Assalamu’alaikum wr.wb.,
Saya ditanyakan kalau ada kasus anak umur 8 tahun yang membunuh
temannya, maka siapa yang bersalah. Saya berusaha menjawab sebagai berikut:
Menurut saya ada beberapa lapisan dalam perkara seperti ini,
jadi tidak ada satu pihak yang “bersalah”. Orang tuanya seperti apa? Mungkin
mereka kerja keras dengan gaji yang tidak cukup, pulang malam, ribut tentang
keuangan terus, sehingga waktu untuk membina akhlak anak mereka tidak cukup. Karena
mereka stres dalam kehidupan sehari2, maka mereka keras dan kejam dalam cara
bicara dan bersikap terhadap anak mereka. Jadi di dalam rumah, anak ini sudah
dekat dengan kekerasan. Dan bantuan untuk orang tuanya sangat minim, baik dari
pemerintah (iklan, tempat konseling, bantuan sosial), dari masyarakat (ustadz, orang
yang bijaksana, tempat bermain bagi anak), dan dari keluarga sendiri (om,
tante, sepupu yang lebih tua). Semuanya punya peran dalam membantu dan mendidik
seorang anak.
Dalam bahasa Inggris sekarang, ada suatu pepatah yang makin
terkenal: “It takes a village to raise a child” (Dibutuhkan sebuah desa untuk
membesarkan seorang anak). Intinya pepatah itu, banyak sekali orang berperan
dalam mendidik satu anak dan membantunya dapat akhlak yang mulia. Jadi bukan
peran orang tua saja, bukan peran guru saja.
Guru sekolahnya seperti apa? Mungkin mereka dibuat pusing
dengan proses sertifikasi (yang tidak berpengaruh terhadap kualitas pengajaran
di kelas). Selalu ada beban ini dan itu dari pemerintah, contohnya Ujian
Nasional, yang menjadi fokus semua guru. Kalau banyak siswa gagal dalam UN,
guru disalahkan, dan dana untuk sekolah bisa dipotong. Para guru begitu sibuk
dengan kesulitan masing2, sehingga mereka tidak bisa fokus pada tugas pembinaan
terhadap setiap anak secara individu. Yang dipikirkan hanya bagaimana mayoritas
bisa lulus dan keluar dari sekolah, sehingga guru tidak disalahkan oleh pihak
lain. Ada masalah di sekolah? Belum tentu guru berani protes atau lapor. Selalu
takut kena sanksi atau dimutasi. Jadi peran guru sebagai pembina terhadap anak
dikecilkan, dan peran guru sebagai “orang yang bantu anak lulus ujian”
dijadikan yang utama.
Tetangganya seperti apa? Mungkin mereka adalah orang yang
hidup secara pas-pasan. Masalah pribadi mereka juga banyak. Jadi kalau melihat
satu anak di jalan, yang mereka inginkan hanya “jangan sampai dia mengganggu
saya”. Kalau anak berbuat “nakal” maka orang dewasa cepat marahi anak itu. Yang
mau bicara dengan lembut dan membina dengan kata2 bijaksana sedikit sekali. Lebih
gampang marah saja. Selama anak diam saja dan tidak mengganggu, kebanyakan
orang dewasa mungkin tidak begitu peduli padanya. Tidak bertanya tentang
kabarnya, tidak memastikan dia sudah makan, tidak cek kalau dia bahagia. Yang penting
jangan sampai dia menjadi nakal dan mengganggu. Itu saja yang diinginkan.
Acara tivi yang dia tonton seperti apa? Di negara2 barat,
seperti Australia dan Inggris misalnya, semua acara tivi yang tidak cocok untuk
anak kecil DILARANG tayang sebelum jam 9 malam. Tapi di Indonesia? Coba nonton
sinetron pada jam 5 sore, atau jam 7 malam. Ada pemerkosaan, penculikan,
pemukulan, penyiksaan, anak yang teriaki ibunya sendiri, ibu yang teriaki anaknya,
bapak yang memukul anak karena “nakal”, anak yang memukul orang tua karena “tidak
dapat izin”, anak yang marah dan ribut karena “jatuh cinta” tapi orang tua
tidak setuju, anak yang kabur dari rumah, perilaku jahat terhadap “anak tiri”,
bullying di sekolah, guru yang jahat, orang tua yang jahat, tetangga yang
jahat, dan daftarnya masih panjang sekali kalau mau ditulis semua.
Pemerintah dan KPI bisa menghentikan semua itu dalam sehari
kalau mau. Psikolog anak sudah sering bicarakan peran tivi dalam membentuk
perilaku anak kecil. Tapi tidak ada yang peduli. Kalau misalnya ada yang “menghinakan
Islam” dalam acara tivi, maka semuanya langsung bertindak cepat dan media ikut
berkomentar. Tapi kalau anak kecil dikasih suapan penculikan, penyiksaan dan
pemerkosaan pada jam 5 sore, tidak ada yang mau peduli. Jadi dari mana anak akan
belajar akhlak yang mulia kalau itu yang dia tonton setiap hari?
Dan masih ada lagi pihak2 lain yang bisa dibahas, tapi saya
rasa yang diatas itu sudah cukup, karena paling utama. Selama tidak ada yang
mau peduli, berita seperti yang saya kutip (anak 8 tahun yang membunuh teman
karena hutang seribu rupiah) hanya akan bertambah banyak.
Saat ini, hampir setiap minggu, saya menulis komentar
tentang “pemerkosaan anak sekolah” dan saya selalu mengatakan “Tunggu minggu
depan, akan ada kasus lagi!” Dan selalu ada kasus baru di minggu berikut. Itu saja
masih diabaikan oleh pemerintah dan semua pihak yang punya wewenang untuk
bertindak. Jadi jangan heran kalau anak SD sudah mulai bunuh-bunuhan. Nanti akan
ada berita yang sama lagi setelah yang ini. Tunggu saja.
Semua ini bisa dihadapi dan diatasi, kalau ada yang mau
bertindak secara serius. Bisa dibuat program pendidikan, iklan, dan acara
telvisi yang mendidik masyarakat. Bisa dibuat tempat-tempat konseling untuk
membantu orang yang punya masalah dan perlu mendapatkan nasehat dan bantuan
nyata dari orang lain. Di semua negara ada program pendidikan, iklan dan acara
tivi yang mendidik masyarakat. Ada tempat konseling yang gratis dari
pemerintah. Ada nomor telfon yang bisa dihubungi untuk minta nasehat. Di Indonesia
hampir tidak ada semuanya. Dan tidak ada yang mau mulai. Kalau tidak mau lihat
anak membunuh temannya lagi, harus ada pembinaan terhadap semua anak di seluruh
Indonesia, secara holistik. Semua organisasi dan semua pihak yang bisa membantu
harus mau membantu. Tapi kalau tidak ada yang mau mulai, tunggu saja, akan ada
kasus pembunuhan berikut.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto
No comments:
Post a Comment