Dalam diskusi antara orang tua dgn 2 guru
kelas, yang mau bahas kemajuan anak yang jauh dari optimal, ada frase menarik
yang muncul berkali2 dari gurunya: “sesuai target”. Artinya, ada kurikulum, ada
target, sekian banyak informasi harus masuk otak anak “sesuai target”. Walaupun
usia anak 7-8 tahun, semuanya harus “sesuai target”.
Dan kalau anak tidak bisa menerimanya “sesuai
target”? Ohh, tidak ada masalah. Bapak dan ibu tolong kirim anaknya ke les,
agar setelah belajar matematika dan bahasa Inggris setiap hari di sekolah, bisa
pulang dan les 3 jam lagi untuk belajar matematika dan bahasa inggris...! (Buat
apa bersekolah?!)
Semua guru seharusnya menjadi “anggota
profesi guru”. Kalau anggota dalam sebuah profesi dituntut melakukan hal yang
dinilai tidak baik dan tidak profesional, maka seharusnya “dilawan” dgn cara
yang baik dan benar, karena memikirkan hasil yg optimal. Bagaimana kl anggota
profesi yang lain disuruh kerja dgn cara yang sama? Apa mereka diam dan terima,
dan asal laksanakan, agar “sesuai target” juga?
Hakim mempercepat sidang karena ada target
harus selesaikan sidang dalam sehari. Semua saksi diberikan waktu 10 menit
untuk bicara. Keadilan bukan prioritas. Proses sidang harus “sesuai target”. Dokter
selesaikan operasi, dan langsung operasi lagi tanpa istirahat. Ada target harus
selesaikan sekian banyak operasi per hari. Setiap operasi dibatasi 1 jam saja.
Keselamatan pasien bukan prioritas. Jumlah operasi harus “sesuai target”.
Mau berapa banyak contoh lagi? Tentu saja
hal2 spt itu tidak mungkin terjadi di bidang2 lain. Tapi kl terjadi di bidang
“pendidikan”, teman2 guru yang seharusnya menjadia anggota profesi dan “ahli
pendidikan” memilih untuk “diam dan taat” dan kejar target agar tidak kena
masalah. Dan siswa diajarkan untuk “diam dan taat, dan kejar target”. Tujuan
bersekolah adalah Ranking Satu! Bukan menjadi anak istimewa yang dilahirkan
oleh Tuhan yang Maha Esa dgn bakat dan kemampuan yang berbeda-beda. Lalu anak
tumbuh dgn pemikiran “diam, taat, sesuai target, jangan berbeda sendiri”, dan
menjadi orang dewasa dan anggota masyarakat. Hasilnya?
Kita harus mengubah cara berpikir seperti
ini, demi keselamatan 80 juta anak Indonesia yang akan menjadi DEWASA dan
penerus bangsa dan umat nanti. Jangan bebankan mereka dengan kehidupan penuh
target yang hanya punya satu jadwal utk semua anak. Kalau anda setuju dgn cara
berpikir “sesuai target” itu, tidak usah melahirkan anak lagi. Bikin robot
saja! Anak Indonesia bukan robot! Mari
kita bersatu untuk selamatkan anak Indonesia dari “robotisasi”!
Wassalam,
Gene Netto
Gene Netto
No comments:
Post a Comment