tidak bangkit dan melawan sikap pemerintah ini, negara ini tidak akan pernah menjadi makmur. Memberikan tanda tangan online adalah langkah awal yang sederhana. Maukah anda berusaha?
Sedih hati saya.
Kapan orang Indonesia akan bangkit dan mulai peduli pada sesama?
Kapan?
(Psssst. Jangan berisik. Lagi nonton Soleha).
Pendidikan gratis dan berkualitas buat semua sudah menjadi almarhum juga. Hiduplah komersialisasi pendidikan (yaitu pendidikan yang layak buat yang bayar mahal), dengan doa restu dari pemerintah (yang penuh dengan pengusaha).
Pada ke mana ummat Islam dan para ustadz dan ustadzah yang mengerti agama? Bukannya Islam menganjurkan kita untuk membantu dan melindungi yang lemah? Kok di sini pada sibuk membeli mobil baru semua, padahal anak tentangga tidak bisa sekolah? Kenapa ummat Nabi Muhammad SAW menjadi begini? Kenapa kita berani menyatakan diri pengikut Muhammad SAW tetapi kita hidup dalam keadaan “tidak peduli pada orang lain”, dengan bimbingan penuh dari pemerintah dan pejabat (yang sudah kaya sendiri)?
Tetapi masih ada juga alasan untuk bersyukur.
Saya bersyukur bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah datang ke Indonesia dan melihat ummatnya menjadi ummat yang egois, rakus, dan sibuk dengan kepentingan diri sendiri.
Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah.
Alhamdulillah Nabi Muhammad SAW belum pernah melihat kita di Indonesia yang mengaku sebagai pengikutnya!
(Psssst. Diam! Lagi nonton Soleha tahu!)
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene
Klik di sini untuk memberikan tanda tangan online di situs Care2 Petition Site
(Almarhum) Petisi Peningkatan Kualitas Pendidikan Nasional