Ini menarik sekali. Sepertinya, mitos Kartini hanya satu unsur lagi dari sistem pendidikan nasional yang kurang tepat dan belum diperbaiki.
Wassalamu'alaikum wr.wb.,
Gene
Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah
Tuesday, 21 April 2009 09:12
Mengapa setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan? Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-269
Oleh: Adian Husaini
Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”
Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?
Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik 'pengkultusan' R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.
Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”
Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”
Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”
Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.
Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.
Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:
“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).
Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).
Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).
Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan. [Depok, 20 April 2009/www.hidayatullah.com]
Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
>>> Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan.Duh ngeri sekali dengan kalimat Pak Adian Husaini yang ini. Ya Allah, semoga kami tidak termasuk dalam golongan demikian. Amin.
ReplyDeleteO iya, buat saya pertanyaan kenapa kartini bisa menjadi pahlawan nasional itu mulai muncul sehabis menyaksikan film tentang sejarah hidup beliau. Sejak saat itu, saya jadi tidak terlalu antusias terhadap perayaan hari kartinian. Berhubung saya tidak bisa menemukan alasan yang jelas kenapa dia bisa diangkat menjadi pahlawan nasional . Beda banget saat menyaksikan film Tjut Nyak Dien. Wah tidak diragukan lagi sosok kepribadian, perjuangan, dan pengorbanan seorang Tjut Nyak Dien. Subhanallah, seorang wanita indonesia yang hebat. Patutlah menjadi suri tauladan wanita indonesia sepanjang jaman. Dan ternyata alasan dibalik kenapa kartini adalah balik lagi ke masalah Islam. Wah begitu khawatirnya semua non muslim tentang kebenaran dan kekuatan Islam hingga segala cara ditempuh heheh.
Gene, mungkin kamu sudah tahu kalo ibu kartini itu sampai dibuatin lagu wajib nasional yang kategori lagu-lagu perjuangan gitu.
Penggalan liriknya kira-kira begini :
ibu kita kartini
pendekar bangsa
pendekar kaumnya
untuk merdeka...
Ass Wr Wb,
ReplyDeleteMengenai Kartini, biasa aja, standar, memang dari dulu ngga begitu tertarik.
Saya pernah mengunjungi kota Padang ada toko kue terkenal namanya Rohana Kudus pd saat itu sempat heran kok toko tsb namanya aneh spt nama org non muslim apa ngga ada nama yg lain, wkt itu sempet terlintas mungkin nama org yg punya toko ngkali…tp ngga berapa lama kemudian tanpa sengaja saya melihat di metro tv otobiografi Rohana Kudus ternyata … Bravoooo …salut banget sama perjuangan nya atas dunia pendidikan & media tentunya … baru tau bhw Rohana Kudus itu adalah wanita yg luar biasa.
Kalau utk Tjut Nya Dien & pahlawan wanita Aceh lainnya bkn sepuluh jempol lagi … sebelas …Menyeu Ureng Aceh Peugah … Hanna Lawan ...
Wassallam,
faza
Asslamualaikum WR.WB
ReplyDeleteza, chauvinisme nih..hehe kalo gitu..saya juga: Dewi Sartika hebatt pisan!!
Tapi saya sih lebih melihat sekarang: perayaan hari kartini, malah lebih cenderung di 'khusus'kan hari berbusana daerah, terutama anak-anak sekolah.
Kenapa ga diganti aja, tanggal 21 april jadi Hari Budaya gitu, jadi semua orang WAJIB memakai busana daerah seharian :
*wuih ga kebayang kalau faza pakai baju adat aceh, mba nit, or erin pakai busana daerah sumatra..pas ngantor....ardo,irma, dll
heheh seru juga:)
*kalo pak Gene, saya ga tahu pakai baju apa, selain koko putihnya.
Salaam
Not, dulu wkt di SMP pernah ikutan kartini juga sih pake baju aceh … juara 3 tuh, abis mukanya aceh buanget, hahaha
ReplyDeleteKalo liat fotonya skrg jadi lucu, kok mau gitu lho, namaya jg msh kecil … blm begitu familiar buanget sama berbagai cerita pahlawan wanita Indonesia.
Skrg udah byk tau ... ternyata byk pahlawan wanita yg tdk ter expose tp mereka sgt luar biasa.
Wassallam,
faza
Assalammualaikum wr wb
ReplyDeleteWah kalau saya pakai baju daerah ya saya harus pakai kain jarik, pake keris, pake blangkon, trus bawa laptop masuk kantor, hemm its Amazing neart.
