Assalamu'alaikum wr.wb.,
Berkaitan dengan post ini, Sarung HP anda dibuat dari kulit sapi atau kulit babi?, ada yang bertanya kalau kulit babi bisa menjadi halal kalau disamak (karena memang ada hadits yang mengatakan bahwa “kulit yang disamak adalah halal”). Istilah “disamak” berarti kulit tersebut disiapkan untuk dipakai. Proses ini dilakukan dengan menggunakan bahan kimia bernama tannin pada kulit basah tersebut, sehingga menjadi kering dan tidak bisa membusuk. (Kulit basah yang diambil dari binatang, kalau dibiarkan saja bisa membusuk).
Di bawah ini, ada penjelasan yang lengkap dari MUI tentang masalah ini. Memang ada berbagai pendapat, tetapi menurut MUI, pendapat yang paling kuat adalah bahwa kulit babi (dan anjing) tetap haram, walaupun sudah disamak. Ini paragraf yang paling jelas:
“Menurut MUI setiap kulit binatang bisa suci dengan disamak, kecuali kulit babi, anjing dan keturunan keduanya. Dengan begitu, kulit binatang selain babi, anjing dan keturunan keduanya setelah disamak bisa dimanfaatkan untuk bahan berbagai produk, sedangkan kulit babi, anjing dan keturunan keduanya tidak boleh dimanfaatkan.”
Silahkan baca selengkapnya di bawah ini.
Semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum wr.wb.,
Gene Netto
********
Hukum Menggunkan Produk dari Kulit Babi
Pertanyaan
Akhir-akhir ini banyak beredar produk kulit, misalnya tas, jaket dan sepatu, yang terbuat dari kulit babi. Bagaimana hukumnya mempergunakan produk tersebut?
Hasan, Jawa Tengah
Jawaban
Secara umum, pemanfaatan produk yang terbuat dari kulit bisa kita bedakan ke dalam dua kelompok:
1. kulit yang berasal dari binatang yang halal dimakan
2. kulit yang berasal dari binatang yang haram dimakan.
Kulit yang termasuk dalam kelompok pertama, misalnya kulit yang berasal dari binatang yang dihalalkan untuk dikonsumsi dan telah melalui tata cara penyembelihan yang sah menurut ajaran Islam. Dalam hal ini para ulama sepakat tentang bolehnya memanfaatkan kulit binatang seperti ini, misalnya kulit sapi atau kambing yang telah disembelih secara benar.
Sedangkan kulit yang termasuk dalam kelompok kedua, misalnya kulit yang berasal dari bangkai binatang yang ketika hidupnya dihalalkan setelah disembelih dengan benar, misalnya bangkai sapi atau kambing, dan kulit yang berasal dari binatang-binatang yang diharamkan, seperti babi, ular, dsb.
Pada dasarnya Islam melarang untuk memakan binatang-binatang tersebut, sesuai firman Allah dalam al-Quran surah al-Baqarah: 173, al-Maidah: 3, al-An’am: 145, an-Nahl: 115. Akan tetapi dalam hal memanfaatkannya dalam bentuk barang setelah dilakukan penyamakan (ad-dibagh), para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya.
1. Pendapat pertama, menyatakan bahwa kulit bangkai setiap binatang dapat diambil manfaatnya, baik yang sudah disamak ataupun belum, dan bisa dipergunakan ditempat yang kering ataupun basah.
Pendapat ini mendasarkan argumentasinya pada hadis Rasulullah SAW:
“suatu ketika binatang piaraan salah satu istri Rasul mati, kemudian Rasulullah SAW berkata: “sebaiknya kalian mengambil kulitnya untuk dimanfaatkan”.
Hadis ini tidak menyinggung sama sekali tentang harusnya disamak terlebih dahulu kulit bangkai binatang sebelum dimanfaatkan. Sehingga hadis ini memberikan indikasi hukum bolehnya memanfaatkan kulit bangkai, walaupun belum disamak.
Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah az-Zuhri
2. Pendapat kedua, menyatakan bahwa kulit bangkai setiap binatang menjadi suci setelah dilakukan penyamakan (ad-dibagh), sehingga kulit semua binatang yang telah disamak dapat dimanfaatkan.
