Rabu, 3 April 2013 | 09.35 WIB
Oleh: Atika Walujani Moedjiono
Keingintahuan, gairah, dan ketekunan membawa Nick D’Aloisio menjadi pusat perhatian dunia. Pekan lalu, Yahoo mengumumkan membeli aplikasi Summly yang dibuat remaja asal London berusia 17 tahun itu. Ia bahkan disebut majalah ”Forbes” sebagai salah satu dari ”30 entrepreneur berusia di bawah 30 tahun” yang perlu diperhatikan. Yahoo tak membuka informasi berapa harga yang dibayar, namun banyak pihak memperkirakan nilainya sekitar 30 juta dollar AS (sekitar Rp 290 miliar). Summly adalah aplikasi dengan algoritma kompleks yang mampu meringkas berita panjang di daring dalam tiga paragraf pendek sehingga mudah dibaca di layar smartphone.
D’Aloisio membuat Summly karena frustrasi saat mengerjakan tugas sekolah. Ia kerepotan dengan banyaknya artikel tak relevan saat mencari bahan di internet. Hal itu mendorong dia mencari cara menyaring informasi. ”Saya tak sabar,” ujarnya. ”Seperti remaja generasiku, jika tak menarik, saya akan berhenti membaca. Saya hanya mau membaca hal-hal yang ingin saya ketahui dengan segera. Itu yang dilakukan Summly.”
Keingintahuan, gairah, dan ketekunan membawa Nick D’Aloisio menjadi pusat perhatian dunia. Pekan lalu, Yahoo mengumumkan membeli aplikasi Summly yang dibuat remaja asal London berusia 17 tahun itu. Ia bahkan disebut majalah ”Forbes” sebagai salah satu dari ”30 entrepreneur berusia di bawah 30 tahun” yang perlu diperhatikan. Yahoo tak membuka informasi berapa harga yang dibayar, namun banyak pihak memperkirakan nilainya sekitar 30 juta dollar AS (sekitar Rp 290 miliar). Summly adalah aplikasi dengan algoritma kompleks yang mampu meringkas berita panjang di daring dalam tiga paragraf pendek sehingga mudah dibaca di layar smartphone.
D’Aloisio membuat Summly karena frustrasi saat mengerjakan tugas sekolah. Ia kerepotan dengan banyaknya artikel tak relevan saat mencari bahan di internet. Hal itu mendorong dia mencari cara menyaring informasi. ”Saya tak sabar,” ujarnya. ”Seperti remaja generasiku, jika tak menarik, saya akan berhenti membaca. Saya hanya mau membaca hal-hal yang ingin saya ketahui dengan segera. Itu yang dilakukan Summly.”
Jagoan teknologi itu membangun Summly di meja belajar di kamarnya pada usia 15
tahun. Aplikasi itu telah diunduh jutaan kali dan meringkas setidaknya 90 juta
berita sejak versi awal aplikasi diluncurkan dengan nama Trimit pada 2011. Trimit
yang muncul di Apple’s App Store dan langsung diserbu pengunduh menarik
perhatian Horizons Ventures, perusahaan pemodal ventura milik jutawan Hongkong,
Li Ka-shing, yang lalu berinvestasi 250.000 dollar AS. […]
D’Aloisio akan meningkatkan perhatian pada pentingnya pemrograman komputer dan berharap hal itu diajarkan di sekolah. Ia juga akan mengembangkan Summly, tak sekadar untuk meringkas berita. ”Saya berupaya agar Summly mampu meringkas Wikipedia, buku, blog, apa pun.”(AP/Reuters/Daily Telegraph/NY Times)
D’Aloisio akan meningkatkan perhatian pada pentingnya pemrograman komputer dan berharap hal itu diajarkan di sekolah. Ia juga akan mengembangkan Summly, tak sekadar untuk meringkas berita. ”Saya berupaya agar Summly mampu meringkas Wikipedia, buku, blog, apa pun.”(AP/Reuters/Daily Telegraph/NY Times)
****************
Assalamu’alaikum wr.wb.,
Bagi saya ini cerita menarik. Tapi yang lebih menarik lagi
adalah kenapa tidak pernah ada cerita seperti ini dari anak Indonesia? Yang punya
komputer banyak. Yang belajar komputer di sekolah banyak. Tapi kebanyakan hanya
menjadi pengikut dan pengguna terhadap apa yang diciptakan orang lain
(Microsoft dll). Sedangkan dalam sistem pendidikan kita di Indonesia, selalu
ditekankan bahwa guru sudah punya jawaban yang benar, dan siswa harus nebak
ABCDE dengan harapan bisa dapat jawaban yang “benar” (sesuai dengan guru atau
pemerintah) dan bisa lulus ujian.