Oh ya kalau yg baru tau sejarah kartini dari tulisan ini aja tolong dikoreksi ulang sumber sejarahnya/bacaannya, karena setahuku Kartini adalah muslimah sejati, dia berjuang untuk para muslimah indonesia dgn menuntut pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan pendidikan para perempuan Indonesia agar perempuan Indonesia lebih cakap dalam melakukan tugas-tugasnya dan kewajibannya dalam rangka mendidik manusia yg pertama.
Kalau saya sempet saya akan menulis artikel tentang kartini.
Kartini juga yg menuntut kepada para Ulama Pribumi untuk membolehkan Al Quran diterjemahkan dalam bahasa Jawa. Dia sangat terkagum2 dgn isi kandungan Al Quran hingga akhirnya dia terinspirasi membuat judul Dari Gelap terbitlah Terang, yg dalam Al Quranya adalah Yang mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya terang.
Kartini buat saya adalah sosok muslimah yg cakap dalam memajukan pendidikan untuk kaum Muslimah. Bukan karena Kartini ingin kaum wanita menyamai kaum pria tetapi semata2 hanya Ingin seorang wanita itu cakap dalam menunaikan kewajibanya sebagai Istri dan seorang Ibu sebagai pendidik manusia pertama.
Wassalamualaikum wr wb
be Syariah Lovers
Ardobinardi.blogspot.com
Assalamu'alaikum wr wb
ReplyDeleteSaya setuju kalau Kartini dikatakan sebagai muslimah sejati, tapi entah mengapa gagasan pemikirannya sering disalah artikan dengan pengertian sempit, hanya dengan satu kata : EMANSIPASI, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.Pedahal pemikiran dan gagasan Kartini lebih dari sekedar emansipasi, konsep-konsep dan gagasan Kartini adalah konsep-konsep Islami walau secara operasional rancu dengan konsep barat karena adanya pengaruh dari teman-teman Kartini yang Yahudi dan Nasrani.
Saya pernah membaca surat-surat hasil dari korespondensi Kartini dengan sahabat-sahabatnya yang dimuat di sebuah majalah Islam, pada dasarnya Kartini ingin berjuang di jalan Islam, tapi karena pemahamannya tentang Islam belum menyeluruh dan Allah lebih dulu memanggilnya, sehingga hari ini konsep dan gagasannya malah jadi bumerang buat Islam dan wanita itu sendiri.Disamping itu Kartini juga berjuang sendirian tanpa ada jama'ah atau menghimpun para santri untuk membackup dakwahnya, sehingga lebih mudah untuk dikacaukan, Ali bin Abi Thalib RA pernah berpesan kepada kita bahwa: Kebenaran yang tidak terorganisir dapat dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisir. Dan Allah pun mencintai orang-orang yang berjuang di jalanNya dalam suatu barisan (QS 61:4)..Biasalah seperti sejarah yang berulang bila Islam lemah maka musuh-musuhnya akan menyerang dengan cara halus dan tersembunyi dan bila Islam kuat maka mereka akan menempuh dengan cara paksa.
Coba cermati sepenggal surat Kartini pada sahabatnya bukti cita-cita Kartini yang banyak salah dimengerti sekarang :
"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902]
Betul memang, judul kumpulan surat korespondensinya terinspirasi dari Al Qur'an surat Al Baqoroh 257 saat beliau sedang mempelajarinya, yaitu ayat Minazh-Zhulumaati ilan Nuur, Allah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya karena itulah yang selama ini dirasakannya, proses perubahan diri dan pemikirannya dari jahiliyah kapada hidayah. Karena Kartini selalu menulis suratnya dalam bahasa Belanda, maka kata-kata ini dia terjemahkan dengan "Door Duisternis Tot Licht".Tapi pada perjalanan selanjutnya sepeninggal dirinya, kata-kata Door Duisternis Tot Licht jadi hilang maknanya, karena diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan istilah "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Banyak lagi dialog dan isi surat-surat beliau yang kalau kita mau meluangkan sedikit waktu untuk membaca dan mencermatinya, maka kita akan mengenal Kartini yang berbeda, yang antusias belajar Islam dan bukan sekedar pejuang emansipasi yang kita kenal sekarang (semoga Allah merahmatinya)
Wassalamu'alaikum wr wb
“ Kyai, seama kehidupanku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama dan induk Al Quran yang sinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan bualan rasa syukur hatiku kepada Allah. Namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa para ulama saat ini melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran dalam bahasa Jawa? Bukankah Al Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?” Begitu komentar Kartini ketika bertanya kepada gurunya, Kyai Sholeh Darat.
ReplyDeletePemeikiran Kartini berubah, yang tadinya menganggap Barat (Eropa) sebagai kiblat, lalu menjadikan Islam sebagai qaidah fikriyah (landasan berfikir)nya. Hal ini setidaknya terlhat dari surat Kartini kepada Abendanon, 27 Oktober 1902 yang isinya berbunyi, “ Sudah lewat masamu, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa dibalik sesuatu yang indah dalam masyarakat Ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekalai tidak patut disebut peradaban?”
