Anak teman saya mengalami masalah di kelas,
karena gurunya galak, jewer telinga, sering salahkan dan menegor, dll. Bapaknya
anak itu pergi ke sekolah utk bicara dgn guru kelas dan guru bahasa Inggris
yang membuat anaknya trauma, sampai ketakutan pergi ke sekolah, benci bahasa Inggris,
dan alami mimipi buruk terus. Saya ikut utk dengarkan penjelasan dari sang guru
(tapi tidak ikut bicara, hanya dengarkan saja).
Di depan wali murid, guru kelas berikan
senyuman manis, dan bilang tidak ada masalah, tetapi anak itu terlalu aktif dan
tidak bisa diam. Jadi sbg guru kelas, dia sudah mengajar dengan benar, tapi
anak itu “sulit diatur”. Dituntut harus duduk diam, membaca dan menulis dari
jam 7 pagi sampai jam 12 siang, dan kalau berdiri, atau bicara dgn teman kelas,
berarti dia “anak nakal, dan hiperaktif”.
Saya jelaskan kepada bapak itu bahwa bukan
anaknya yang “tidak normal” alias hiperaktif, tapi malah SISTEM SEKOLAH yang
tidak normal. Anak usia 7 tahun memang seharusnya mau gerak terus, mau lihat
segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya, dan pindah konsentrasi terus pada
apa saja yang menarik. Kalau menuntut anak kecil duduk terus, diam, taat,
membaca, menulis, tidak bersuara, tidak bicara dengan anak di sekitarnya, tidak
berdiri, tidak jalan, dan selalu fokus ke depan (ke papan tulis) maka ITU YANG
TIDAK NORMAL.
Kalau sudah sering bertemu dgn anak yang
benar2 hiperaktif, maka kadang dengan sekali pandang bisa terlihat anak mana yang
hiperaktif, dan mana yang “normal” (aktif dgn cara yang wajar utk usianya). Sayangnya
banyak orang tua terima saja kl tiba2 anaknya dicap “hiperaktif, sulit
konsentrasi, autis, bermasalah, nakal” dan sebagainya oleh guru sekolah.
Sayangnya, masalah yang benar adalah: Guru2
itu belum punya ilmu pendidikan yang cukup luas, sehingga tidak bisa bedakan
antara anak normal yang aktif dan anak yang bermasalah. Guru seperti itu senang
kl bisa dapat anak yang mirip dgn robot, bisa duduk manis berjam-jam, taat pada
guru, tidak berani berbeda pendapat, tidak banyak bertanya, dan kerjakan semua
tugas sampai tuntas, agar pekerjaan guru terasa mudah.
Tetapi karena gurunya seperti itu, sebagian
anak Indonesia dibiarkan trauma, takut bersekolah, takut pada guru, benci
belajar, dan bahkan mimpi buruk. Sayangnya, untuk ajak guru2 itu introspeksi
cukup sulit. Mereka lebih fokus ke diri sendiri, dan kl hasil kerja mereka
sehari-hari adalah anak kecil menjadi “takut belajar” maka guru2 itu bersikap
“EGP” dan fokus pada siswa yang sudah menjadi robot. Masa depan bangsa ini
bagaimana kalau para guru (dan juga orang tua) tidak mau introspeksi dan mulai
belajar lagi ttg ilmu pendidikan?
Wassalam,
Gene Netto
No comments:
Post a Comment