Kebanggaan hampir semua orang tua adalah ketika anaknya
menjadi “ranking satu” di sekolah. Saya belum pernah dengar kisah dari orang
tua yang mengatakan “Anak saya bisa desain software sendiri, dan bisa kerja dan
berpikir secara independen, dan bisa menciptakan sesuatu yang baru yang belum
pernah dipikirkan orang lain. Dan sekarang perusahaan Amerika mau beli software
anak saya, dengan harga jutaan dolar. Saya bangga.”
Kok tidak pernah ada kisah seperti itu di sini? Modalnya
“hanya” komputer saja ditambah waktu untuk belajar. TETAPI, kalau yang
diajarkan di sekolah dan dari orang tua (yang juga lulus dari sistem pendidikan
yang sama) adalah “cara memilih jawaban yang benar, yang sesuai dengan
pemikiran guru” maka tentu saja tidak akan ada penemuan baru dari Indonesia
yang dibutuhkan di seluruh dunia. Dan kalaupun nanti ada, maka itu disebabkan
anak itu sendiri yang pintar dan bukan HASIL dari sistem pendidikan.
Dari pengalaman saya di sini sebagai orang asing, banyak
sekali orang Indonesia sangat cerdas dan kreatif. Tetapi mereka menjadi cerdas
dan kreatif sendiri karena didukung oleh orang tua dan keluarga besar, atau
karena mereka sendiri yang semangat belajar (Allah sudah kasih mereka bakat
untuk menuntut ilmu sendiri). Kecerdasan dan kreativitas mereka bukanlah HASIL
dari pendidikan sekolah. Malah pendidikan sekolah yang disediakan membuat
mereka jenuh, kesal, mau putus asa, bosan dan tidak semangat untuk belajar.
Lalu anak bule-lah yang berhasil ciptakan software yang nilai jualnya puluhan
juta dolar. Anak Indonesia menjadi pembeli saja.
Sekarang, bagi anak Indonesia, ada pertanyaan:
1. Apa kamu sanggup menjadi anak yang cerdas dan kreatif?
A) Saya harus tanya guru dulu kalau boleh!
B) Saya sudah ranking satu, itu sama ‘kan?
C) Saya mau jadi PNS saja. Jadi tidak perlu. Yang penting
gaji saja.
D) Apa nanti ada pertanyaan tentang kecerdasan di Ujian
Nasional? Kalau tidak ada, saya tidak perlu belajar tentang itu karena tidak
penting.
Dan tentu saja, hanya salah satu dari jawaban dari atas itu
yang benar. Siswa tidak boleh punya jawaban sendiri, karena nanti guru dan
pemerintah repot memeriksa ujian kalau siswa diberikan kebebasan untuk berpikir
sendiri!! Dan kalau perubahan dalam sistem pendidikan di sini tidak terjadi,
maka tidak akan muncul berita anak Indonesia menciptakan software yang nilai
jualnya jutaan dolar. Anak Indonesia menjadi pembeli, bukan pencipta.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto
No comments:
Post a Comment