Demikian pula dalam surat Kartini kepada Ny. Van Kol. 21 Juli 1902 yang isinya, “moga-moga kami mendapatkan rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.”
Setelah mempelajarai Islam dalam arti yang sesungguhnya dan mengkaji Al Quran, Kartini terinspirasi dengan firman Allah Swt (yang artinya), “…. Mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman) (QS Al Baqarah: 257).” Yang diistilahkan Armyn Pane dalam tulisanya dengan , “ Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Kartini memiliki cita-cita luhur , yakni mengubah masyarakat, khususnya kaum perempuan yang tidak memperoleh hak pendidikan, juga untuk melepaskan diri daru hokum yang tidak adil dan pahampaham materialism, untuk kemudian beralih ke keadaan ketika kaum perempuan mendapatkan akses untuk mendapatkan hak dan menjalankan kewajibannya. Ini terlihat dalam tulisan Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 Oktober 1902, yang isinya, “ Kami disini memohon untuk diusahakan pengajaran dan pendidkan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami meninginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
Beberapa surat Kartini diatas setidaknya menunjukan bahwa Kartini berjuang dalam kerangka mengubah keadaan perempuan saat itu agar dapat mendapatkan haknya, diantaranya menuntut pendidikan dan pengajaran untuk kaum perempuan yang juga merupakan kewajiban dalam Islam, bukan berjuang menuntut kesetaraan gender (emansipasi) antara perempuan dan pria sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung ide feminis.
Kartini adalah sosok perempuan yg berani menentang adat istiadat yg kuat dilingkungannya (Jawa). Dia menganggap setiap manusia sederajat sehingga manusia tidak seharusnya dibeda-bedakan berdasarkan asal-usul keturunannya (kelas social). Memang pada awalnya Kartini begitu mengagungkan kehidupan Liberal di Eropa yang tidak dibatasi tradisi sebagaimana di Jawa. Namun, setelah Kartini sedikit mengenal Islam, Kartini justru mengkritik peradapan Barat dan menyebutnya sebagai kehidupan yg tdak layak disebut sebagai peradaban.
Dalam suratnya Kartini meminta pemerintah Hindia Belanda memperhatikan kaum pribumi dengan menyelenggarakan pendidikan, terutama bagai perempuan. Hal ini karena perempuanlah yang membentuk budi pekerti anak. Berulang2 kartini menyebut perempuan adalah Istri dan pendidik anak yang pertama-tama. Dia menginginkan agar perempuan lebih cakap dalam menjalankan kewajibannya dan tidak bermaksud menjadikan anak-naka perempuan sebagai saingan laki-laki. Tidak ada keinginan Kartini untk mengejar persamaan hak dengan laki-laki dan meninggalkan perannya dalam rumah tangga. Bahkan ketika ia menikah dengan seorang duda yang memiliki banyak anak, Kartini sangat menikmati tugasnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anak sumainya. Inilah yg membuat Stella, sahabatnya heran.
Demikianlah sosok Kartini, mengajak setiap perempuan memegang teguh ajaran agamanya, dan meninggalkan ide kebebasan yang menjauhkan perempuan dari fitrahnya. Kini jelas bahwa apa yg diperjuangkan oleh aktivis jender dengan mendorong perempuan meraih kebebasan dan meninggalkan rumah tangganya bukanlah perjuangan Kartini. Sejarah Kartini telah disalah gunakan untuk kepentingan pengusung ide feminism barat, sehingga kaum muslimah dijauhkan dari Islam dengan dalih kebebasan, keadilan, dan kesetaraan jender.
Mengenai adanya perempuan2 lain yg hebat maka saya ikut apresiasi terhadap mereka, semoga Allah menerima segala amal baiknya.
Mengenai panglima perang wanita, maka di Jawa juga terkenal dgn Nyimas Ratu Kalinyamat, dia adalah perempuan yg membawa pasukan melawan Belanda setelah suaminya dibunuh oleh Aryo Penangsang. Dia digambarkan secara buruk oleh Belanda sebagai wanita yg bertapa dengan telanjang, padahal maksudnya dia pergi menyendiri menuntut kepada Kesultanan Pajang untuk mengadili Aryo Penangsang hingga akhir hayatnya dia tidak bersuami lagi. Suami dlm Islam adalah pakaian, maka jika tanpa suami artinya tidak berpakaian. Tetapi makna itu diselewengkan oleh Belanda.
Masih tidak simpati terhadap Kartini?
Mohon maaf jika salah. Semoga bermanfaat.
Wassalamualaikum wr wb
Be syariah lovers
Ardobinardi.blogspot.com