Pendapat ini mendasarkan argumentasinya pada teks (zhahir) hadis sbb:
“Setiap kulit binatang yang disamak, hukumnya suci” (HR. Ahmad, Abu Daud, al-Turmuzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah)
“Rasulullah SAW mendapati bangkai kambing kepunyaan Maimunah, Rasulullah SAW berkata: “sebaiknya kalian memanfaatkan kulitnya”. Mereka menjawab: “ini adalah bangkai kambing”. Rasul berkata: “yang diharamkan adalah memakannya (bukan memanfaatkannya)”. (HR. Bukhari-Muslim)
Dari Aisyah RA, Nabi SAW berkata: “sucinya setiap kulit (binatang) adalah dengan disamak”
Saudah, istri nabi, berkata: “kambing kami mati, kemudian kami menyamak kulitnya, kami diamkan beberapa saat hingga menjadi kering”
Wajhu al-istidlalnya adalah bahwa hadis-hadis di atas bersifat umum dan tidak mengkhususkan pada binatang tertentu, oleh karenanya, menurut pendapat ini, wajib mengamalkan apa adanya, sesuai dengan keumuman teks yang ada dalam hadis-hadis tersebut, yang menyatakan bahwa semua kulit binatang bisa menjadi suci setelah disamak.
Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Mas’ud RA dan kalangan mazhab Zhahiriyah.
3. Pendapat ketiga, menyatakan bahwa kulit bangkai setiap binatang tetap najis walaupun telah disamak, akan tetapi boleh dimanfaatkan/dipergunakan di tempat yang tidak basah.
Pendapat ini berargumen bahwa bagian yang terpengaruh dengan proses penyamakan adalah bagian luarnya saja, bukan bagian dalamnya.
Pendapat ini dianut oleh ulama Malikiyah.
4. Pendapat keempat, menyatakan bahwa kulit bangkai binatang yang bisa suci setelah disamak adalah binatang yang semula dagingnya halal dimakan.
Pendapat ini didasarkan atas hadis sbb:
“Rasulullah SAW melarang (memanfaatkan) kulit binatang buas” (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i).
Dalam satu riwayat Tirmidzi: “(Rasul) melarang (memanfaatkan) kulit binatang buas dan liar”
Dengan hadis di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak semua kulit binatang bisa suci setelah disamak. Kulit bangkai binatang yang suci setelah disamak adalah yang berasal dari binatang yang boleh dimakan. Seandainya semua kulit binatang bisa suci setelah disamak, tentunya Rasulullah tidak melarangnya untuk binatang buas, sebagaimana dalam hadis tersebut.
Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah al-Auza’i, Abu Daud, ibnu al-Mubarah, dan Ishaq.
5. Pendapat kelima, menyatakan bahwa proses penyamakan sama sekali tidak bisa menghilangkan najisnya kulit dari bangkai binatang, sehingga tidak diperbolehkan memanfaatkannya.
Pendapat ini mendasarkan argumentasinya pada:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, (QS. Al-Maidah[5]: 3)
Ayat ini menjelaskan tentang keharaman bangkai secara umum, artinya bahwa keharaman bangkai itu juga termasuk kulitnya dan bagian-bagian lainnya.
“sampai kepada kami surat dari Rasulullah SAW sebelum meninggal: “kalian agar tidak mengambil manfaat dari bangkai binatang, baik kulit ataupun sarafnya”. Menurut riwayat as-Syafi’i, Ahmad, dan Abu Daud: surat ini satu atau dua bulan sebelum nabi meninggal”
Hadis tersebut mempunyai petunjuk hukum (dalalah) haramnya memanfaatkan kulit atau saraf bangkai. Oleh karena hadis ini datang belakangan, maka hadis ini menghapus (nasakh) hadis yang datang sebelumnya, yang menyatakan bolehnya memanfaatkan kulit bangkai setelah disamak.
Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah jumhur mazhab Hanabilah.
6. Pendapat keenam, menyatakan bahwa kulit bangkai setiap binatang bisa suci setelah disamak, kecuali babi.
Pendapat ini mendasarkan dalilnya pada hadis:
“Setiap kulit binatang yang disamak, hukumnya suci” (HR. Ahmad, Abu Daud, al-Turmuzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah)
Yang dimaksud “setiap kulit binatang” dalam hadis tersebut adalah selain babi, karena babi adalah najis ‘aini, sebagaimana firmannya:
“…atau daging babi - Karena sesungguhnya babi itu kotor…” QS. al-An’am[6]: 145
Pendapat ini banyak dianut oleh mazhab Hanafi.
7. Pendapat ketujuh, sama dengan pendapat keenam bahwa kulit bangkai setiap binatang bisa suci setelah disamak, akan tetapi pendapat ini mengecualikan babi, anjing, dan setiap turunanya.
