Search This Blog

Labels

alam (8) amal (100) anak (299) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (8) dakwah (87) dhuafa (18) for fun (12) Gene (222) guru (61) hadiths (9) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (52) indonesia (570) islam (556) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (357) kesehatan (97) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (52) my books (2) orang tua (8) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (503) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (11) pesantren (34) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (178) Sejarah (5) sekolah (79) shalat (9) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

06 December, 2008

Yang main game komputer secara berlebihan ternyata tidak kecanduan

90 persen dari anak muda yang mencari pengobatan karena kecanduan main game komputer ternyata tidak kecanduan. Demikian kata Keith Bakker, pendiri dari klinik pertama di Eropa yang mengobati anak muda yang kecanduan pada game komputer.

Smith & Jones Centre di Amsterdam telah merawat ratusan anak muda sejak buka pada tahun 2006. Tetapi sekarang disadari bahwa masalah tersebut adalah masalah sosial dan bukan masalah psikologis. Sebanyak 90% dari orang yang menghabiskan 4 jam per hari atau lebih untuk main game seperti World of Warcraft, telah mengalami masalah sosial dan bukan kecanduan seperti bentuk kecanduan yang lain terhadap alkohol dan narkoba.

Pada awalnya, gejala dari anak itu sama seperti orang yang kecanduan alkohol atau narkoba (tidak bisa lepas dari kebutuhannya), tetapi sekarang sudah nyata bahwa masalah mereka berasal dari interaksi dengan orang tua dan guru, atau lingkungan sekolah dan masyarakat. Sekarang programnya di klnik telah diubah supaya mereka dirawat untuk gangguan sosial (dibutuhkan skil berkomunikasi, dan lain2), dan bukan masalah kecanduan, supaya mereka bisa gabung kembali dengan masyarakat.

Masalah gaming ini adalah hasil dari kehidupan modern ini kata Bakker. 80% dari anak ini kena bullying di sekolah, dan merasa diasingkan. Banyak dari gejala mereka bisa hilang dengan mengembalikan mereka ke dalam sistem komunikasi yang biasa (bergaul dalam masyarakat). Dengan menyediakan tempat di mana suara mereka didengarkan (di dalam klinik) mayoritas dari mereka bisa tinggalkan gaming dan kembali hidup seperti orang biasa.

Kata Bakker, sumber utama dari masalah ini ada di orang tua yang telah gagal dalam tanggung jawabnya untuk menjadi pembina anak. Tetapi juga ada kenyataan bahwa 87% dari gamers yang bermasalah ini berumur lebih dari 18 tahun, dan karena itu, mereka perlu mencari pengobatan sendiri karena tidak bisa dipaksakan orang tua (secara hukum).

Untuk anak yang masih muda, mungkin satu-satunya cara untuk memecahkan masalah ini adalah dengan intervensi, yaitu mengambil komputernya sehingga mereka menjadi sadar atas kebiasaan buruk ini, dan bisa melihat pilihan yang lain.

George (nama samaran) adalah pemuda berumur 18 tahun yang diobati di klink. Sebelumnya dia terbiasa main game Call of Duty 4 selama 10 jam setiap hari sebelum masuk klinik. Dia mengatakan “Call of Duty adalah tempat di mana saya merasa ‘diterima’ untuk pertama kali dalam kehidupan saya. Saya tidak pernah dibantu oleh orang tua atau pihak sekolah. Tetapi di klinik ini, saya merasa ‘diterima’ dan berkembang menjadi orang baru.”

George merahasiakan masalah gaming-nya tetapi pada saat dia ceritakan kepada orang lain, tidak ada yang mau membantu. “Saya suka gaming karena orang tidak bisa melihat saya. Mereka hanya kenal nama samaran online saya dan saya merasa senang bila diterima di dalam sebuah kelompok.” Masalah intinya adalah anak-anak muda ini merasa tidak berkuasa dan telah diabaikan di dalam kehidupannya.

Seringkali gamers menggunakan game tersebut untuk mengeluarkan perasaan agresifnya dan rasa kesal terhadap kehidupannya. Selain masalah kecanduan, agresi dan kekerasan adalah bagian dari pembicaraan akademis mengenai efek dari gaming terhadap pikiran anak muda. Seringkali ada perasaan marah atau “tidak berdaya” yang menarik anak untuk mencari game yang menggunakan kekerasan seperti ini. Di dalam game online, mereka gabung dengan anak lain yang punya perasaan yang sama.

Bakker percaya kalau ada kepedulian yang lebih tinggi dari orang tua dan guru, yang siap mendengarkan apa yang dikatakan oleh anak-anak (pikiran, keluhan, aspirasi, dll.), maka masalah-masalah seperti perasaan penyendirian dan kejenuhan yang mereka rasakan itu bisa diatasi dan mereka bisa diajak kembali ke dunia nyata (dan tinggalkan dunia online). Bakker merasa yakin bahwa klinik dia bisa tutup bila orang tua dan orang dewasa yang lain di dalam masyarakat menjadi lebih tanggungjawab terhadap kehidupan dan kebiasaan anak-anak muda.

Story from BBC NEWS:
Compulsive gamers 'not addicts'

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...