Dalil dari pendapat ini adalah:
“Setiap kulit binatang yang disamak, hukumnya suci” (HR. Ahmad, Abu Daud, al-Turmuzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah)
“Rasulullah SAW mendapati bangkai kambing kepunyaan Maimunah, Rasulullah SAW berkata: “sebaiknya kalian memanfaatkan kulitnya”. Mereka menjawab: “ini adalah bangkai kambing”. Rasul berkata: “yang diharamkan adalah memakannya (bukan memanfaatkannya)”. HR. Bukhari-Muslim
Saudah, istri nabi, berkata: “kambing kami mati, kemudian kami menyamak kulitnya, kami diamkan beberapa saat hingga menjadi kering”
“Dari istri nabi SAW, Aisyah RA, Rasulullah SAW memerintahkan untuk memanfaatkan kulit bangkai binatang yang telah disamak”
“nabi SAW berkata tentang kulit bangkai binatang: “proses samak telah menghilangkan kotoran, jorok, dan najisnya”
Hadis-hadis di atas menunjukkan tentang sucinya kulit semua binatang yang telah disamak, baik luarnya ataupun dalamnya. Akan tetapi keumuman dalalah hadis di atas dikhususkan (takhshish) oleh nash-nash berikut:
“…atau daging babi - Karena sesungguhnya babi itu kotor…” QS. al-An’am[6]: 145
“Rasulullah SAW berkata: “cara mensucikan wadah kalian setelah dijilat anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan menggunakan debu”. HR. Muslim
“Rasulullah SAW berkata: “jika anjing meminum di wadah kalian, maka cucilah tujuh kali”. HR. Bukhari
“Rasulullah SAW berkata: “jika anjing menjilat di wadah kalian, maka laplah dan cucilah tujuh kali”.
“Rasulullah SAW berkata: “seperdelapan anjing sangatlah kotor”
Hadis-hadis di atas juga menunjukkan najisnya anjing. Jika anjingnya sendiri najis, maka kulitnya juga najis. Oleh karenanya, pendapat ini menyatakan selain babi, anjing juga najis ‘aini.
Setelah melihat pendapat-pendapat tersebut, sulit rasanya untuk mempertemukan pendapat-pendapat tersebut (al-jam’u wa at-taufiq), oleh karenanya, yang mungkin untuk dilakukan adalah mentarjihnya.
Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia menganggap pendapat ulama Syafi’iyah lebih kuat dalilnya (arjah) daripada pendapat ulama lainnya, sehingga menurut MUI setiap kulit binatang bisa suci dengan disamak, kecuali kulit babi, anjing dan keturunan keduanya. Dengan begitu, kulit binatang selain babi, anjing dan keturunan keduanya setelah disamak bisa dimanfaatkan untuk bahan berbagai produk, sedangkan kulit babi, anjing dan keturunan keduanya tidak boleh dimanfaatkan.
MUI lebih menganggap rajih pendapat kalangan Syafi’iyyah karena dalil-dalilnya lebih shahih, lebih kuat, dan lebih menjaga prinsip kehati-hatian (ihtiyath). MUI juga sependapat dengan argumentasi bahwa kulit binatang selain babi, anjing dan turunan keduanya pada dasarnya adalah suci, akan tetapi karena telah menjadi bangkai maka menjadi najis. Sama artinya suatu yang suci kemudian terkena najis, maka bisa disucikan kembali dengan dihilangkan najisnya. Kasusnya sama dengan kulit sapi yang telah disembelih ketika terkena kotoran yang najis, maka bisa dibersihkan kembali dengan mencucinya. Sedangkan cara menghilangkan najis kulit dari bangkai binatang adalah dengan disamak (ad-dabghu).
Selain itu, proses samak (ad-dibagh) tidak berlaku bagi kulit binatang yang ketika hidup sudah najis (najis ‘aini), sebagaimana babi, anjing, dan keturuan keduanya. Karena najis yang bisa dihilangkan adalah najis yang menempel pada sesuatu, misalnya najis yang menempel pada baju, kemudian bisa disucikan dengan mencuci najisnya. Akan tetapi apabila dzat sesuatu tersebut memang najis, misalnya kotoran binatang, sama sekali tidak bisa disucikan, karena memang najisnya bukan merupakan sifat yang menempel, tapi barang (dzat) nya. Dalam hal ini sama dengan babi, anjing, dan keturunan keduanya yang merupakan najis dzatnya (najis ‘aini) sehingga tidak bisa disucikan dengan disamak.
Jelaslah bahwa produk kulit yang berasal dari bahan kulit babi, yang sekarang banyak ditemukan di pasaran haram untuk dipakai. Oleh karena itu, saya menghimbau kepada Saudara Hasan untuk meninggalkan produk yang berasal dari babi, anjing, dan keturunan keduanya, termasuk produk-produk kulit yang berbahan kulit babi. Karena yang demikian itu lebih menjaga prinsip “kehati-hatian” (al-ihtiyath). Toh masih banyak produk yang berbahan selain dari kulit babi.
Demikian, semoga bermanfaat bagi anda.
Allahu A’lam bi as-shawab.
Sumber: MUI.or.id